pabrik rokok cukai rokok
CUKAIOPINI

Ambiguitas Kebijakan Cukai Rokok: Antara Pengendalian Tembakau dan Pendapatan Negara

Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia berada dalam posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi industri ini memiliki kontribusi yang besar bagi penerimaan negara, di sisi lain industri ini dianggap memiliki dampak eksternalitas yang bertentangan dengan kesehatan. Maka dari itu lahirlah konsepsi cukai sebagai sin tax (pajak dosa).

Dilematis yang dihadapkan pada sektor IHT membuat berbagai kebijakan terkait industri ini menjadi runyam. Misalnya saja, Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea Cukai sesuai roadmapnya berharap  IHT kedepan ada keselarasan dengan kesehatan, berdasarkan seruan dari organisasi kesehatan dunia (WHO) yang mendaulat tembakau menjadi penyebab berbagai penyakit dan mendorong pemberlakuan kebijakan kontrol tembakau di berbagai negara dunia termasuk Indonesia. 

Namun, harapan Kementerian Keuangan sangatlah ambigu, ketika pungutan cukai di genjot, barangnya (rokok) dikendalikan (dikontrol). Ambiguitas ini dapat dilihat ketika pemerintah melalui Kementerian Keuangan pada bulan November 2019 tiba-tiba mengetuk palu tanpa pertimbangan matang dan mendalam menaikkan cukai rokok sangat fantastis. Besaran kenaikannya sebesar 23 persen diiringi dengan besaran kenaikan HJE (Harga Jual Eceran) sebesar 35 persen. Disaat para petani tembakau menyambut musim panen berharap mendapatkan harga terbaik, berbalik menjadi duka. 

Pabrikan yang sedang melakukan pembelian bahan baku tembakau dari petani langsung berhitung ulang karena harus menghitung komponen beban produksi dan penjualan mereka akibat kenaikan tarif cukai rokok yang terlampau tinggi.

Ditambah lagi sepanjang tahun kondisi pertumbuhan ekonomi berjalan stagnan di angka 5% disebabkan oleh daya beli masyarakat yang cenderung menurun.

Di Kabupaten Temanggung, harga tembakau pada musim ini mengalami penurunan cukup drastis dibanding tahun lalu dikarenakan adanya kebijakan kenaikan tarif cukai. Layer pertama yang paling terdampak dari kebijakan ini adalah petani tembakau, sebab dalam komponen produksi di industri rokok komponen yang paling bisa ditekan adalah bahan baku. Sementara industri rokok tidak bisa menekan biaya tenaga kerja karena sudah ada ketentuan tentang UMK. 

Adapun biaya-biaya produksi yang lain juga tidak bisa, akhirnya yang paling bisa ditekan adalah dari sektor bahan baku. Fenomena ini menghantam petani setiap tahunnya, sehingga harga jual tembakau semakin menurun dibandingkan dengan kurs mata uang. Tidak ada kepastian harga di dalamnya.

petani tembakau temanggung

Petani tembakau menjadi pihak yang paling susah, ditinggalkan hidup sendiri, sunyi, tidak mendapatkan porsi yang memadai dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga mereka dirugikan oleh berbagai kebijakan terkait IHT, salah satunya persoalan kenaikan cukai. Petani juga masih belum cukup kuat memiliki daya tawar terhadap industri, kondisi ini membuat nilai tawar petani menjadi sangat rendah.

Tarif cukai sejatinya memang merupakan instrumen penting dalam pengendalian tembakau, terutama dalam hal mengurangi prevalensi perokok anak. Meskipun fakta lainnya, cukai rokok menjadi penyangga bagi pendapatan negara dan berkontribusi besar bagi perekonomian. Hal ini amatlah dilematis, karena secara prosentase skala prioritas tidak bisa dibiarkan tumpang tindih. Pemerintah memang seharusnya berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait cukai, jangan sampai terjebak kepada instrumen pengendalian tembakau saja atau hanya kepentingan pendapatan negara semata. 

Kebijakan pemerintah mengenai cukai rokok saat ini cenderung mengikuti instrumen pengendalian tembakau global. Dalam kerangka FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) perihal cukai rokok di dalamnya memandatkan bahwa cukai rokok harus didorong hingga 200% di setiap negara. Indonesia sejak tahun 2016 saja kebijakannya mengenai tarif cukai naik sebesar 11,19%. Kemudian pada 2017 naik lagi sebesar 10,54% lalu, pada 2018 sebesar 10,04% dan terakhir yang menjadi kontroversial pada 2020 sebesar 23%.

Jika ditelisik lebih dalam, angka kenaikan di atas merupakan besaran rata-rata, maka dalam periode 2016-2020 besaran tertinggi kenaikan cukai rokok sebesar 20-35% per tahun. Artinya dalam periode 5 tahun kenaikan tarif cukai secara gradual sudah hampir mendekati 200% atau sesuai dengan instrumen pengendalian tembakau. 

Dampak daripada kebijakan tersebut, yakni turunnya volume produksi rokok, omzet pabrikan, serapan bahan baku dari pabrik ke petani, hingga gulung tikarnya pabrik rokok nasional, terutama pabrik skala IKM (Industri Kecil Menengah). Jumlah perusahaan rokok terus mengalami penurunan signifikan sejak tahun 2007 dari 4.669 pabrik menjadi hanya 779 pabrik di tahun 2017 (GAPPRI, 2019).

Padahal saat ini Industri rokok menjadi sektor terbesar keenam yang berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di sub-sektor industri non-migas dengan rata-rata kontribusi sebesar 0,92% sepanjang periode 2014-kuartal I 2020. 

Industri rokok juga menjadi penyumbang cukai terbesar dari keseluruhan pendapatan cukai nasional, sumbangannya sebesar 96% dari total penerimaan cukai. Dalam periode 15 tahun, cukai rokok selalu melebihi capaian target yang dicanangkan setiap tahunnya. Ini baru dari cukai, belum dari pajak lainnya. Jika dikalkulasikan secara keseluruhan, industri rokok berperan terhadap 9-11% total APBN. 

Menariknya lagi, dibandingkan dengan sektor lainnya, meski ukuran industri rokok hanya sebesar Rp 326 triliun, namun persentase sumbangan pajaknya sebesar 61,4% atau senilai Rp 200 triliun. Jadi meskipun lebih kecil secara ukuran, tapi kontribusinya melebihi sektor lain yang ukuran industrinya jauh lebih besar.

Maka dari itu, kebijakan pemerintah jangan hanya mengacu pada instrumen pengendalian, maka pemerintah akan kehilangan potensi pendapatan negara, perekonomian dan ketenagakerjaan yang besar dari sektor industri hasil tembakau. Sementara itu pemerintah juga tetap harus membuat strategi yang pas untuk mengakomodir antara kepentingan ekonomi dan kesehatan, keduanya tidak boleh tumpang tindih agar persoalan dilematis di sektor IHT dapat dituntaskan dengan baik dan bijak.