CUKAI

Begini Pemanfaatan DBHCHT bagi Pelaku Industri Hasil Tembakau

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN dari hasil pungutan cukai yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 

Konsekuensi logis yang harus dilaksanakan dari hasil pungutan cukai   dikembalikan pemanfaatannya bagi pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT). Inilah yang biasa disebut Dana Bagi Hasil (DBH).

Seharusnya perlakuan DBHCHT, sama seperti halnya DBH yang lain, yaitu DBH yang bersumber dari pajak, DBH yang bersumber dari sumber daya alam. Namun nyatanya pemanfaatan DBHCHT sampai saat ini belum dirasakan kebermanfaatannya bagi pelaku IHT.

Alokasi DBHCHT dari hasil riset “Indonesia berdikari” tahun 2013 di lima provinsi memberikan bukti tidak tepat sasaran. Justru pemanfaatan dan alokasi DBHCHT mayoritas di lima provinsi digunakan untuk pembiayaan kebutuhan kesehatan dengan pengguna anggaran Dinas Kesehatan di daerah melalui klausul pembinaan lingkungan sosial penjabaran dari PERMENKEU 84/2008 dan PERMENKEU 20/2009, pasal 7.

Secara terpisah DBH-CHT diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai. Alokasi DBH-CHT dalam setahun terbagi dua tahap yakni alokasi sementara dan alokasi definitif. Potensi penerimaan CHT dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mendasari besaran alokasi sementara, sedangkan alokasi definitif berdasarkan realisasi pada kurun sebelumnya, pelaksanaan program, dan anggaran setiap daerah. Model penyalurannya transfer langsung ke daerah.

Transfer ke daerah dibagi dalam empat tahap, berturut-turut pada bulan Maret, Juni, September dan Desember. Besaran transfer tahap pertama adalah 20%, kedua dan ketiga adalah 30%, sedangkan yang keempat berdasarkan selisih antara pagu alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan pertama hingga ketiga.

Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 84/2008 juga mengatur bahwa kepala daerah, baik gubernur atau bupati/walikota, memegang tanggung jawab untuk mengarahkan kegiatan yang didanai DBHCHT. Antara lain, tugas mereka adalah memastikan tersusunnya usulan program dan terlaksananya kegiatan yang didanai DBHCHT. Karena DBH-CHT adalah ‘hibah khusus’ (specific grant), maka penggunaannya pun khusus untuk membiayai program seluruhnya berjumlah 19 jenis kegiatan yang telah ditetapkan di dalam dua Permenkeu. Ini berbeda dengan dana alokasi umum (DAU) atau dana alokasi khusus (DAK) sebagai block grant yang penyusunan programnya diserahkan kepada pemerintah daerah.

cukai rokok

Pada pasal 66A Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai menyebutkan: Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau hanya sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. Sisanya 98% entah kemana dan apa peruntukannya. 

Dari 2% kemudian dibagi lagi sesuai pasal 66A ayat 4 menyebutkan pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) dilakukan dengan persetujuan Menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/ kota lainnya.

Poin yang penting untuk digarisbawahi adalah DBHCHT diperuntukan bagi pembinaan lingkungan sosial. Dalam Permenkeu 84/2008 dan Permenkeu 20/2009 tentang tujuan penggunaan DBH-CHT menguraikan secara rinci penggunaan DBH-CHT, khususnya dalam poin pembinaan lingkungan sosial yang menyebutkan:

  1. Pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau;
  2. Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada analisis dampak lingkungan (AMDAL); Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
  3. Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum
  4. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok;
  5. Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasil tembakau; dan/atau
  6. Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi

Peraturan mengenai DBHCHT sendiri kemudian mengalami dinamika dengan dimasukkannya aturan mengenai penggunaan prioritas DBHCHT minimal 50 persen untuk program Jaminan Kesehatan Nasional atau BPJS di setiap daerah penerima DBHCHT.

Aturan ini termaktub dalam Permenkeu Nomor 222/PMK.07/2017 tentang penggunaan, pemantauan, dan evaluasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau.

Berdasarkan amanat peraturan menteri tersebut, sejauh ini DBHCHT di daerah-daerah diprioritaskan guna mendukung pembangunan fasilitas-fasilitas kesehatan. Di Garut, Temanggung, Kediri, Kudus, Probolinggo, Jember, dan beberapa wilayah lainnya, fasilitas kesehatan yang sudah berdiri dan beroperasi atau yang sedang dalam tahap pembangunan bisa dilihat langsung sebagai bukti realisasi.

Selain pembangunan fisik fasilitas kesehatan, DBHCHT juga dialokasikan untuk membayar jaminan kesehatan warga beberapa daerah yang menerima DBHCHT. Kediri dan NTB sebagai contoh. Di Kediri, pemerintah Kota Kediri mengalokasikan DBHCHT yang mereka terima untuk membayar asuransi kesehatan warganya. Di NTB, pajak yang diterima provinsi dari rokok digunakan untuk mendaftarkan 30.000 warganya ditambah 4.500 bayi yang baru lahir pada asuransi Jaminan Kesehatan Nasional lewat skema BPJS.

Kabar yang menggembirakan lainnya, beberapa kali dana cukai tembakau lewat perintah menteri keuangan langsung juga digunakan untuk menutup defisit BPJS nasional. Maka, tak bisa dimungkiri, Industri Hasil Tembakau lewat cukai dan pajaknya berperan besar pada keuangan negeri ini hingga turun ke daerah-daerah lewat skema DBHCHT dan pajaknya. Dampak langsung begitu terasa di banyak tempat. Lewat skema ini pula, Kabupaten Temanggung berhasil meraih predikat kabupaten dengan pembangunan kesehatan terbaik di provinsi Jawa Tengah.

Meski sekilas terlihat pemanfaatan DBHCHT sudah diperuntukan bagi kemaslahatan banyak orang, namun ternyata belum banyak dirasakan manfaatnya oleh pelaku industri hasil tembakau. Di hulu misalnya, memang ada amanah penggunaan DBHCHT untuk peningkatan kualitas bahan baku. Akan tetapi skema yang berjalan kini, mentok di penyuluh-penyuluh pertanian dan tidak benar-benar dirasakan manfaatnya oleh petani. 

Sering kali penyuluh pertanian memberikan masukan-masukan yang kontradiktif dengan fakta di lapangan yang ditemukan petani. Alih-alih meningkatkan kualitas bahan baku, para petani sekadar dibebankan membeli pupuk bersubsidi yang dananya diambil dari DBHCHT. Yang paling parah, tentu saja dialami oleh petani-petani cengkeh yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan. Banyak dari mereka yang sama sekali belum merasakan langsung DBHCHT yang semestinya mereka terima sesuai amanat peraturan pemerintah.

membayar cukai rokok

Kontradiksi lainnya yang lumrah terjadi di lapangan, DBHCHT malah digunakan untuk melakukan sosialisasi dan membeli bibit baru sebagai ganti tanaman tembakau dan cengkeh yang merupakan bahan baku rokok kretek. Alih-alih meningkatkan kualitas bahan baku, petani dipaksa untuk mengganti tanaman tembakau dan cengkeh mereka dengan tanaman lainnya yang tidak berhubungan dengan industri hasil tembakau dengan alasan kesehatan.

DBHCHT juga pemanfaatannya seharusnya menyasar sampai ke tingkat konsumen. Dalam hal ini misalnya, dalam DBHCHT yang diberikan kepada pemerintah daerah, salah satunya diperuntukan bagi penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum. Perlu dipahami betul bahwa perokok adalah bagian dari lingkungan sosial yang berhak atas pemanfaatan DBHCHT melalui pengadaan tempat khusus merokok.

Penyediaan tempat khusus merokok sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-IX/2011 yang mengabulkan pengujian kata “dapat” pada penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan, dan menyatakan kata “dapat” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan artikel dengan putusan tersebut, konstitusi mewajibkan pemerintah daerah menyediakan tempat khusus merokok di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat lainnya.

Namun fakta di lapangan tidak berbanding lurus dengan amanat konstitusi tersebut. Pada kantor-kantor instansi pemerintah maupun tempat umum lainnya, masih banyak kantor yang menyediakan tempat khusus merokok yang jauh untuk diakses dan kondisinya tidak manusiawi atau bahkan ada yang sama sekali tidak menyediakan tempat khusus merokok.

Ini biasa terjadi, semisal yang banyak terjadi di sebuah kantor kementerian, atau pemerintah daerah, di mana tempat yang diperbolehkan untuk merokok adalah di tempat parkir. Tak ada bangunan khusus, tak ada fasilitas tempat duduk, asbak, atau papan penanda bahwa di tempat itu adalah tempat khusus merokok. 

Artinya, dana alokasi DBHCHT tidak dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk membangun sebuah tempat khusus merokok yang memadai dan telah dimandatkan oleh undang-undang. Padahal kantor instansi pemerintah sebagai tempat kerja, ataupun juga kantor swasta, berkewajiban untuk menyediakan tempat khusus merokok. Begitu pula dengan tempat umum lainnya seperti mall, taman, terminal, bandara, stasiun, dll,. 

Tempat publik yang biasanya menjadi areal kawasan tanpa rokok, masih banyak yang belum ataupun jika ada masih banyak yang tidak memadai menyediakan tempat khusus merokok. Padahal DBHCHT dapat dialokasikan untuk digunakan membangun sarana tempat khusus merokok.

Pada titik ini, perokok memiliki hak akan ketersediaan tempat khusus merokok sebagaimana tertuang dalam berbagai kebijakan, termasuk diantaranya adalah Permenkeu tentang DBHCHT. Sejatinya mengenai pemanfaatan DBHCHT bagi pelaku industri hasil tembakau harus menjadi fokus bagi pemerintah pusat dan daerah mengingat sumbangan cukai rokok dari para konsumen tiap tahunnya mencapai angka ratusan triliun rupiah. Maka sudah seharusnya mulai dari petani hingga konsumen mendapatkan hak menerima manfaat dari DBHCHT.