perokok
REVIEW

Memahami Wanita yang Tidak Suka Perokok

Memahami wanita yang tidak suka kepada laki-laki yang merokok itu bukan hal sulit. Saya bagikan sedikit pengalaman saya tentang pertemuan dengan perempuan yang tidak suka asap rokok atau bahkan perokok. Mungkin bisa memicu Anda untuk mencari ide kreatif bagaimana meluluhkan hati wanita yang kurang suka kepada perokok.

Awal kuliah, saya berkenalan dan dekat dengan seorang perempuan di jurusan saya, sebut saja namanya Anya (kalau mau ditambahkan Geraldine silahkan). Anya mahasiswi yang berasal dari salah satu daerah di Jawa Timur. Perempuan ceriwis, tinggi semampai, ramah ke semua orang, rambut berombak berwarna kecoklatan, berkulit putih, atau lebih gampangnya mirip-mirip Taylor Swift versi asia. Laki-laki manapun akan jatuh hati bila bertemu dan kenal dengan Anya. 

Di semester awal, saya dan Anya sudah cukup dekat, saya curi start berkenalan dengan Anya dibanding orang lain di fakultas saya, “ora gasik ora komanan” kalau kata Mahayu yang sebentar lagi punya program #AsbakMahayu di bolehmerokok.com.  Saking dekatnya saya dan Anya karena setiap hari terlihat berdua, hampir semua teman-teman kuliah saya mengira kami pacaran, padahal tidak. Memang benar saya jatuh hati kepada Anya, sayangnya setelah aksi penembakan belasan kali, Anya tetap tidak luluh. Sakit. 

Syukurlah dia tetap menjadi teman dekat saya. Klasik sekali. Selama saya berteman dengan Anya, saya menemui beberapa hal yang agak sulit saya pahami, salah satu dan yang cukup penting adalah ketidaksukaan Anya mencium asap rokok. Saya pernah bertanya apa alasannya, jawabannya standar; rokok tidak baik untuk kesehatan. Oke. Saya terima. 

Di kesempatan lain setiap kali kami pergi berdua saya masih penasaran apa sebenarnya penilaian dia terhadap perokok. Baginya, selama asap rokok tidak mengenai indera penciumannya, rambut atau wajahnya, dia tidak masalah. Hanya memang kebiasaan mengibas-ngibaskan telapak tangan di depan wajahnya  ketika mencium asap rokok kadang membuat saya sedikit kesal. Tapi mau bagaimana lagi, namanya saya sedang jatuh hati, semua bisa kompromi. Hasilnya, tiap kali saya duduk bersebelahan atau berhadapan dengan Anya, sebisa mungkin saya akan meniupkan asap rokok ke arah samping, kalau dibayangkan agak konyol; memalingkan muka lalu mengarahkan bibir sedikit ke bawah. Dan seringkali Anya mengingatkan saya sudah menghabiskan berapa batang rokok tiap kali duduk berdua dengannya. Semacam perhatian fana tapi bikin adem. Sakit.

Di tengah-tengah rasa putus asa ditolak berulang kali oleh Anya saya berkenalan dengan perempuan lagi, kali ini berbeda fakultas, wanita ini saya kasih nama Kiki saja biar keliatan imut-imut kalau disebut. Kiki seorang perempuan yang aktif di beberapa kegiatan mahasiswa, mulai dari persma, ukm musik sampai pernah ikut demo ala-ala mahasiswa baru yang sungkan kepada kating kalau tidak ikut demo (mungkin). 

Sementara saya, mahasiswa semenjana-tuna asmara  yang tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti yang dilakukan Kiki. Singkat cerita kami pun dekat dan sering pergi berdua. Mirip seperti Anya, Kiki sebenarnya memilih untuk tidak “dekat” dengan lelaki perokok, baginya rokok akan merugikan di kemudian hari. 

Apapun alasannya pokoknya rokok membunuhmu! Saya malas berdebat, tujuan saya bukan mau berdebat dengan Kiki, tapi bagaimana caranya meluluhkan hatinya, kalau kemudian Kiki mentolerir saya yang seorang perokok, itu bonus. Tapi saya tidak akan pura-pura berhenti merokok di depan Kiki. Buat saya merokok itu pilihan hidup. Beberapa kali saya sebenarnya pernah menyinggung persoalan kenapa Kiki tidak suka kepada perokok dan kenapa sampai begitu kerasnya memiliki pandangan bahwa merokok itu buruk, jawabannya tetap sama, merokok baginya tidak baik untuk kesehatan. Tapi bukan saya namanya kalau tidak pandai bersilat lidah dan akhirnya membuat Kiki membolehkan saya merokok setiap kali pergi berdua. 

Suatu hari kami membuat beberapa kesepakatan tentang merokok, beberapa di antaranya; saya hanya boleh mengisap rokok mild ketika pergi dengannya, tidak boleh kretek filter atau rokok putih, karena baginya hanya mild yang baunya tidak terlalu tajam dan asapnya tidak terlalu tebal. Lalu saat duduk berdua di coffee shop saya hanya boleh menghisap 4 batang rokok saja, selama apapun kami ngobrol. Sehabis makan di tempat umum saya hanya dibolehkan menghisap 1 batang rokok saja, dan saat datang ke kostnya saya hanya boleh mengisap rokok paling banyak 2 batang. Okelah. Tidak terlalu berat, walaupun bagi perokok mild, 2 batang rokok mild itu kurang mantap rasanya apalagi sambil ngobrol. Saat membahas peraturan itu juga saya lalu memancing Kiki untuk berbicara cukup serius tentang masa depan mengenai peraturannya tentang rokok. Kiki menanggapi dengan serius juga. Dia mengijinkan saya tetap merokok apabila suatu hari saya menikah dengannya, lalu dia tetap mengijinkan saya untuk tetap merokok apabila suatu hari kami memiliki anak, dengan pertimbangan saya harus mengukur pengeluaran pribadi saya, area mana saja di dalam rumah yang boleh merokok dan kapan saya bisa merokok saat saya menjadi seorang ayah dan suami kelak dan Kiki berjanji tidak akan memperlakukan saya seperti seorang kriminal hanya karena saya merokok. 

Kami sepakat. Kiki dengan tegas menjawab; Oke! Aku setuju. Saya diam, tidak menjawab, hanya membalas dengan senyum simpul saja, seperti setengah mengolok Kiki. Bagaimana tidak, saat itu saya bahkan belum menyatakan rasa suka kepada Kiki, walaupun kami dekat. Dan Kiki sadar itu, seketika dia tersipu malu karena pembahasan kami cukup jauh ke depan, sudah membayangkan hubungan serius tapi saling jatuh cinta saja belum dimulai. Saya menang saat itu.

Akhirnya saya pun menikah. Tapi bukan dengan Kiki, dan bukan dengan Anya. Bertahun-tahun setelah cerita Anya dan Kiki saya bertemu dengan perempuan yang kelak menjadi istri saya. Awalnya saya berpikir istri saya ini tidak punya masalah dengan perokok, karena setiap kali kami bertemu, pergi berdua atau beramai-ramai dengan orang lain, tidak sedikitpun saya melihat ada penolakan darinya terhadap perokok, sikapnya biasa saja. Bahkan saat kami pacaran dia suka salah satu “aftertaste” rokok, seingat saya saat itu saya sering merokok MLD Putih atau Class Mild. Menurutnya “aftertaste” rokok itu terasa manis dan baunya tidak tajam. Kadang saat saya merokok Djarum Super atau Dji Sam Soe maka dia akan protes karena “aftertaste” tidak seperti biasanya. Anda paham kan dari mana dia bisa merasakan “aftertaste” padahal dia tidak merokok?. Hehe.

Sampai suatu hari, beberapa bulan sebelum menikah saya berkunjung ke kota asalnya, sendirian, bertemu dengan kakak ipar dan ayah mertua saya dengan maksud memperkenalkan diri. Mereka bertanya apakah istri saya tahu saya merokok? Dan saya jawab; iya. Sontak mereka sedikit terkejut mendengar jawaban saya. Dari mereka juga saya baru mengerti kalau sebenarnya istri saya adalah perempuan yang sangat tidak suka dengan bau rokok yang akhirnya membuat dia juga menghindari perokok, teman perokok saja berusaha dihindari, apalagi laki-laki perokok yang berniat menikahi dia? Bahkan di keluarganya, istri saya dikenal sebagai orang yang memiliki aturan sangat ketat tentang rokok. Saya sampai terheran-heran, kenapa istri saya mau dengan saya yang perokok.

Sepulang dari pertemuan saya dengan keluarganya saya bertanya kepada istri saya (saat itu masih berstatus pacar); kenapa dia tidak suka dengan perokok? Menurutnya merokok itu akan memangkas pendapatan dan masuk di bagian pengeluaran yang tidak perlu, merugikan kesehatan, abu rokoknya kotor kalau bececeran di mana-mana dan apinya kadang suka melukai tangan. Tapi itu dulu. Saat kenal dengan saya yang kebetulan juga berteman dengan orang-orang yang bergerak di kegiatan advokasi tembakau, dia mulai banyak belajar dari saya dan lingkungan pertemanan saya bahwa merokok tidak seburuk apa yang dia ketahui selama ini. 

Masih versi istri saya, saya akhirnya dijadikan semacam “kelinci percobaan” tentang sikap dan tingkah laku perokok, menurutnya saya cukup santun dalam hal merokok, tidak serampangan dan paham aturan sosial. Itu kenapa di masa PDKT dia merasa tidak ada salahnya punya hubungan dengan perokok. Sampai akhirnya dia seperti memberikan izin kepada dirinya sendiri untuk menerima bahwa orang merokok sebagai hal yang lumrah dan tidak perlu diberikan aturan yang memenjarakan. Tapi bukan berarti saya bebas juga merokok di dalam rumah setelah menikah. Kami saling memahami aturan lisan yang kami buat. Saya hanya boleh merokok di teras, ruang belakang, di dapur saat saya memasak (saya tipe laki-laki yang suka masak soalnya), dan yang sudah wajib dan saklek ; di dalam WC saat ritual memulai hari. Aturan itu tetap saya jalankan tanpa sedikitpun saya langgar, bagi saya, bisa menikahi perempuan yang awalnya tidak suka kepada perokok saja sudah jadi hal yang sangat berarti, jadi untuk apa menciderai peraturan yang tidak berat-berat banget. Dan sampai hari ini istri saya suka protes soal “aftertaste” semenjak saya mulai melinting tembakau. Pesannya sederhana kepada saya; kalau kamu mau bikin lintingan jangan yang non filter, bikin lintingan yang pake filter dan ada rasa manisnya, dan tembakaunya jangan tembakau gayo atau berkarakter seperti itu.  Bau kue kering yang hangus! Dan after tastenya pahit!. Dan masalah itu akhirnya dipecahkan oleh Sukun Executive. Solusi harga terjangkau, aromanya tidak terlalu tajam dan “after taste” lumayan manis. Hehe.