merek rokok
REVIEW

Membayangkan Banyak Profesi dan Merek Rokok yang Cocok untuk Mereka

Selain meratapi nasib sendiri hampir di sepanjang hidup, saya juga suka berimajinasi menjadi seseorang yang menurut saya memiliki profesi menarik. Sesekali saya ingin menjadi seperti mereka, yang memiliki rutinitas berbeda jauh dari hidup yang saya jalani saat ini. Ini tidak bermaksud menyesali apa yang sudah didapatkan selama hidup, ya. Biar imajinasi tetap berimbang dan menggelitik saja.

Di tengah skenario imajinasi yang saya munculkan di dalam pikiran saya, ada banyak hal detail yang benar-benar saya perhatikan. Benda misal. Letaknya di mana, berwarna apa dan digunakan untuk apa. Tapi kali ini, soal rokok saja yang saya bahas supaya tidak terlalu panjang. Karena niat saya dari awal hanya bikin tulisan pendek yang bisa dibaca pas kalian BAB.

Supir Bis Malam

Ada dari kalian yang bercita-cita menjadi atau berprofesi sebagai sopir bus malam?. Kalau sebagai sopir bus malam saya akan memilih Dji Sam Soe dan Djarum Super sebagai teman perjalanan saya selama menyetir. Kita ambil contoh bus malam jurusan Jogja-Bandung yang relatif tidak melewati medan berat sepanjang jalur selatan. Djarum Super saya akan menikmati saat sedang menikmati istirahat makan malam, biasanya istirahat makan malam ini dilakukan setelah 3 jam perjalanan. Ini waktu di mana supir dan kernet masih segar-segarnya mengobrol dari tempat keberangkatan sampai waktu istirahat. Mungkin saya akan menikmati 2-3 batang Djarum Super selama istirahat sebelum memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. 

Sebelumnya saya sudah menyiapkan kopi robusta di dalam sebuah thumbler yang saya isi saat di rumah makan, lengkap dengan sebotol air mineral, asbak darurat yang saya siapkan di samping panel sein sisi kanan, dan kanebo lembab sebagai antisipasi kalau bara rokok sedikit terbang liar tertiup angin jendela supir. Sisa perjalanan dari rumah makan sampai tempat tujuan akan saya selingi menghisap Dji Sam Soe, terlebih kalau kernet saya sudah ketiduran dan saya hanya ditemani suara musik sayup-sayup dan sesekali mendapat balasan klakson di tengah jalan saat berpapasan dengan bus lain. Sesampainya di tempat tujuan, biasanya agen bus, saya akan berhenti sebentar sebelum melanjutkan perjalanan paling akhir menuju garasi bus. Sebat dulu sambil menghabiskan sisa kopi dalam thumbler.

Airport Marshall atau Tukang Parkir Pesawat

Sedari kecil saya suka sekali melihat pesawat, entah datang ke bandara dan melihat dari pinggir pagar landasan atau dari kejauhan melihat pesawat yang mendarat, parkir dan lepas landas. Bukan saya bercita-cita menjadi pilot atau ground staff yang bisa ketemu pramugari, saya malah merasa kalau airport marshall adalah profesi yang menarik dan tidak semua orang sebenarnya mampu dengan tenang dan berani mengarahkan pesawat saat parkir. Salah perkiraan bisa nyerempet garbarata atau kendaraan lain. 

Khusus untuk profesi ini, rokok saya fleksibel. Seandainya saya ditugaskan di bandara di kota-kota seperti Gorontalo, Samarinda atau Malang mungkin saya akan memilih Djarum Super dan bukan perokok umur pendek seperti Mild atau putihan sebagai selingan sebats selama saya menunggu pesawat datang. Yang pasti tidak merokok di area Apron, ya. Gila apa. 

Lalu lintas bandara di kota-kota tadi relatif sepi, mungkin hanya akan ada 6-8 pesawat dari pagi hingga-sore. Lain cerita kalau saya ditugaskan di Halim Perdana Kusuma, Soekarno Hatta atau Ngurah Rai. Kacau kalau harus merokok kretek filter sambil menunggu pesawat. Bisa-bisa baru 2 kali hisap sudah harus tugas lagi. Belum lagi kalau ketemu Mbak manis ground staff yang murah senyum dan diam-diam jatuh hati kepada saya. Ga ada waktu buat ngobrol. Maka dari itu saya sebaiknya memilih menghisap rokok Mild saja. Putihan bukan pilihan yang baik di bandara seperti ini, karena pertimbangan ketemu Mbak ground staff tadi, saya menyingkirkan pilihan rokok putihan karena aroma rokok ini cukup kuat menempel di pakaian dan mulut. First impressionnya bisa kacau nanti.

Manajer/Pelatih Klub Sepakbola Eropa

Ini sebenarnya agak kejauhan, tapi karena saya sebagai salah satu “Football Manager” garis keras pada masanya, maka profesi ini sudah pasti masuk dalam skenario. Karena saya tinggal di eropa, saya akan meminta teman-teman di indonesia untuk mengirimkan macam-macam rokok kretek setiap dua minggu sekali. Mulai dari 76 Filter/Non Filter, Surya 16, Gudang Garam Merah, Sukun Executive, Esse Honey, LA Lights Merah, Dji Sam Soe Magnum sampai Inpra dan tentu rokok pujaan pria-pria kharismatik seperti saya; Djarum Super. Hehehe.

Rokok-rokok tadi akan saya hisap menyesuaikan aktivitas saya sehari-hari sebagai manajer. Kalau sedang bersantai di rumah, tidak ada jadwal latihan dan kegiatan klub, maka saya akan bersantai dengan Djarum 76 atau Dji Sam Soe ditemani kopi hitam atau wyne, selingannya bisa Inpra atau MLD Putih. 

Saat sedang beraktivitas bersama klub di luar dari jadwal pertandingan, maka saya akan membawa Djarum Super dan Esse Honey, bolehlah ditambah Sukun Executive. Untuk acara-acara gala dinner atau semacamnya, saya akan memasangkan Djarum Super dan LA Lights Merah, ditambah Esse Honey juga bisa, ini waktunya saya juga memamerkan rokok kretek kepada tamu undangan lain yang juga merokok. Untuk rapat-rapat bersama tim pelatih atau tim analisis pertandingan sepertinya Surya 16 berpasangan dengan Djarum 76 cukup menarik, terlebih kalau harus rapat panjang dan disuguhi kopi arabika. Khusus untuk pertandingan saya akan memilih salah satu dari stok rokok kretek Mild milik saya, sebagai relaksasi seandainya klub sepakbola yang saya latih sedang tertinggal 0-3 di babak pertama, ditambah wanita yang saya taksir datang menonton pertandingan bersama-sama laki-laki lain dan sekaligus sebagai pendukung tim lawan. Ruwet. Ruwet. Ruwet, kalau kata Pak Presiden nun jauh di negara saya yang hobi ruwet itu.

Penjual Pecel Lele Kaki Lima

Sudah wajib sepertinya saya menyebutkan Djarum Super dalam skenario imajinasi saya, karena terbawa kebiasaan menghisap rokok kretek ini di kehidupan nyata. Maka dari awal saya wajibkan rokok kretek ini masuk dalam skenario selama saya menjadi seorang penjual pecel lele, mulai dari minum kopi subuh sebelum saya bersiap ke pasar untuk belanja keperluan warung. 

Selesai belanja, sebelum membagi porsi bumbu dan menata letak sayuran yang mau dibersihkan saya wajib sebat dulu sambil duduk memeriksa kembali kelengkapan bahan. Siang hari sebangun saya tidur setelah paginya berbelanja, saya tentu menikmati segelas kopi lagi dengan Djarum Super. 

Sore saat mendorong gerobak menuju lapak, menyiapkan tenda, menata tempat duduk dan meletakkan lauk pauk setengah matang di etalase, tangan kiri saya pasti sedang memegang sebatang kretek. Ini soal kebiasaan, bukan kecanduan. Membuat sambal atau menanak nasi jelang warung buka juga menjadi hal menarik kalau dilakukan sambil menghisap rokok kretek. 

Malam hari saat warung bersiap untuk tutup, saya akan mengawasi karyawan yang sedang bersih-bersih lapak sambil menghitung pendapatan hari itu, tentu ditemani kopi dan rokok kretek pujaan saya. Samar-samar dari lapak sebelah terdengar lagu koplo yang berulang kali berkata; “Tareekk sess”, “Semongkooo”, “Mantaaapp!”. Padahal di dunia nyata dan dalam skenario saya sebagai penjual pecel lele, saya adalah pendengar The Killers, Dewa 19, Goodnight Electric, Imagine Dragons, Ellie Goulding sampai Seringai. Tapi apalah artinya imajinasi kalau terlalu sempurna dan tidak ada “adtenalin rush-nya”. Udah ya. Jangan panjang-panjang. Kalau terlalu panjang saya bisa-bisa cerita skenario tentang saya sebagai supir pribadi yang saling jatuh hati dengan istri majikan yang kaya raya. HAHAHA.