Hampir semua sektor industri di Indonesia terdampak Covid-19, pemerintah dengan berbagai cara menstimulasi industri melalui kebijakan. Sayangnya di sektor IHT dampak kebijakan pandemi Covid-19 justru berimbas besar pada IHT atau tidak memiliki dampak signifikan terhadap stimulus. Kebijakan selama PSBB misalnya justru membuat utilisasi kapasitas industri menjadi turun. Menurunnya utilisasi kapasitas industri karena adanya protokol operasional selama masa kedaruratan covid-19 memang menjadi satu hal yang tak bisa dihindari.
Penghentian sebagian atau seluruh kegiatan produksi karena adanya pekerja IHT yang mempunyai status ODP, PDP atau positif Covid-19, meningkatnya biaya produksi karena adanya protokol kesehatan dalam operasional perusahaan selama masa pandemi Covid-19, pembatasan aktivitas logistik dari bahan baku ke pabrik dan dari pabrik ke pusat distribusi produk, serta tidak beroperasinya kantor distribusi/tempat usaha yang berpotensi memperketat cash flow perusahaan.
Berdasarkan data riset pasar Nielsen, pandemi Covid-19 membuat permintaan rokok jauh menurun. Volume penjualan secara keseluruhan turun 12,8% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 110,4 miliar batang. Volume penjualan SKM FF melemah 7,2% menjadi 54,6 miliar batang. Di mana produk ini merupakan segmen terbesar yang mencakup 49,5 % pangsa pasar. Sementara untuk penjualan SKM LTN turun 23,1% menjadi 30,4 miliar batang, dan SKT melemah 51% menjadi 20,3 miliar batang. Untuk kategori terkecil, yakni rokok nonkretek alias rokok putih (SPM), penjualannya turun 25,9 % menjadi lima miliar batang.
Gappri sendiri memprediksi volume produksi IHT bakal anjlok signifikan imbas pandemi covid-19. Bahkan diperkirakan volume produksi rokok turun hingga 23% pada 2020 ini, dan berharap pemerintah tidak akan menerbitkan kebijakan-kebijakan baru terkait IHT yang dirasa akan menghambat recovery industri, seperti kenaikan cukai, simplifikasi struktur cukai, atau revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Babak belur sektor IHT sebelum pandemi Covid-19 didahului dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai sebesar 23% dan menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35% di tahun ini. Kenaikan tersebut memukul sektor IHT dari hulu hingga hilir, dampak dari kebijakan tarif cukai yang eksesif menekan produksi sampai 15% pada 2020. Dampak lain dari kebijakan ini adalah turunnya penyerapan tembakau dan cengkeh hingga 30-40%, serta berpotensi terjadinya PHK pekerja pabrik rokok, maraknya peredaran rokok ilegal, serta berpotensi mengurangi penjualan rokok sehingga berdampak terhadap penurunan omset pedagang/warung kecil.
Data BKF Kemenkeu menunjukkan kenaikan tarif cukai berbanding lurus dengan berkurangnya jumlah pabrik rokok di Indonesia. Pada 2007 tercatat 4.600 perusahaan rokok di Indonesia. Angka itu berkurang setengahnya pada 2009 menjadi 2.495 perusahaan dan terus menurun sampai pada 2015 hanya tersisa 728 perusahaan. Hal ini disebabkan kenaikan tarif cukai rokok yang konstan di atas 6% setiap tahunnya. Sementara untuk tarif cukai tahun ini merupakan kenaikan tertinggi selama satu dekade ke belakang. Kebijakan ini dilakukan demi mencapai peningkatan cukai sebesar 4,71% menjadi Rp 172,75 triluun.
Bila berkaca kepada tren semakin menurunnya jumlah perusahaan rokok setiap terjadi kenaikan tarif cukai hasil tembakau, maka potensi semakin banyak pabrik yang tumbang kian besar. Padahal di sektor ketenagakerjaan, industri hasil tembakau merupakan industri padat karya, sehingga mampu menciptakan rantai bisnis yang menyerap tenaga kerja skala luas dari hulu hingga hilirnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang, terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan tembakau dan cengkeh.
Serapan tenaga kerja yang besar dari industri hasil tembakau pada tahun 2015 berkontribusi sampai dengan 0,41% dari total tenaga kerja di Indonesia. Ini yang tercatat dari sektor perkebunan on farm dan manufaktur, belum lagi tenaga kerja yang tidak langsung, seperti periklanan, percetakan, pedagang asongan atau kaki lima, dan industri kreatif lainnya.
Sayangnya, seiring perubahan kebijakan yang restriktif terhadap industri rokok, berimplikasi kepada porsi penyerapan tenaga kerja yang terus menurun. Pada tahun 2019 porsi serapan tenaga kerja menurun hingga kini hanya mencapai 0,34% dari total tenaga kerja Indonesia.
Stimulus kebijakan di masa pandemi mutlak dilakukan oleh pemerintah, namun untuk sektor IHT pemerintah seperti enggan melakukannya. Hanya satu kebijakan yang cukup membantu, yakni relaksasi penundaan pelunasan pita cukai rokok dari April hingga Juni 2020. Meskipun cukup membantu tetapi stimulus kebijakan ini masih jauh untuk menolong sektor IHT agar kembali pulih. Dibutuhkan kebijakan yang betul-betul bisa mendongkrak volume produksi dan penjualan sektor IHT serta kebijakan perlindungan dari hulu ke hilirnya.