industri hasil tembakau
OPINI

Sanggupkah Industri Hasil Tembakau Bertahan di Tengah Pandemi dan Resesi?

Pandemi Covid-19 masih belum selesai. Indonesia masih berjibaku menghadapi pandemi yang memukul seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, khususnya petani tembakau.

Penangan pandemi selama kurang lebih sudah hampir 10 bulan belum menunjukan dampak yang signifikan dikarenakan penanganan yang kurang maksimal dari pemerintah. Alhasil selain mengancam keselamatan masyarakat, perekonomian nasional mengalami turbulensi.

Saat ini Indonesia resmi dinyatakan masuk ke dalam jurang resesi setelah dua kuartal berturut-turut pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mencatatkan pertumbuhan negatif. Badan Pusat Statistik (BPS RI) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 mencatatkan kontraksi atau minus 3,49 persen secara tahunan (year on year / yoy). Sebelumnya, pada kuartal II/2020 pertumbuhan ekonomi tercatat minus 5,32 persen.

Dalam masa resesi akan berdampak kepada hampir seluruh sektor ekonomi yang mengalami perlambatan. Sektor-sektor tersebut antara lain industri manufaktur, perdagangan, transportasi, dan lainnya. Adanya perlambatan kinerja sektor ekonomi berimplikasi pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang besar. Pasalnya, perusahaan atau penyedia kerja sudah tidak bisa menanggung gaji karyawan karena dampak dari pandemi Covid-19. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 9,77 juta orang pada Agustus 2020 atau 7,07 persen terhadap jumlah angkatan kerja (Tingkat Pengangguran Terbuka/ TPT).

Kondisi krisis ini kemudian berimbas kepada sektor Industri Hasil Tembakau (IHT). PT Gudang Garam Tbk (GGRM) misalnya, mengalami penurunan penjualan sebesar 8,8% menjadi 42,5 miliar batang pada Semester I 2020. Untuk Kategori sigaret kretek mesin full flavor (SKM FF) turun 6,6% menjadi 35,8 miliar batang. Sementara produk sigaret kretek mesin rendah tar nikotin (SKM LTN) turun 45,6% menjadi 2,3 miliar batang. 

Produksi sigaret kretek tangan atau SKT menjadi satu-satunya yang tercatat tumbuh 7,5% menjadi 4,5 miliar batang. Membuat pendapatan penjualan Gudang Garam untuk rokok jenis ini naik tipis 1,7% menjadi Rp 53,7 triliun. 

Produsen rokok lain yang mengalami penurunan laba adalah PT H.M Sampoerna Tbk, yakni 2,83% YoY menjadi Rp 4,88 triliun. Hal ini dikarenakan penjualan rokoknya anjlok 11,8% sepanjang semester I 2020 menjadi Rp 44,73 triliun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. 

Kedua perusahaan tersebut adalah penguasa pasar rokok nasional. Gudang Garam menguasai pangsa pasar sebesar 25,6%. Rinciannya 30,8% pada produk sigaret kretek mesin rendah nikotin, 16,9% sigaret kretek tangan, 44,8% sigaret kretek mesin FF, serta 5,3% rokok non-kretek atau rokok putih. 

Sementara Sampoerna menguasai 26,9% pasar sigaret kretek mesin, 57,2% pasar segmen rokok putih, dan 36,3% pasar segmen sigaret kretek tangan. Penurunan penjualan kedua perusahaan tersebut telah mencerminkan lesunya industri hasil tembakau nasional.

Gambaran lain terlihat dari riset pasar Nielsen yang menyatakan permintaan rokok menurun selama pandemi Covid-19. Secara total, volume penjualan industri ini menurun 12,8% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 110,4 miliar batang.  

Secara rinci, volume penjualan SKM FF melemah 7,2% menjadi 54,6 miliar batang. Padahal produk ini memiliki segmen pasar terbesar di Indonesia dengan cakupan 49,5%. Lalu, penjualan SKM LTN turun 23,1% menjadi 30,4 miliar batang. 

Selanjutnya, penjualan SKT menurun 51% menjadi 20,3 miliar batang. Dan, rokok non kretek alias rokok putih (SPM), penjualannya turun 25,9% menjadi lima miliar batang. 

Kondisi krisis yang turut memukul sektor IHT ini menjadi sangat mengkhawatirkan bagi perekonomian Indonesia.

Mengingat, selama pandemi hanya pemasukan dari cukai hasil tembakau yang menunjukkan pertumbuhan di angka positif. Sebaliknya, pemasukan negara lainnya mayoritas tumbuh negatif. 

Data Kementerian Keuangan menyatakan, pendapatan negara dan hibah sampai dengan semester I 2020 tumbuh minus 9,83% YoY. Secara nominal realisasinya tercatat sebesar Rp 811,18 triliun atau baru 47,72% dari target APBN pada Perpres 72/2020 yang telah diturunkan.

Komponen penerimaan perpajakan dari kepabeanan dan cukai mencapai 45,3% dari target Perpres 72 Tahun 2020 atau tumbuh 8.84% YoY. Dilihat lebih dalam lagi, penerimaannya ditopang oleh cukai hasil tembakau atau CHT yang tumbuh 14,23%. 

Sumbangan industri hasil tembakau kepada pendapatan negara sebenarnya sudah terjadi sebelum masa pandemi ini. Berdasarkan data LKPP, rasio CHT terhadap pendapatan negara seluruhnya sepanjang 2013-2019 tak pernah kurang dari 7%. Tertinggi pada 2015 dengan 9,3%. Sementara pada 2019 berhasil menyumbang 8,4% dari total pendapatan negara dengan nominal mencapai Rp 164,8 triliun. 

Berdasarkan hal-hal tersebut, perhatian kepada industri hasil tembakau di tengah pandemi dan resesi harus menjadi fokus utama pemerintah saat ini. Terlebih pemerintah tetap membutuhkan pemasukan untuk tetap menjaga ruang fiskal tercukupi di saat masyarakat membutuhkan stimulus dan perlindungan sosial.