kebijakan industri hasil tembakau
OPINI

Disharmonisasi Kebijakan Industri Hasil Tembakau

Persoalan mendasar dalam sektor IHT ialah tidak ada keharmonisan kebijakan yang mengaturnya. Padahal prasyarat sebuah kebijakan pemerintah yang baik adalah sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum kebijakan tersebut.

Ada banyak kasus di beberapa sektor diatur dengan regulasi yang tidak sinkron dan tidak harmonis. 

Termasuk sektor industri nasional yang sangat strategis bernama kretek, yang dari hulu sampai hilirnya mencerminkan wajah kemandirian dan kedaulatan ekonomi kerakyatan. Kelemahan yang juga mendasar, yakni belum ada UU sektoral yang menjadi payung hukum sektor IHT. 

Ada banyak aturan baik dari level produk legislasi parlemen (formell gezets) sampai peraturan pelaksana (verordnung), bahkan hingga peraturan otonom di tingkat daerah (autonome satzung) saling berbenturan dalam mengatur IHT.

IHT yang sifatnya unik dan strategis dalam bingkai ekonomi kerakyatan, harus memiliki undang- undang tersendiri yang bersifat lex specialis. Tanpa pengaturan secara lex specialis, kebijakan negara untuk memajukan IHT yang memiliki nilai historis dan masa depan ekonomi strategis, akan mengalami ketidakpastian karena harus tunduk pada aturan yang tidak harmonis.

Beberapa peraturan pelaksana yang disharmoni di antaranya: Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sudah tepat karena merupakan amanat dari UU Kesehatan. 

Namun, pada pasal 58 ayat (1) PP ini ikut mengatur diversifikasi produk tembakau yang sebenarnya di luar konteks kesehatan. Justru yang tidak tepat ialah muncul regulasi di tingkat Kementerian Keuangan, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengatur dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT). 

Tidak tepat karena sesuai amanat pasal 66 UU Cukai yang mengatur DBH-CHT harusnya diatur melalui Peraturan Pemerintah yang melibatkan banyak kementerian/lembaga. Tentu secara ilmu perundang-undangan, boleh saja suatu UU memberikan delegasi langsung kepada peraturan menteri, bukan melalui peraturan pemerintah.

Namun, dalam konteks pengelolaan DBH-CHT, tentu bukan hanya menyangkut kepentingan Kementerian Keuangan. Malah lebih tepatnya, yang menjadi leading sector dalam pengelolaan DBH-CHT adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri karena menyangkut transfer ke daerah atau provinsi penghasil (daerah industri dan daerah perkebunan/pertanian). 

Dalam konteks tersebut, Kementerian Kesehatan idealnya tidak masuk dalam leading sector kementerian yang mengelola DBH-CHT. Kenyataannya justru sebaliknya, Kementerian Keuangan memiliki otoritas yang dominan untuk membuat regulasi DBH-CHT bersama Kementerian Kesehatan yang mendapatkan alokasi sangat besar. 

Kementerian lain yang lebih relevan dengan IHT atau selaku penghasil penerimaan cukai, tidak memiliki ruang untuk menetapkan legal policy. Seharusnya dalam pengelolaan DBH-CHT dibuat Peraturan Pemerintah (PP) dengan melibatkan beberapa kementerian/lembaga yang terkait IHT.

Beberapa regulasi di atas sangat diskriminatif terhadap sektor IHT, bahkan menghambat perkembangan sektor hulu sampai hilirnya. Namun, di sisi lain juga terdapat beberapa kebijakan yang masih berpihak pada sektor ini.

Pertama, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008, telah mengabulkan permohonan uji materi (constitutional judicial review) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menggugat pasal 66A ayat (1) UU Cukai. Putusan MK mengabulkan permohonan dengan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). 

Pasal tersebut tidak akan memiliki kekuatan hukum mengikat jika syarat yang ditetapkan Mahkamah tidak terpenuhi, yaitu NTB sebagai provinsi penghasil tembakau berhak atas dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-CHT). Putusan MK tersebut adalah kemenangan bagi petani tembakau di NTB yang akhirnya berdampak pada kesejahteraan rakyat.

Kedua, putusan MK Nomor 06/PUU-VII/2009, telah menolak judicial review Komnas Perlindungan Anak atas UU Penyiaran yang memperbolehkan iklan rokok sepanjang tidak menampilkan gambar merokok. 

Gugatan tersebut dimaksudkan agar pasal 46 ayat (3) UU Penyiaran tentang frasa “yang memperagakan wujud rokok”dianggap inkonstitusional, sehingga iklan rokok terlarang secara absolut. Namun, majelis MK menolak seluruh permohonan tersebut. 

Putusan MK memandang bahwa iklan rokok tetap konstitusional karena diatur secara seimbang, dengan persyaratan yang ketat; tidak boleh menampilkan gambar rokok.