logo boleh merokok putih 2

Hanya Logika Cacat yang Meyakini Kenaikan Cukai Dapat Menurunkan Prevalensi Perokok

Alasan yang selalu didengungkan ketika kebijakan tarif cukai dinaikkan adalah pengendalian konsumsi dalam rangka mengurangi prevalensi perokok. Padahal alasan tersebut tidak relevan dengan kenyataan, kenaikan cukai justru mengarah kepada menekan pabrikan yang berdampak kepada terancamnya nasib industri hasil tembakau (IHT) dari hulu sampai hilir.

Kebijakan pemerintah mengenai cukai rokok saat ini cenderung mengikuti instrumen pengendalian tembakau global. Dalam kerangka FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) perihal cukai rokok di dalamnya memandatkan bahwa cukai rokok harus didorong hingga 200% di setiap negara.

Indonesia sejak tahun 2016 saja kebijakannya mengenai tarif cukai naik sebesar 11,19%. Kemudian pada 2017 naik lagi sebesar 10,54% lalu, pada 2018 sebesar 10,04% dan terakhir yang menjadi kontroversial pada 2020 sebesar 23%.

Jika ditelisik lebih dalam, angka kenaikan di atas merupakan besaran rata-rata, maka dalam periode 2016-2020 besaran tertinggi kenaikan cukai rokok sebesar 20-35% per tahun. Artinya dalam periode 5 tahun kenaikan tarif cukai secara gradual sudah hampir mendekati 200% atau sesuai dengan instrumen pengendalian tembakau. 

Adapun kenaikan cukai yang didengungkan sebagai strategi untuk menurunkan prevalensi perokok anak sudah berhasil dimasukkan oleh kelompok antirokok ke dalam RPJMN, yang secara eksplisit disebutkan berupa: kenaikan cukai rokok akan dilakukan secara bertahap, 

Selain menyoal cukai, tertera juga aturan mengenai pelarangan total iklan dan promosi rokok di berbagai media, pembesaran gambar bahaya rokok atau PHW (Pictorial Health Warning) hingga 90 persen pada bungkus rokok, hingga simplifikasi tarif cukai juga terdapat di dalam RPJMN.

Namun strategi-strategi di atas tidaklah efektif,  dapat dilihat pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang menargetkan pengendalian konsumsi terkait prevalensi perokok dari kisaran 9,1% menjadi 8,7% hasil yang didapat bukannya turun malah naik. 

Ini berarti teori bahwa ketika tarif cukai dinaikkan untuk menurunkan prevalensi perokok dijalankan belum ada bukti signifikan bahwa prevalensi perokok di Indonesia menjadi berkurang.

Ahmad Heri Firdaus, Peneliti dari INDEF Institute for Development of Economics and Finance pernah mengatakan, seharusnya ada instrumen yang berbeda yang ditambah atau diperkuat. Sepertinya akan sangat sulit menurunkan prevalensi di tahun 2024 jika kebijakannya masih menggunakan pola lama dengan kenaikan tarif cukai rokok yang eksesif.

Selain teori strategi menurunkan prevalensi perokok, adanya kenaikan tarif cukai dapat meningkatkan penerimaan negara. Perlu diketahui bahwa instrumen pengendalian melalui kenaikan cukai otomatis dapat meningkatkan penerimaan, tidak mungkin linier. Jika tarif cukai dinaikan maka penerimaan ikut naik, tidak selalu begitu. Yang ada malah industri akan mencapai titik optimum, bahkan over capacity.

Titik optimum ini bisa dilihat dari PPh Badan, ada yang namanya backward bending, ibaratnya setiap orang sama-sama memiliki waktu 24 jam dalam sehari, namun kemampuan masing-masing orang berbeda.  Orang kaya tidak menghabiskan kerja kurang dari 8 jam sementara si miskin bekerja 8 jam atau lebih, tetapi hasil yang didapat jelas jauh berbeda.

Selain backward bending, menaikkan tarif cukai rokok terus menerus demi iming-iming meningkatkan penerimaan negara akan menyebabkan diminishing returns. Apa itu diminishing returns? Bahwa ketika input yang kita miliki melebihi kapasitas produksi dari input, maka return (pendapatan) kita akan semakin menurun.

Intinya, pemerintah seharusnya dalam menerapkan kebijakan terkait tarif cukai rokok tidak lagi mengacu kepada instrumen pengendalian. Sebab, instrumen pengendalian ini selain tidak efektif juga berimbas kepada menurunnya kinerja industri hasil tembakau (IHT). Sampai tiba pada waktunya satu-persatu akan bertumbangan.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek