OPINI

Ingat Mensos Juliari Batubara Apes Ketangkap KPK Setelah Pernah Usul Harga Rokok Mahal

Menteri Sosial Juliari Batubara, di bulan ini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus bantuan sosial pada tanggal 6 Desember 2020. Memang ia tidak sendiri, setidaknya ada temannya lima orang tersangka lainnya. Tapi dalam hal bantuan sosial, ia yang paling bertanggungjawab. Sebelumnya sekitar bulan pertengahan tahun kemarin mengusulkan harga rokok dinaikkan minimal menjadi Rp 100.000 per bungkus.

Gila betul usulannya, sebelum jadi Menteri –saat masih duduk di kursi DPR—tak pernah bicara soal rokok. Begitu menjadi orang nomor satu di bagian sosial, ia langsung dapat orderan usulan terkait rokok. Pertanyaannya, apakah orderan itu ada fee nya? silahkan pembaca berasumsi sendiri. Tapi kalau melihat kasus penanganan bantuan sosial untuk covid 19 yang akhirnya ia harus dikawal KPK, ia sungguh tega benar, jika ia tebukti. Apalagi untuk urusan selain bansos yang mungkin lebih tidak ada tanggungan hati tega, mungkin ia lebih.

Sebenarnya, semua orang apalagi sekelas Menteri Sosial sah-sah saja usul tapi jangan asal. Apalagi usulnya ditambah usil – tanpa dasar dan pakai logika awur-awuran– malah muncul masalah baru, dari pada memecahkan masalah.

Dalam berita yang diadaptasi dari KOMPAStv tanggal 20 Juli 2020, diberitakan Mensos Juliari Batubara usul harga rokok Rp 100.000 perbungkus dengan berbagai alasan dengan alasan usil.

Usil pertama, alasannya Negara juga dapat cukai lumayan. Ini kok kayak tidak pernah baca tentang penerimaan negara dari pungutan cukai. Ya tidak lumayan lagi justru besar. Cukai tidak dinaikkan lagi, itu kemarin bisa buat nambelin defisit BPJS, buat bantu peralatan medis atau sarana prasaranan di RS. Buat beli mobil dan motor operasional baik dinas kesehatan dan dinas lainnya, pembangunan sekolah perawat, pembiayaan untuk menambah ketrampilan bagi masyarakat dan masih banyak lagi alokasi lain dari dana pungutan cukai.

Di daerah-daerah para kepala daerah sampai bingung, dananya mau dibuat apa, karena saking banyaknya sehingga banyak program alokasi dana tidak tepat sasaran, juga tiap tahunnya masih banyak silpa. Belum lagi yang di bagikan kedaerah-daerah hanya 2 %, yang 98% masih mengendap di pemerintah pusat dalam hal ini di Kementerian Keuangan. Atau mungkin dana tersebut di buat bagi-bagi kayak bagi kue, kita semua pada tidak tahu menahu. Tidak ada laporan yang jelas.

Kalau dipikir-pikir usulan Juliari Batubara kenaikan cukai yang usil itu benar juga. Uang rakyat terlebih konsumen rokok dikuras abis, dan ditampung pemerintah termasuk Kemensos. Setelah uang terkumpul ditaruh di lemari besi yang gede, nanggung kalau hanya di taruh koper.

Usil kedua, alasannya perokok anak masih menjadi masalah di Indonesia, anak-anak ingin terlihat tua. Ini keterlaluan usilnya. Kalau anak-anak tahu pasti akan marah, yang tua aja pingin kembali muda, kembali imut-imut lagi, hidupnya masih di tanggung, tidak banyak beban tanggungjawab.

Sebenarnya tidak ada korelasi signifikan antara aktifitas merokok dengan naiknya tingkat perokok anak. Anak-anak sekarang sudah pada pintar, dari pada beli rokok mending dikumpulin beli kuota bisa nge game atau minimal buat beli makanan. Mayoritas anak pasti mending milih beli dua itu dari pada beli rokok, soalnya rasanya pahit.

Usil ketiga, alasannya kebanyakan rokok saat ini telah menggunakan tembakau impor. Usil ketiga ini menandakan ia tak pernah baca-baca atau ngikuti perkembangan informasi rokok. Jelas-jelas yang bikin kenapa pabrikan pakai tembakau impor adalah pemerintah sendiri. Harusnya yang dipertanyakan kenapa pemerintah bikin aturan yang tidak mungkin terpenuhi tanaman tembakau lokal.

Aturan tersebut misalnya, mengatur low nicotine low tar. Mana ada tembakau lokalan dengan kearifan lokalnya bisa memenuhi batasan rendah nikotin rendah tar. Justru yang jadi kekhasan nusantara itu yang tinggi nikotin dan tar dan itu bikin rokok jadi mantap dan lezat. Aturan ini yang buat pemerintah sendiri intervensi asing ingin membunuh rokok kretek asli Indonesia.

Adanya aturan ini, kemudian dari pada kesulitan produksi pabrikan ambillah tembakau impor, itupun masih sedikit jika dibanding dengan penggunaan tembakau lokal. Tapi pada intinya, pemerintahlah yang harus dipertanyakan dengan aturan low nicotine low tar. Mensos Juliari Batubara harus tahu dan paham dinamika politik rokok di Indonesia, jangan hanya usil.

Usil keempat, alasannya harus diingat pengenalan narkoba dari rokok. Kalau logikanya begitu, artinya pengenalan miras dari minum air. Karena minum air dan minuman miras sama aktifiatasnya. Ini usilnya keterlaluan, narkoba dan rokok itu beda jauh jenis dan karakternya. Masak sekelas pejabat negara tidak paham. Kalau pingin pembuktian, ayo kita sama sama nyoba narkoba dan rokok, biar pak menteri tahu perbedaannya lebih jelas.

Pantas Pak Mensos Juliari Batubara dikawal KPK, lagian banyak usilnya dari pada usulnya yang bener. Jadi kalau omong jangan asal, kalau usul jangan usil.