Melawan Lupa Keberadaan Sunan Kedu Dalam Cerita Pertembakauan
OPINI

Melawan Lupa Keberadaan Sunan Kedu dalam Cerita Pertembakauan

Sunan Kedu dalam tradisi lisan sangat erat hubungannya dengan cerita keberadaan tanaman tembakau di Nusantara, terlebih di wilayah Kedu seperti Kabupaten Magelang, Temangggung, Wonosobo. Kekinian, banyak generasi sekarang miskin informasi dan cerita tentang Sunan Kedu. Sedangkan dalam dunia tabib —medis jaman dahulu—Sunan Kedu sangat terlkenal.

Dalam cerita rakyat atau tradisi lisan masyarakat, Sunan Kedu adalah salah satu putra dari Ki Ageng Makukuhan. Masyarakat  minoritas ada yang bercerita Sunan Kedu itu ya Ki Ageng Makukuhan sendiri. Kalau ditanya mana yang benar, wallahu ‘alam –hanya Tuhan yang Maha Tahu–. Akan banyak cerita bahwa Sunan Kedu dan Ki Ageng Makukuhan itu sendiri-sendiri – beda orang—dan keduanya masih ada pertalian darah.

Diceritakan bahwa Ki ageng Makukuhan orang dari keturuan Tionghoa dan beragama Islam. Selain pandai dalam ilmu agama, ia juga salah satu seorang tabib yang tersohor dibelahan dunia dari Nusantara. Keberadaannya pada zaman kewaliaan. Makamnya berada di Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung, tepatnya di daerah perbukitan kecil terdapat komplik makam umum –dahulu–. Di komplek makam tersebut terdapat makam-makam lain dengan beda keyakinan.

Makam yang terletak di Kecamatan Kedu ini, bagi sebagian masyarakat sebagai dasar bahwa Ki Ageng Makukuhan ya Sunan Kedu yang tercatat dalam buku sejarah Kewalian. Versi lain mengatakan Ki Ageng Makukuhan bukan yang terkenal dengan sebutan Sunan Kedu, namun ia adalah ayah dari Sunan Kedu. Pendapat ini dibuktikan dengan adanya makam yang diyakini sebagai Sunan Kedu oleh masyarakat setempat terletak di Dukuh Krajan RW 2 Desa Gribik Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus.

Selain itu, bagi masyarakat yang meyakini juga memberikan bukti letak makam Sunan Kedu terpisah dengan makam umum yang ada hanyalah beberapa makam para pengikutnya. Hal ini berkaitan erat dengan cerita bahwa Sunan Kedu pernah menjadi murid sekaligus menantu Sunan Kudus. Sebelum menjadi murid dan menantu, ia diperintahkan Sunan Kudus untuk membersihkan diri dengan bertapa atau menyendiri –kholwat–di perbukitan gribig tersebut.

Setelah selesai proses pembersihan diri dengan bertapa ia sudah dianggap murid dan bahkan selang tidak lama dinikahkan dengan salah satu putri kangjeng Sunan Kudus yang konon bernama Dewi Larasati terkenal dengan julukan Mbah Nyai Lerak. Komplek pemakaman keduanya memang beda, akan tetapi masih dalam kawasan desa Gribig hanya beda RT.

Karena  mungkin sudah menyatu dengan keadaannya, Sunan Kedu yang mempunyai nama Syekh Abdul Basyir ini sehabis bertapa dan nikah tetap tinggal di perbukitan –dahulu—desa gribig hingga akhir hayatnya. Walaupun sesekali pasti pulang ke kediaman orang tuanya di Temanggung.

Diawal pulang kampung ke Temanggung sebelum menikah, ia dibekali benih tanaman tembakau oleh Kangjeng Sunan Kudus atas saran Kangjeng Sunan Kalijaga –yang ahli dalam bidang pertanian–. Dibawalah oleh-oleh tersebut ke Temanggung dan ditanam.

Perkembangannya, tanaman tersebut selain tidak hidup baik juga tidak mengerti kegunaannya. Maka, ketika kembali ke Kudus, ia melaporkan keadaan tersebut ke Kangjeng Sunan Kudus. Lantas dijawab Kangjeng Sunan Kudus kalau lahan sebagai media tanam tidak cocok, dan nanti kalau sudah baik tanamannya disuruh bawa ke Kudus.

Lanjut ceritanya, kemudian Kangjeng Sunan Kudus melemparkan tampah –terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat melingkar—ke arah wilayah Kedu, dengan menyuruh Sunan Kedu nanti setelah di rumah mencari tambah yang di lempar tersebut, karena jalur dan jatuhnya tampah tersebut tempat yang bagus menanam bibit tembakau.

Sekembalinya Sunan Kedu, iapun mencari tampah tersebut melalui jalur lereng gunung Sindoro Sumbing, yang sekarang terkenal daerah yang keluar tembakau jenis srinthil termahal harganya dibanding tembakau jenis lainnya.

Setelah Sunan Kedu menikah, ia lebih memilih bertempat bekas pertapaannya dahulu –desa Gribig—dari pada tinggal di komplek padepokan Kangjeng Sunan Kudus. Ternyata diperkirakan Sunan Kedu juga mewarisi ilmu pengobatan –tabib—dari ayahnya. Cerita ini sembari masyarakat memberikan bukti bahwa di belakang masjid Gribig ada sungai di tengah sungai dahulu ada batu besar tempat bertapa Sunan Kedu. Nah, di pinggir sungai ada peninggalan Sunan Kedu berupa alat kecil dari batu untuk menumbuk bahan-bahan jamu –berupa alu dan lumpang kecil–.

Bahkan ada cerita yang mengatakan, salah satu media yang dibuat untuk pengobatan Sunan Kedu itu adalah Tembakau. Dikatakan Subhan asli desa Jati Kec. Jati walaupun ia bukan orang asli desa Gribig Kec. Gebog akan tetapi ia dapat warisan dari orang tuanya, dan orang tuanya dari leluhurnya, leluhurnya konon dari Sunan Kedu, kalau mengobati penyakit dalam dicampur dengan daun tembakau dikit dan daun sirih. Metode pengobatan ini ia lakukan sampai hari ini untuk dirinya sendiri tiap kali ia merasa gak enak badan.

Julukan Sunan Kedu –Laqob—bagi Syekh Abdul Basyir disebabkan saat datang ke Kudus dan perkenalan dengan masyarakat mengaku dari wilayah kedu, selanjutnya setelah mendapatkan tahta nama Sunan, masyarakat memanggilnya Sunan Kedu. Sampai sekarangpun lebih populer nama panggilan dari pada nama aslinya. Lain itu memang Kedu –julukan sebelum Temanggung—sebagai tanah kelahirannya.

Dan juga sepeninggal ayahnya –Ki Ageng Makukuhan–, Sunan Kedu pernah harus pulang ke Kedu untuk melanjutkan kiprah ayahnya di wilayah Kedu hingga menjadi seorang pemimpin, kalau bahasa sekarang kepala daerah wilayah karesidenan Kedu. Menjelang wafat, kembali ke Kudus berkumpul dengan istrinya hingga dimakamkan di gribig bersama para pengawalnya.

Sampai sekarang makam Sunan Kudu di Gribig banyak di ziarahi oleh saudaga-saudagar pembuat rokok. Dan bahkan pabrikan-pabrikan besar di Kudus dan sekitarnya rutin tiap bulanan mengadakan selametan—berdo’a pada Tuhan dengan berwasilah atau lantaran Sunan Kedu—agar dalam bisnisnya lancar penuh berkah.

Tak hanya itu, banyak pabrikan di Kudus maupun luar Kudus, banyak sekali saat membangun gudang atau pabrik rokok baru mengambil tanah walaupun sedikit dari sekitar makam Sunan Kedu, untuk di taruh di bangunan tersebut. Maksud dan tujuannya belum diketahui secara pasti, namun bisa diasumsikan untuk ngalap berkah—mendapatkan keberkahan—dari Sunan Kedu, sebagai salah satu tokoh kali petama membudidayakan tanaman tembakau di Nusantara, khususnya diwilayah Karesidenan Kedu Jawa Tengah termasuk Kabupaten Temanggung, Magelang dan Wonosobo.