cukai rokok
CUKAI

Naikkan Cukai Rokok hingga 12,5%, Sri Mulyani Menari di Atas Penderitaan Rakyat

Masih dalam masa pandemi penetapan kenaikan cukai sempat terjadi tarik ulur. Menkeu Sri Mulyani sempat ragu-ragu untuk kenaikan cukai di tahun 2021. Isu ini ditanggapi gembira oleh petani tembakau Agus Pramudji dengan berkata sudah tepat di masa pandemi ini cukai tidak naik, karena kalau naik menyengsarakan petani tembakau, petani cengkeh dan buruh.

Namun ternyata selang tidak begitu lama– masih masa pandemi–, Sri Mulyani mengumumkan untuk kenaikan cukai rata-rata sebesar 12.5 persen. Pengumuman yang mengagetkan dan terkesan mendadak, walaupun sebelumnya sudah ada proses bahasan oleh Sri Mulyani dan jajarannya.
Puas puas dan puas, itulah sekiranya yang dirasakan Sri Mulyani dan anti rokok. Ternyata benar, hingga banyak karangaan bunga ucapan kegembiraan dikirimkan ke Sri Mulyani. Kepuasan Sri Mulyani dan anti rokok sama saja gembira di atas penderitaan rakyat.

Sri Mulyani lebih mengakomodir kepentingan asing, suara WHO dan anti rokok. Ia tak menghiraukan akan berdampak terhadap petani tembakau, petani cengkeh dan buruh pribumi. Sedangkan dasar alasan yang pakai untuk kenaikan cukai masih seperti dulu, salah satunya mengurangi perokok anak. Alasan ini sudah terbantahkan oleh fakta lapangan, bahwa tingkat kenaikan perokok anak di Indonesia tidak signifikan dan tidak ada korelasinya antara perokok anak dengan kenaikan cukai.

Petani tembakau, petani cengkeh dan buruh industri adalah saudara setanah air dan sebangsa. Akan tetapi keberadaannya dinafikan Menteri Keuangan dengan menikkan cukai saat pandemi dan tanpa memberikan solusi. Ini fakta dan bukti Sri Mulyani lebih tunduk ke WHO dengan kerjasamanya dan anti roko, mengorbankan saudara sendiri.

Kalaupun ada pro dan kontra kepentingan harusnya Sri Mulyani representasi pemerintah harusnya bersikap adil dan bijaksana tidak berat sebelah. Apa yang telah dilakukan Sri Mulyani telah menciderai bunyi nilai-nilai dalam Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa.

Sejauh penulis ketahui, selama ini pemerintah belum pernah mengadakan musyawarah bersama untuk mencapai mufakat. Artinya pemerintah belum pernah mengundang yang pro dan yang kontra duduk bersama ngobrol bareng dan musyawarah hingga mencapai kesepakatan bersama. Yang telah dilakukan, pemerintah hanyalah jajak pendapat secara terpisah. Itupun hanya sebagai formalitas, faktanya demikian.

Kenaikan cukai di masa pandemi ini, banyak pihak mengatakan tidak wajar. Salah satunya seperti pernyataan Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), bahwa kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) hingga 12.5 persen sangat memberatkan pelaku industri. Alasannya, dampak pandemi masih akan dirasa hingga tahun tahun kedepan –belum bisa di tentukan–.
Sama halnya pernyataan ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek Nur Azami yang tidak setuju akan kenaikan cukai apalagi di masa pandemi. Beban berat bertingkat akan dialami oleh industri, petani tembakau, petani cengkeh yang notabene-nya mereka adalah penjaga warisan budaya khas Indonesia. Lain itu, keberadaan mereka padat karya sangat membantu pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan.

Dampak yang akan terjadi atas kenaikan cukai di atas semasa pandemi bisa berakibat fatal bagi perekonomian ratusan ribu masyarakat sektor pertembakauan dan sektor lainnya yang beririsan.

Dengan kenaikan cukai, petani tembakau akan sulit menjual tembakau grade atas –daun atas–. Pada satu batang tanaman tembakau rata-rata terbagi menjadi 5-6 grade. Tapi ada juga yang mencapai 9 grade. Grade itu sendiri adalah mutu dan kwalitas daun tembakau, sedang penilaian mutu tembakau disebut grading.

Daun tembakau paling bawah dinamai grade A, ke atasnya Grade B dan seterusnya grade C, D, E, F, G, H, dan I. Kwalitas dan mutu tembakau terendah mulai grade A, semakin ke atas semakin bagus. Begitupun harganya, termurah pada grade A semakin ke atas semakin mahal.

Dampak yang terjadi, pastinya kedepan grade atas mulai F sampai I jarang terbeli atau terserap oleh pabrikan. Jadi kalau ada tembakau grade atas tak terbeli itu adalah kesalahan pemerintah dengan menaikkan cukai.

Alurnya begini, cukai naik harga rokok naik, harga naik konsumen secara umum berkurang atau memilih rokok yang murah. Peredaran rokok melemah, industri melesu akhirnya dengan kalkulasi dan hitungan rigit industri hanya mampu membeli tembakau harga murah atau grade bawah, tidak mampu membeli tembakau yang mahal atau grade atas, jadi tidak terbeli.

Keadaan ini lama-kelamaan harga tembakau pasti akan merosot tajam. Dengan merosotnya harga tembakau, maka tembakau tidak lagi dibeli oleh pabrikan rokok saja, melainkan difungsikan dan diolah industri lain terutama farmasi. Disini yang sangat dirugikan adalah petani tembakau, biasanya saat di beli pabrikan rokok dengan harga mahal, setelah terkena imbas dari kenaikan cukai, harga tembakau jadi murah.

Dampak kenaikan cukai juga akan terjadi pada petani cengkeh, alurnya hampir sama dengan tembakau di atas. Pabrikan rokok kretek akan mencari dan menggunakan cengkeh dengan harga terjangkau –murah–. Akhirnya kenikmatan rokok kretek berkurang. Disini rokok putih akan bersaing ketat dipasaran konsumen melihat kondisi rokok kretek tidak seperti dulu lagi –kwalitas kenikmatan berkurang–.

Lebih dari itu, ketika rokok kretek menggunakan cengkeh harga murah, maka harga cengkeh yang berkwalitas dengan sendirinya harganya akan jatuh. Keadaan inilah dimanfaatkan oleh industri lain –selain rokok kretek–. Dan mungkin lagi-lagi akan dimanfaatkan industri farmasi. Semula cengkeh digunakan hanya sebagai bahan rokok kretek dengan harga tinggi.
Misal ada pemikiran terbalik, artinya jika banyak industri yang memanfaatkan cengkeh untuk hal lain –selain rokok kretek–, harga makin melambung itu salah besar. Bisa dipastikan tetap harganya di bawah harga untuk kebutuhan rokok kretek pada awalnya – sebelum terkena dampak kenaikan cukai–.
Memang benar cukai naik hanya yang sigaret mesin, seakan akan tidak berpengaruh terhadap sigaret kretek tangan. Perlu diketahui, selama ini penopang utama pembiayaan sigaret tangan adalah sigaret mesin. Baik dalam pungutan cukai maupun pembiayaan operasional.

Rata-rata pabrikan rokok baik kecil, menengah maupun besar minimal punya dua merek untuk rokok produksi mesin dan produksi tangan. Apalagi dipasaran rokok sigaret mesin lebih disukai konsumen daripada sigaret tangan.

Jadi kenaikan cukai masa pandemi ini rata-rata hingga 12.5 persen jelas menciderai masyarakat pertembakauan, membunuh mata rantai ekonomi petani tembakau, petani cengkeh, ratusan ribu karyawan/buruh bahkan membunuh perekonomian irisan-irisan sektor pertembakauan –usaha jasa transoprtasi, usaha percetakan, usaha titipan sepeda, toko klontong, pasar tradisional yang semua dilingkungan sektor pertembakauan dan usaha atau jasa lainnya–.

Dimasa pandemi ini, pemerintah mengantongi keuntungan lebih besar dari pungutan cukai, dengan cara membunuh rokok secara perlahan.