perokok
OPINI

Perokok dan Secuil Urusan Remeh-temehnya

Pasangan saya akhir-akhir ini mengeluhkan sikap orang-orang yang mengisap rokok di sembarang tempat. Semua keluhan berujunglah pada sebuah pertanyaan, “Apa mereka itu benar-benar nggak bisa menahan diri sampai tiba di tempat yang tepat?” 

Saya, sebagai yang jarang menyentuh rokok, hanya bisa angkat bahu; rasanya tidak secandu itu. Namun, bagi orang lain, apa betul aktivitas merokok sedemikian candu?

Kami berdua paham bahwa mengisap rokok adalah hak setiap orang dewasa. Meski begitu, idealnya ia dilakukan di tempat yang tidak mengganggu orang lain. Pertama, dikarenakan pergerakan asap rokok di luar kuasa si pengisap, maka yang bisa dikontrol adalah perpindahan si pengisap itu sendiri. 

Merokoklah di tempat yang sebisa mungkin tidak bercampur dengan orang-orang anti asap rokok. Ya, sekali lagi, demikianlah idealnya; sebagian orang berhak untuk jadi perokok, sebagiannya lagi berhak untuk tidak jadi perokok—baik aktif maupun pasif.

Kedua, selain soal asap, kita bisa soroti para perokok yang mengisap rokoknya sembari berkendara; atau lebih tepatnya berkendara sembari merokok. Dengan terpaan angin dari arah tujuan, asap rokok akan terbang ke belakang menerpa pengendara di belakangnya. Tidak hanya asap, bara api rokok pun berpotensi lepas dan mengenai orang lain. Bila kita berselancar sedikit saja di ruang internet, akan banyak kita temukan berita mengenai hal-hal di atas.

Sampai di sini, saya teringat pendapat seorang teman. Sebagai perokok, ia awalnya berpendapat bahwa orang yang merokok sambil mengendarai sepeda motor adalah orang alay. Namun ternyata, setelah ia mencoba tindakan yang sama, pernyataan tersebut ditariknya kembali. “Ternyata enak juga merokok sambil naik motor,” ucapnya terkekeh. Yah, saya hanya bisa menepok jidat kemudian menoyor bahunya. 

Akan tetapi, pengalaman tersebut nampaknya tak bisa dipukul rata ke semua perokok; sebab salah satu teman saya yang lain punya pendapat berbeda. Ia pernah mencoba tindakan serupa dan merasa bahwa berkendara sembari merokok justru membuatnya tidak fokus. Baginya aktivitas berkendara yang aman membutuhkan fokus optimal, tidak bisa dibarengi dengan aktivitas apapun.

Perbedaan pendapat di atas membuat asumsi saya menguat, yakni situasi kecanduan rokok tidaklah bersifat darurat—yang mesti dilakukan saat itu juga jika muncul keinginan.

Ada banyak orang di dunia ini yang tidak mempermasalahkan aktivitas merokok, meski mereka bukan perokok aktif—salah satunya ya pasangan saya itu. Akan tetapi, saya pikir, hampir semua orang di dunia akan mempermasalahkan wajahnya yang terkepul/dikepul asap, atau salah satu bagian tubuhnya terbakar bara api rokok di jalan raya.

Soal asap dan bara api ini akan terbaca sebagai urusan remeh-temeh jika kita enggan menelusuri dampak dari masalah yang timbul karenanya. Menganggap orang yang mempermasalahkan hal-hal tersebut sekadar mengada-ada, menebar kebencian, dll, merupakan sikap perokok yang lari dari tanggung jawab. Padahal, bagi saya, seorang perokok mestilah bertanggung jawab atas segala printilan rokoknya: abu, asap, dan puntung. Begitupun dengan aktivitas berkendara sembari mengisap rokok. 

Bolehlah kita curiga bahwa sikap yang demikian, secara langsung, menjadi penyumbang stigma buruk terhadap perokok: barbar, tidak santun, kurang berempati, gemar bersikap seenaknya. Padahal, jika menilik jauh ke belakang, bukankah dalam sejarahnya, budaya merokok di Indonesia hadir dari ruang-ruang masyarakat beradab?

Karenanya, saya pikir, menjadi perokok beradab bukanlah hal menyiksa, atau bahkan gengsi dilakukan. Bersikap santun tidak akan menurunkan martabat seseorang. Toh, rasa sepat di lidah tidak akan membunuh kita seketika. Oleh karena itu, hasrat merokok bisa saja ditahan sejenak jika kita mesti berkendara atau belum menemukan lokasi merokok yang tepat. Kalau pun sudah tidak tahan tapi masih dalam posisi berkendara, just stop then enjoy your cigarette; jangan bersikap egois dengan terus melajukan kendaraan.

Kita bisa bayangkan, pada suatu hari kita mengendarai sepeda motor sambil merokok, tiba-tiba bara api rokok milik kita terlepas; mengenai mata pengendara lain di belakang kita. Kemudian datang kabar bahwa mata orang tersebut gagal disembuhkan; ia buta, atau cacat. 

Nah, silahkan dilanjutkan membayangkan ini sesuai referensi masing-masing. Sejauh pembayangan, lebih repot mana, menahan diri sampai menemukan tempat aman, atau menuruti hasrat tak beradab?