Istilah “ketengan” tidak asing bagi para perokok. Ketengan merupakan istilah bagi orang Indonesia yang merujuk pada membeli rokok dengan cara diecer per batang.
Budaya membeli rokok ‘ketengan’ sepertinya hanya ada di Indonesia. Entah siapa orang Indonesia yang pertama kali memulai budaya ‘ketengan’ ini. Atau mungkin ini adalah strategi marketing pabrik rokok dari masa ke masa.
Nampaknya kita harus berterima kasih kepadanya, sebab budaya ‘ketengan’ ini menyelamatkan para asongan, pedagang kaki lima, warung-warung kelontong hingga warkop yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Dan menjadi alternatif bagi rakyat tak berduit tebal untuk tetap menghisap cita rasa kretek Indonesia.
Rokok ‘ketengan’ memang sangat lekat dengan rakyat-rakyat kecil, cobalah anda tengok, yang membeli rokok ‘ketengan’ pasti tukang becak, supir angkot, nelayan, buruh, mahasiswa, dan karyawan di saat akhir bulan. Sebab rokok ‘ketengan memang disuguhkan oleh para pedagang untuk menyasar pembeli rokok yang kategori kelasnya menengah ke bawah.
Rokok jenis ‘ketengan’ hanya ditemukan di warung-warung kecil atau usaha unit mikro.
Sungguh di tengah hiruk-pikuk kapitalisme global yang mengagung-agungkan ekonomi makro, rokok ‘ketengan’ menjadi penyelamat ekonomi mikro yang meskipun uangnya adalah recehan (bukan bit koin, saham, cek dan tetek bengek lainnya), namun recehan tersebut rill beredar di masyarakat.
Saya kira untuk mengetahui sejauh mana ekonomi rakyat masih berjalan, dengan cara simpel kita lihat saja apakah rokok ‘ketengan’ masih dijual di warung-warung, sebab ini dapat menjadi tolak ukur yang berkaitan dengan daya jual dan daya beli dalam sudut pandang ekonomi mikro.
Dan apabila kita amati dengan seksama, usaha unit mikro memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia. Menurut data BPS 2014, jumlah UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di Indonesia sebanyak 57,89 juta unit, atau 99,99 persen dari total jumlah pelaku usaha nasional.
UMKM memberikan kontribusi terhadap kesempatan kerja sebesar 96,99 persen, dan terhadap pembentukan PDB sebesar 60,34 persen. UMKM juga berkontribusi dalam penambahan devisa negara dalam bentuk penerimaan ekspor sebesar 27.700 milyar dan menciptakan peranan 4,86% terhadap total ekspor.
Jadi selain dari sektor tembakau yang menyumbang devisa negara yang besar, para pedagang rokok ‘ketengan’ ini pun turut memberikan kontribusi ekonomi terhadap negara.
Dalam banyak penelitian, terutama dalam sudut pandang ekonomi kerakyatan, terdapat hubungan positif antara usaha mikro dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut para ahli ekonomi, usaha mikro berperan terhadap pengentasan kemiskinan, maupun dalam menyerap tenaga kerja Indonesia. Beberapa hal ini yang menjadi basis utama Indonesia dalam menghadapi MEA yang sudah dibuka akhir Desember 2015.
Dibandingkan dengan usaha yang berskala besar, usaha unit mikro terbukti lebih tahan dan resisten terhadap krisis ekonomi. Catatan yang penting lainnya adalah para pelaku usaha mikro ini tidak banyak bergantung kepada suntikan modal dari pemerintah maupun swasta, kebanyakan mereka berdiri dan berjalan secara mandiri.
Hulu ke hilir sektor tembakau banyak memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia, jika dari sektor hulu banyak berdampak besar bagi perekonomian negara dalam skala makro, maka dari sektor hilir pun banyak memberikan sumbangsih dalam perekonomian skala mikro.
Maka hal ini dapat menciptakan tujuan bersama dalam ekonomi kerakyatan bagi rakyat Indonesia. Ciri-ciri ekonomi kerakyatan, menurut Prof. Revrisond Baswir adalah, Pertama, adanya partisipasi penuh seluruh masyarakat Indonesia dalam produksi nasional sebagaimana tertera dalam pasal 27 UUD 1945.
Kedua, adanya partisipasi penuh seluruh masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional. Ketiga, Pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional harus adil dan berada di tangan rakyat.
Pada masa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 seperti saat ini, rokok ketengan bisa jadi alternatif dalam memompa perekonomian di sektor mikro. Jadi kampanye-kampanye berhenti merokok atau peraturan-peraturan pemerintah yang membebani Industri Hasil Tembakau (IHT) harus dihentikan. Lebih baik ngeteng rokok, ketimbang menghitung dana bansos.