PabrikanREVIEW

Gus Baha’: Rokok Bukan Barang Haram dan Bukan Barang Maksiat

Dalam ceramahnya, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim terkenal dengan sapaan akrabnya Gus Baha’ menceritakan dawuh KH. Maimoen Zubair dengan alur cerita bahasan tentang menghukumi rokok. 

Isi kutipan dawuh “wong iku kudu maklumi seng wes ono. Seng penting ora haram ora maksiat, mengko nek darani rokok haram darani Kiai-Kiai seng ngrokok fasiq” terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih “orang itu harus memaklumi sesuatu yang sudah ada yang terpenting bukan haram bukan maksiat, nanti kalau mengatakan rokok haram mengatakan Kiai-kiai yang perokok fasiq.

Fasiq itu sendiri dapat dipahami sebagai perbuatan yang keluar dari ketaatan kepada Tuhan dan Rasulnya. Sedangkan Kiai-kiai dahulu maupun generasi sekarang banyak yang merokok, jadi rokok itu bukan barang haram atau barang maksiat.   

Saat mengisi acara dalam rangka malam tujuh hari wafatnya seorang Kiai Ahli Qur’an sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren al-Munawwir Yogyakarta, tidak lain beliau KH. Raden Najib Abdul Qodir, cucu dari KH. Munawwir, salah satu pembawa sanad al-Qur’an dan ahli ilmu al-Qur’an di Indonesia. Sebagai seorang yang mengaku muridnya, Gus Baha’ bersaksi bahwa almarhum wal maghfurlah KH. Raden Najib Abdul Qodir adalah Kiai Khos yang sederhana, baik, rendah hati. Lantunan doa’a dan hadiah fatikhah baginya berharap keberkahannya.  

Dalam acara tersebut dihadiri para Kiai senior dan Kiai muda dari Yogyakarta sendiri dan dari luar kota. Gus Baha’ pada waktu itu mengawali ceramahnya yang diakui bukan ceramah, tapi mengaji dengan bercerita tentang pengalaman pribadinya obrolan hukum rokok dengan para Kiai senior dan Kiai muda. Kali pertama, Gus Baha’ mengatakan bahwa seorang Kiai itu punya sifat “adnal khalat” sikap paling rendah. Tafsirannya kira-kira, Kiai-kiai punya kebiasaan level bawah /titik minimum kelakuan. Jadi Kiai-kiai banyak yang merokok itu sudah biasa. 

Agama Pun butuh nilai dan batas minimum, tanpa batas minimum maka umat – manusia- akan mengalami kesulitan ketika beribadah pada Tuhannya. Jangan pernah menganggap dunia itu sempurna. 

Bagi Gus Baha’ yang diperoleh manusia itu tidak selamanya sempurna. Ketidaksempurnaan itu justru penting dan bermanfaat kepada orang lain yang punya keterbatasan.  

Diceritakan dalam ceramah, suatu ketika Gus Baha’ ditanya kakeknya tentang hukum rokok? Saat itu Gus Baha’ tidak berani membahas dan menjawabnya. Walaupun mungkin Gus Baha’ sudah mempunyai segudang dalil. 

Gus Baha’ mengakui bahwa beliau bukan perokok, akan tetapi kalau berdebat tentang hukum rokok dengan para Kiai senior, ia tak akan menang. Apalagi dengan kakeknya sendiri seorang perokok yang ‘alim dan dari keturunan orang ‘alim pula.

Gus Baha’ adalah keturunan dari Kiai Asnawi asal daerah Damaran Kudus, kota kretek. Orang memanggilnya Kiai Asnawi sepuh, ia adalah salah satu guru dari KH. Sholeh Darat Semarang. KH. Sholeh Darat itu sendiri salah satu guru KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. 

gus baha

Gus Baha’ bersama KH. Said Aqil. (foto: nu.or.id)

Kembali ke cerita kakeknya, setelah Gus Baha’ tidak mau membahas tentang hukum rokok, kemudian kakeknya berkata dengan candaan, kalau ditafsir dan dibahasakan Indonesia kurang lebih begini, “ walaupun menurutmu hukum rokok haram, bukan berarti tidak boleh dirokok, karena barang haram itu harus dihanguskan, dengan dirokok menghanguskan barang haram”.

Perkataan kakek Gus Baha’ memang candaan. Kiai ‘Alim dalam segala hal suka bercanda, karena itu hiburannya. Akan tetapi, candaan seorang ‘Alim bukan tanpa dasar. Dengan segudang disiplin ilmu yang dikuasainya, sudah menjadi kebiasaan seorang ‘Alim ketika menyikapi dan menjawab problematika dunia dengan candaan dan jawaban sederhana.

Candaan seorang ‘Alim mengandung makna sebuah jawaban bersifat qiyasi dan isyarat. Candaan yang telah dikatakan Kakek Gus Baha’ ini, sebagai isyarat bahwa rokok itu bukan barang haram. 

Masih ingat KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, karena saking cerdasnya, hampir tiap pertanyaan kepadanya di jawab dengan jawaban candaan sebagai kiasan, dan minimal pertanyaan di jawab dengan pertanyaan. Dengan banyaknya disiplin ilmu yang terkuasai dan pengalaman, maka Gus Dur semua masalah dianggap mudah.

Tradisi candaan sebagai kiasan dalam menjawab persoalan tidak berhenti disitu, diceritakan lagi oleh Gus Baha’, ketika bertemu dengan K. Muad, seorang Ulama’ senior perokok juga begitu, dengan berkata kalau rokok haram, ya jangan disimpan tapi dibakar dengan di rokok. Kalau ada orang yang mengharamkan rokok harusnya dia justru harus merokok. Lagi-lagi ini adalah candaan seorang yang ‘Alim. Ia berkata demikian, dan ia seorang perokok. 

Kemudian Gus Baha’ teringat pesan KH. Maimoen Zubair, yang menceritakan bahwa Kiai Mahrus seorang perokok. Jadi pesan beliau ini mengandung isyarat bahwa jangan sampai mengharamkan rokok dan yang merokok, karena merokok adalah aktifitas yang telah dilakukan oleh para ‘Alim terdahulu. Jika mengharamkan rokok, itu sama saja menghukumi fasiq terhadap guru-guru kita yang tentunya lebih ‘Alim dan lebih dalam ilmunya.