Siapa bilang keberadaan cengkeh hanya ada Indonesia bagian Timur? Pernah tahukah kita bahwa cengkeh juga pernah tumbuh dan ditanam di Jakarta?
Meski tanaman endemik asli Indonesia ini memang awal keberadaannya berasal dari kepulauan Maluku yang disebut sebagai ‘Empat Pulau Gunung Maluku’: Ternate, Tidore, Moti dan Makian. Seiring perkembangan masyarakat Indonesia dalam menanam cengkeh, akhirnya turut merambah hingga ke Pulau Jawa.
Sampai hari ini beberapa daerah di Jawa seperti Banten, Bogor, Malang, dan masih banyak lainnya terhitung masih produktif menghasilkan cengkeh. Nah yang menarik adalah siapa sangka kalau masyarakat di Jakarta dahulu juga banyak yang menanam cengkeh. Jakarta yang dikenal sebagai entitas masyarakat Betawi luput dalam pusaran sejarah soal cengkeh di Indonesia.
Jadi begini, sebenarnya ini adalah sejarah lisan keluarga yang menuturkan sejarah bagaimana kakek saya pernah menanam cengkeh di kebunnya. Meski sekarang bekas kebun kakek telah disulap menjadi apartemen mewah di bilangan daerah Bintaro, Jakarta Selatan.
Sejarah lisan ini perlu saya tuturkan agar jejak sejarah cengkeh di tanah Betawi tidak begitu saja hilang ditelan amnesia zaman.
Sejak era kolonialisme Belanda di Indonesia, kakek saya dititipi untuk mengurus sebidang tanah oleh salah seorang Tuan dari negeri Belanda. Lantas karena amanah tersebut, kakek mulai menggarap tanahnya dengan bercocok tanam aneka macam tanaman. Mulai dari kecapi, rambutan, pisang, dan segala jenis umbi-umbian yang lazim ditanam di kebun orang Betawi pada masa itu.
Ketika masa penjajahan Jepang di Indonesia, Tuan yang menitipkan tanah kepada kakek kemudian pergi ke Belanda dan tidak pernah kembali lagi. Jadilah kakek saya sebagai pemilik dari sebidang tanah tersebut.
Selepas Indonesia merdeka, kebun kakek mulai ditanami salah satu tanaman yang paling dicari di era kolonial. Ya, tanaman tersebut adalah cengkeh. Menurut penuturan kakek, menambah cengkeh dalam tanah garapannya dikarenakan nilai ekonomis cengkeh yang sangat strategis.
Sejak berkembangnya industri kretek di Indonesia, cengkeh yang menjadi salah satu bahan baku kretek kembali menjadi tanaman yang bernilai ekonomis.
Karena alasan tersebut, kakek akhirnya menanam cengkeh. Meskipun hanya beberapa pohon dan tidak banyak, namun menurut penuturan kakek, cengkeh mulai banyak ditanami oleh orang-orang Betawi di beberapa daerah Jakarta.
Sejak era 1960-an kakek menanam cengkeh hingga era 1980-an merawat pohon cengkeh miliknya menjadi rutinitas sehari-hari yang biasa kakek lakukan. Ketika masuk masa panen, kakek terlihat sibuk memisahkan antara buah dan batangnya yang kemudian dipisahkan dan dimasukkan ke dalam karung yang berbeda.
Setelahnya, satu karung penuh berisi buah cengkeh dan satu karung penuh berisi batang cengkeh diangkut oleh kakek untuk dijual ke Bogor. Sekembalinya kakek dari Bogor, anak-anaknya sudah menunggu kakek untuk meminta dibelikan masing-masing keinginan mereka. Sebab mereka tahu kakek membawa uang yang banyak dari hasil penjualan cengkehnya.
Nah kemudian terjadilah fase yang menyedihkan mengenai kebun cengkeh kakek dan beberapa orang Betawi lainnya yang menanam cengkeh. Pada tahun 1992 melalui Keppres 20/1992 jo Inpres 1/1992 lahirlah Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang kemudian memonopoli perdagangan cengkeh.
Karena BPPC inilah cengkeh kakek nilai jualnya menjadi murah. Menurut kakek karena nilai jualnya murah menjadi tidak sebanding dengan apa yg dikeluarkan oleh kakek selama bertahun-tahun untuk perawatan cengkeh.
Akhirnya kakek memutuskan untuk membiarkan pohon cengkehnya begitu saja. Pohon-pohon cengkeh terbengkalai, bukan hanya pohon kakek saja, tapi juga pohon lainnya yang ditanam oleh orang-orang Betawi di kebun mereka.
Sangat disayangkan memang pada akhirnya hingga kini jejak sejarah penanaman cengkeh di tanah Betawi sudah tidak terlihat lagi rekam jejaknya. Mungkin karena memang tidak ada lagi yang memerhatikan fase sejarah pernah ada cengkeh di tanah Betawi.
Dan mirisnya lagi, jika ada yang mau memperhatikan, jejak sejarah cengkeh di tanah Betawi hanya akan dituturkan melalui sejarah lisan, karena jejaknya sudah tertimbun bangunan megah kota metropolitan.