bansos rokok
OPINI

Soal Bansos Tidak Boleh untuk Beli Rokok, Bagus tapi Berlebihan

Mengawali tahun baru 2021 masih dalam kondisi pandemi baiknya kita saling mengingatkan sesama, kita harus semakin waspada terhadap virus covid 19. Virus ini makin lama makin mendekat di sekeliling kehidupan kita. Walaupun kita punya ketajaman mata, tapi kita tetap tidak mengerti dimana tepatnya posisi virus tersebut berada. Lebih baik kita jaga diri masing-masing dan jaga orang lain dengan selalu mengenakan masker, selalu cuci tangan dan menjaga jarak atau hindari kerumunan.

Lain itu, di awal tahun 2021 ini, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini atau Risma disibukan menata kembali bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat. Sebab, di akhir tahun 2020, ia baru dilantik menjadi Mensos menggantikan Juliari Batubara. Kedua, model bansos untuk wilayah Jabodetabek mendatang berupa beda, tidak lagi bantuan sembako, yang ada bantuan langsung tunai. 

Yang dilakukan Mensos baru mempersiapkan tools atau alat kontrol, agar benar-benar bansos tepat sasaran dan benar-benar dibelanjakan untuk kebutuhan primer –pokok–. Mensos Risma menegaskan bantuan sembako yang kini diubah menjadi bantuan langsung tunai, dan tidak boleh dibelikan rokok. Kemensos kedepan akan menyiapkan alat untuk melacak belanja masyarakat penerima bantuan. 

Risma juga menegaskan, bansos ke depan akan dikirim langsung ke alamat penerima, warga tak perlu lagi mengambilnya di kantor pos. Karena butuh cepat, mungkin kita akan komunikasi intensif dengan pihak kantor pos. Nantinya kantor pos yang mengantar (Kompas TV, Jumat (25/12). 

Penegasan semacam itu memang menjadi budaya bagi mereka yang kemudian menjabat sebagai Mensos. Minimalnya mengimbau agar uang bansos tidak dibelanjakan rokok. Tentu saja, agaknya himbauan ini terlalu berlebihan. Terlepas apakah penegasan tersebut atas arahan sesuai yang disampaikan oleh Menko dan ini juga disampaikan oleh Presiden. Kalaupun sesuai, berarti Menko dan Presiden juga demikian terlalu berlebihan dalam memberikan arahan alokasi bansos langsung tunai.

Karena dalam masa pandemi ini situasi perekonomian sangat sulit, dipastikan masyarakat kelas bawah –wong cilik – mempergunakan uangnya sekecil apapun untuk kebutuhan paling pokok. Karena mereka mengerti betul betapa berat dan sulitnya mencari uang. Bahkan saat ini –masa pandemi—mereka rela mengumpulkan uang recehan. 

Jadi percayalah Bu Mensos, Pak Menko dan Pak Presiden, bantuan pemerintah sekecil apapun sangat berharga bagi masyarakat bawah. Kecil kemungkinan bantuan yang didapat tidak dipergunakan yang semestinya. Jadi tidak perlu dijelaskan, masyarakat bawah sudah mengerti apa yang harus ia lakukan untuk bantuan tersebut. Malah bisa jadi bantuan itu disimpan rapat-rapat dikeluarkan dikit-dikit untuk keberlangsungan hidupnya dan kebutuhan yang sifatnya mendesak.  

Memang arahan tidak boleh dibelikan rokok tersebut hanya sebuah analogi saja. Akan tetapi kenapa harus pakai analogi rokok. Tanpa analogi rokok, kalau memang bukan kebutuhan primer bahkan memang tidak butuh, pasti masyarakat tidak akan melakukannya. 

Masyarakat di bawah sudah paham betul situasi ekonomi sulit dampak pandemi ini. Apalagi saat ini masyarakat di bawah banyak yang kehilangan pendapatan tetapnya. Sehingga mereka rela tiap hari banting tulang gonta-ganti profesi –serabutan—mencari rejeki. Misal biasanya bertani, karena harga hasil taninya anjlok beralih berjualan seadanya di emperan, besoknya menjadi kuli, dan mungkin besoknya berubah lagi profesinya. Yang terpenting bagi mereka asalkan dapat uang walaupun kecil, mereka lakukan.  Tidak jarang, saat berdagang untung lima ratus perak pun dijalani. 

Mereka –masyarakat kecil— sudah menyadari dampak pandemi ini akan lama. Sebagian dari mereka ada yang melakukan gerakan menabung walaupun seratus rupiah per-hari. Mereka tidak berani hidup aneh-aneh, makan pun ala kadarnya. 

Inilah kehidupan masyarakat bawah yang biasa disebut –wong cilik–. Mungkin beda dengan kehidupan masyarakat menengah ke atas, mereka masih relatif aman dengan saving dana yang ia miliki. Itupun masih belum ada jaminan keberlangsungan hidupnya bisa lama. Yang hanya bisa dilakukan masih ada jeda untuk melakukan usaha dengan modal saving dana yang ia miliki.

Kalau memang bansos langsung tunai betul-betul tepat sasaran untuk masyarakat bawah, dipastikan mereka akan mempergunakan sebaik-baiknya. Beda jika bantuan tersebut tidak tepat sasaran, pasti bansos tersebut dipergunakan untuk hura-hura dan hore. 

Jadi, pemerintah dalam hal ini Mensos yang harus dilakukan tidak hanya membuat tools teknis pemberian bantuan saja. akan tetapi yang harus dilakukan mapping data kembali dengan memilah data mana yang prioritas pertama, kedua dan ketiga. Karena bansos selama ini datanya masih tumpang tindih. Dan bahkan celakanya banyak yang belum tepat sasaran. 

Strategi selanjutnya, Mensos harus mengerti betul keadaan di lapangan. 

bansos rokok risma

Yang sering terjadi di lapangan, data yang masuk ke pemerintah saat itu berbeda dengan keadaan saat ini. Misal, pada saat data masuk keadaan memprihatinkan, tapi sekarang sudah kaya, atau sebaliknya. Artinya pemerintah harus punya update data, tidak hanya terpaku data yang masuk kemarin-kemarin. Untuk itu Mensos harus punya strategi kontroling. 

Ide kerjasama dengan kantor pos dengan simtem jemput bola sangat bagus, dan seharusnya memang pemerintah demikian melayani masyarakat. Dengan diantar oleh petugas pos masyarakat tidak lagi repot-repot datang dan antri –berkerumun—di kantor pos. Nah, mungkin selain mengantar, petugas pos bisa difungsikan sebagai alat kontrol tepat dan tidaknya bansos tersebut, selama pengiriman langsung ke rumah-rumah penerima –tidak di drop di kelurahan/satu tempat–. 

Perlu diketahui, terkait covid 19 dan rokok, berdasarkan informasi petugas covid di daerah pantura mayoritas orang yang tahan terhadap serangan covid adalah perokok. sedangkan yang tidak merokok kebanyakan tidak tahan –meninggal dunia–. Di Kudus menurut Aan (nama samaran) salah satu petugas gugus covid di RSUD Loekmono Hadi, mengatakan  orang yang kena covid dan meninggal kebanyakan non perokok sebesar 70%, baru 30% perokok, begitupun di daerah Kabupaten Jepara dan Pati Jawa Tengah.