puthut ea
REVIEW

Tahun Baru dan Pernyebatsan Puthut EA

Anda pernah membayangkan duduk bersama seorang tokoh terkenal? Misal Cut Tari, Giselle.. Eh, kok? Yang lain deh, misal Sujiwo Tejo, Vincent Rompies, Budiman Sudjatmiko atau Jimi Multhazam. 

Saya sih belum pernah membayangkan bisa duduk di sebelah mereka menghabiskan waktu cukup lama ngobrol kesana-kemari. Selain mereka yang cukup sibuk, kayaknya cukup melihat mereka via youtube saja tanpa harus ketemu. Tapi malam ini ada yang sedikit beda, tanpa sengaja saya diundang salah seorang teman ke sebuah sekretariat lembaga advokasi, awalnya saya pikir hanya orang-orang yang saya kenal saja, tapi ternyata ada Puthut EA di antara kami. 

Kalian tahu kan siapa dia? Itu, penulis asal Rembang yang sudah menelurkan beberapa novel terkemuka yang sampai hari inipun saya belum pernah membaca bukunya. 

Saya berempat duduk di meja yang kadang dipakai untuk bekerja oleh teman-teman di lembaga advokasi tadi. Awalnya saya hanya menangkap bahwa Puthut EA ini seorang perokok yang galau di malam tahun baru. Bagaimana tidak, saat pertama duduk dia langsung mengeluarkan 4 macam merek rokok dari dalam tasnya, mulai dari Sampoerna Mild, rokok impor merek Manchester, Dji Sam Soe, Magnum SKT dan Djarum Super. Untuk merek terakhir saya sedikit memberi perhatian lebih, di antara kami berempat hanya saya dan Puthut EA yang mengisap Djarum Super.

Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, apa sih maksudnya sampai seorang Puthut EA punya 4 merek rokok yang diisap saat sedang nongkrong? Apa biar terlihat gaul atau memang dia tidak bisa menentukan apa selera rokoknya? Apalagi saat salah seorang teman pergi keluar mau beli rokok dia masih titip dibelikan merek rokok lain; Djarum Super Next. Aneh.

Teman saya, Dodi, yang hendak pergi membeli rokok akhirnya minta ditemani salah satu dari saya atau Azka untuk pergi ke warung. Azka lebih dulu menawarkan diri untuk menemani Dodi. Tidak ada pilihan lain, saya harus membuka obrolan dengan Puthut EA yang baru saya kenal malam itu. 

Tidak panjang lebar, beberapa saat setelah Azka dan Dodi pergi saya langsung membuka obrolan; kenapa bisa suka ke banyak merek rokok sekaligus, dibandingkan dengan saya yang saat itu “sangu” Djarum Super dan Esse Honey. Jawabannya pun sederhana dan tidak memuaskan bagi saya, menurutnya semua rokok itu enak, tidak harus fanatik ke salah satu merek rokok, dan kebetulan saat itu dia membawa 4 merek rokok yang saya sebut tadi. 

Dari “pick up line” soal rokok saya mulai bertanya beberapa hal, yang paling kikuk adalah saat saya bertanya siapa sebenarnya dia, kenapa 2 orang teman saya sepertinya mengidolakannya? Lagi-lagi jawabannya tidak memuaskan; mungkin kedua teman saya terlalu melebih-lebihkan, menurutnya dia orang yang biasa saja. Memang dia penulis, sering mengisi beberapa acara sebagai pembicara, atau bahkan sempat melakukan beberapa penelitian dan workshop panjang di beberapa lembaga. Dalam hati saya, tidak ada yang terlalu istimewa, orangnya juga ga keren-keren amat. Biasa saja.

Pembicaraan saya alihkan lagi ke soal rokok. Daripada saya terjebak dengan cerita panjangnya sebagai sastrawan atau peneliti. Saya bertanya bagaimana dia mendapatkan rokok merek Manchester yang dia bawa, dan kenapa memilih merek itu dibanding Marlboro atau Lucky Strike? 

Menurutnya Marlboro memang lebih enak, tapi setelah mencoba SPM seperti Manchester dan Winston, pilihannya jatuh kepada dua merek tersebut. Marlboro hanya sekedar pilihan SPM yang akan dibelinya saat sudah kepepet mau menghisap rokok putih, walaupun untuk mendapatkan Winston atau Manchester harus membeli secara online dan dikirim dari luar negeri. Sombong betul pikir saya, apakah penulis sekaya itu sampai harus mencari merek rokok impor. 

Pembicaraan kami berpindah kepada dua merek rokok lainnya, Sampoerna A Mild dan Dji sam Soe, Magnum SKT. Kali ini tebakan saya cukup tepat, dia merokok dua merek tersebut hanya sebagai selingan saat mau rokok yang lebih ringan dibanding Djarum Super, atau sesekali ingin merokok SKT yang tidak terlalu beraroma wangi seperti Djarum 76 SKT. Baginya, hidup itu perlu ditata dengan memberikan porsi cukup ke beberapa bagian, fanatisme merek jangan dijadikan alasan sok setia padahal ingin mencoba yang lain, SKM seperti Djarum Super memang menang dalam segala hal, tapi memilih Rokok selingan kelas Mild dan SKT juga tidak salah, itu soal selera. 

Buatnya, selalu memiliki 3-4 merek rokok yang berbeda di dalam satu tas itu hal yang lumrah, karena dia tidak pernah tahu akan ada dalam situasi seperti apa dan bersama siapa. Kalau bertemu dengan orang yang punya waktu sedikit untuk ngobrol masa harus merokok SKT berkali-kali, penanda pembicaraan selesai setelah rokok habis seperti istilah “sebats” akan kehilangan maknanya. Dasar penulis, pintar saja bicaranya. 

Kami mulai asyik mengobrol soal rokok, salah satunya saat dia mencoba ESSE Honey milik saya, tapi hanya 4 hisapan, 2 hisapan saat rokok dibakar biasa dan 2 hisapan setelah “menthol click” dipencet olehnya. Mimik wajahnya berubah menunjukkan rasa kurang pas dengan sensasi ESSE Honey, rokoknya pun dimatikan sambil berkata; rokok ini aneh, terlalu manis dan aroma madunya kurang cocok baginya. Ini soal selera, Bro. Aku tidak begitu suka dengan aroma rokok ini, ucapnya sambil memandangi batang rokok yang baru saja dimatikan.

Saya berbalik menjelaskan kepadanya kenapa saya memilih rokok Mild merek itu, tidak panjang, lagi-lagi saya sedang berhadapan dengan seorang penulis dan peneliti, salah bicara bisa panjang pembahasannya. Saya alihkan pembicaraan kami ke merek terakhir yang ada di meja; Djarum Super. Kebetulan kami berdua suka dengan merek rokok itu. Dari dia juga saya baru tahu kalau di dalam rokok Djarum Super ada banyak tembakau berkualitas dari berbagai varian dan cengkeh yang diiris dengan baik sehingga menghasilkan aroma dan rasa yang nyaris sempurna. 

Saya lalu bertanya, kalau ditanya soal aliran, “kudusan” atau “jawa-timuran”? Dan kenapa?. “Kudusan”. jawabnya tegas. Kenapa?, Dia sudah merokok sejak lama di berbagai situasi, mulai dari keuangan tipis sampai hidup cukupan, mulai dari mahasiswa yang jarang mandi sampai menjadi pria higienis, penelitian yang panas-hujan naik motor sampai penelitian yang sejuk dan ketiduran saat naik mobil, dan kudusan masih menjadi aliran yang layak untuk dikagumi, mulai dari merek kelas dua dari pabrikan kecil sampai yang premium dari beberapa pabrikan besar. Jawa Timur bagus, tapi masih belum menjadi pilihan utama sejak dia pertama kali merokok.

Kali ini saya merasa obrolan kami mulai nyambung, sepertinya saya terpengaruh jawabannya yang memilih aliran kudusan dibanding jawa-timuran. Lagi-lagi saya dibuai seorang penulis yang cukup hebat, perkataannya seperti punya daya magis. Untung, saya bukan perempuan. Beberapa menit kemudian, Azka dan Dodi datang membawa 2 bungkusan besar kantong plastik, habis belanja banyak ternyata, mulai dari minuman soda sampai cemilan asin-manis. 

Dari dalam bungkusan, Dodi mengeluarkan 2 bungkus Djarum Super Next. Puthut EA menawarkan 1 bungkus kepada saya, sambil berkata; Dicoba, Rul. Aku juga belum pernah mengisap rokok ini sebelumnya, kata orang-orang ini lebih enak dibandingkan Djarum Super Wave. Mungkin kamu cocok dengan rasanya dan bisa-bisa menggeser posisi Sukun Executive di pilihan keduamu. Dodi dan Azka melihat kami berdua, seperti menyelipkan pertanyaan di dalam pikiran mereka, kenapa kami telihat sudah akrab, padahal baru kenal satu sama lain malam itu.

Sebenarnya saya bersyukur Dodi dan Azka tidak pergi terlalu lama, saya tidak bisa membayangkan bisa berbicara lebih dari 30 menit dengan Puthut EA, mungkin antara kikuk sekaligus bisa jadi kagum. 

Di sisi lain saya sebenarnya masih ingin berbicara panjang berdua dengan Puthut EA soal merek rokok apa saja yang pernah dicicipinya, dan bagaimana pendapatnya soal Djarum Super Next yang baru saja kami coba. Tapi kedatangan Dodi yang langsung memotong pembicaraan kami dengan curhatannya tentang wanita berhijab membuat kami mengalihkan pembicaraan ke urusan cinta dan betapa sengsaranya urusan asmara Dodi selama ini. Si tuna asmara.