PabrikanREVIEW

Buruh Perempuan di Industri Kretek

Pada mulanya, manusia diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Kemudian, mereka berikhtiar bersama untuk hidup berdampingan. Mereka hidup dan berkembang biak dalam struktur sosial yang paling sederhana yaitu keluarga. Dari keluarga, berkembang dan beradaptasi lagi ke struktur yang lebih tinggi yaitu masyarakat. 

Kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari hubungan sosial fungsional. Hubungan yang dinamakan saling bantu-membantu. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Sedangkan, dalam hubungan keluarga terdapat relasi sosial. Laki-laki sebagai kepala keluarga wajib memenuhi kebutuhan keluarga. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan primer. Sedangkan perempuan sebagai pendamping laki-laki wajib melayani, dan ketika memiliki keturunan, wajib mengasuh. 

Hal-hal seperti itu menjadi sebuah pemandangan lumrah khususnya di desa. Namun, pemandangan tersebut tampaknya sedikit demi sedikit berbah. Hal ini ditandai dengan bergesernya fungsi perempuan sebagai pendamping laki-laki. Perempuan tidak lagi berdiam di rumah namun juga ikut bekerja. Bahkan, bukan laki-laki yang menjadi penopang hidup keluarga melainkan perempuan.

Pabrik Rokok di Jawa Tengah

pelinting rokok

Buruh perempuan sedang bekerja di salah satu pabrik rokok di Kawasan Industri Kecil Hasil Tembakau

Di daerah Jawa Tengah, utamanya di Kudus, saat ini perempuan bekerja adalah pemandangan yang umum. Mereka bekerja sebagai buruh. Umumnya mereka bekerja di industri kretek. Lebih khusus lagi, mereka bekerja di pabrik rokok. 

Dari data yang diambil dari Kementerian Perindustrian tahun 2021, Jawa Tengah, khususnya Kudus, adalah salah satu pusat pabrik rokok di Indonesia. Jumlah pabrik rokok yang tersebar di Jawa Tengah adalah 135 buah. Jumlahnya hampir mencapai persentase 30 persen. Hal ini melihat keseluruhan pabrik rokok di Indonesia yang berjumlah 374 pabrik. 

Dari seluruh pabrik rokok yang ada di Jawa Tengah, buruh perempuan menjadi bagian terpenting dari roda bisnis. Perempuan diletakkan di bagian produksi. Mulai dari pelintingan, pemotongan, hingga pengepakan. Proses produksi tersebut merupakan bagian dari industri dengan kategori sigaret kretek tangan (SKT). 

Bagaimana dengan laki-laki? Laki-laki ikut pula dilibatkan dalam kegiatan serupa. Namun, mereka lebih banyak ditempatkan di industri dengan kategori sigaret kretek mesin (SKM). Perbedaan seperti inilah yang tampaknya menjadi bagian dari relasi gender antara perempuan dan laki-laki. 

Jika perempuan lebih banyak dilibatkan ke bagian produksi secara manual, sedangkan laki-laki lebih terlibat ke bagian produksi dengan mesin. Mengapa perbedaan tersebut dapat terjadi?

Roro Mendut sebagai Penjual Rokok

Berkaitan dengan sejarah yang pernah ada, melinting adalah keahlian dari perempuan. Alkisah, pada abad ke-17, hiduplah seorang perempuan bernama Roro Mendut. Roro Mendut menolak cinta dari Tumenggung Wiraguno. Cara penolakannya dengan membuka warung kretek. Ia berjualan puntung rokok di pasar. Di samping itu, ia juga menghisap kretek yang telah dilintingnya. Nantinya bekas isapannya dijual kepada siapa saja yang sedang berkunjung ke pasar. 

Harganya melonjak karena isapan Roro Mendut, yang dianggap banyak orang sebagai perempuan elok nan jelita. Tumenggung marah dan berusaha menerapkan pajak yang tinggi kepada produk apa pun. Hal tersebut dilakukan agar Roro Mendut tunduk kepadanya. Akan tetapi, Roro Mendut tetap melawan dengan menjual aneka perhiasan untuk berjualan puntung rokok.

Kisah inilah yang kemudian menjadi glorifikasi bahwa perempuan layak dijadikan pekerja di industri kretek. Tangan perempuan lebih sesuai untuk pekerjaan seperti melinting. Kisah lainnya juga terungkap pada kisah Nasilah. Masyarakat Kudus menganggap Nasilah adalah penemu kretek di Indonesia. 

Pada mulanya, Nasilah ingin menyingkirkan kebiasaan nginang para pedagang di pasar. Sebab musababnya, ampas yang dihasilkan dari nginang membuat warungnya menjadi tidak bersih. Saat itu, Nasilah berjualan rokok klobot. Rokok ini berisi irisan daun tembakau dan sedikit cengkeh. Kemudian dibalut dengan daun jagung dan diikat dengan tali. 

Tidak disangka, kreativitas Nasilah berbuah manis. Dagangannya kian laris. Oleh karena kepintarannya tersebut, seorang pemuda bernama Nitisemito tertarik dengan Nasilah. Keduanya bertemu dan berlanjut hingga ke pelaminan. Singkat cerita, Nitisemito berniaga dengan mendirikan perusahaan rokok Tjap Bal Tiga. Kelak, perusahaan itu disebut-sebut sebagai perusahaan rokok pertama di Indonesia.

Kedua kisah tersebut seakan menjadi penanda awal bahwa perempuan memang memiliki peran penting dalam industri kretek. Di samping kelentikan tangannya, keuletan dan kegigihan dalam produksi hingga distribusi menjadi indikasi di balik perempuan menjadi ujung tombak di industri kretek.

Maka, perempuan sebagai pekerja bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan, perempuan bisa menjadi tulang punggung keluarga. Jika demikian, sesuai dengan konsep Abraham Maslow terkait Hierarchy of Needs Theory. Hal pertama yang perlu bahkan harus dipenuhi oleh setiap manusia adalah makan dan minum (physiological needs).

Setelah itu, baru mencapai kesadaran untuk bebas dari bahaya dan ancaman lingkungan. Yang paling ujung atau terakhir, ingin memiliki perbedaan daripada lainnya. Namun, melihat dari sedikit fakta yang hadir, tampaknya buruh perempuan lebih mementingkan pada urusan yang berkaitan dengan perut. Urusan makan dan minum. 

Perempuan di Industri Kretek

Industri kretek mencakup dari hulu ke hilir. Dari pengolahan tembakau yang dilakukan oleh petani hingga pengemasan menjadi batang rokok di pabrik rokok. Semuanya dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak terkecuali perempuan. 

Perempuan dianggap menjadi aktor penting di balik kegemilangan industri kretek. Tangannya yang lentur dan lentik dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan laki-laki. Meskipun begitu, terdapat berbagai catatan yang miring tentang aktivitas perempuan di industri kretek, khususnya di pabrik rokok. 

Penelitian yang dilakukan oleh Dian Maulina Wijayanti tentang Belenggu Kemiskinan Buruh Perempuan Pabrik Rokok mengungkapkan catatan miring. Pekerjaan seperti mbatil, nggiling, dan nyontong tidak memerlukan pendidikan yang tinggi. Pekerjaan seperti itulah yang sesuai bagi perempuan. 

Di samping itu, perempuan memiliki peran ganda. Di sektor privat, perempuan harus mengurusi rumah tangga sedangkan di sektor publik, perempuan menjadi buruh. Sehingga, peran ini justru menjadi beban yang lebih berat dibandingkan aktivitas laki-laki atau suami.

Sedangkan penelitian yang dilakukan Keppi Sukesi tentang Konstruksi Gender dalam Kerja/Dunia Industri Kasus Pekerja Pabrik Rokok di Jawa Timur mengungkapkan relasi gender di ruang kerja atau pabrik rokok. Adanya beban ganda yang dialami oleh perempuan. Kemudian relasi kuasa antara pengusaha dengan buruh perempuan. Buruh perempuan hanyalah sebagai pekerja yang tidak boleh mengambil keputusan.

sales rokok

Tidak hanya di pabrik rokok bahkan di lingkungan masyarakat, perempuan yang sejatinya memiliki kedaulatan penuh atas keluarganya karena dirinya bekerja, tidak bisa mengambil keputusan. Hal ini disebabkan relasi sosial dan perempuan yang tidak seimbang. Posisinya hanyalah menyumbang tenaga tanpa pikiran. 

Pola gender di lingkungan pabrik rokok terkesan patriarkis. Sehingga, lagi-lagi perempuan tidak dapat mengambil keputusan. Perempuan bergerak hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Maka, perempuan akan menggunakan segala daya dan upaya untuk tetap bertahan. Tambahan lagi, mereka bertahan untuk tidak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) 

Dari dua penelitian di atas menunjukkan adanya ketimpangan terhadap perempuan. Maka, dapat dikatakan perempuan tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka butuh. Akan tetapi, secara kultur masyarakat, peran perempuan sering kali direduksi. Hal ini disebabkan perempuan lebih cocok untuk berkarya di rumah. 

Hal Menarik dari Buruh Perempuan

Namun, ada hal menarik yang patut dipertimbangkan. Selain alasan bahwa perempuan memiliki kelentikan pada tangannya, penulis menemukan fakta menarik saat bertemu dengan salah satu anak dari perempuan, orang tua mereka, yang bekerja sebagai buruh di pabrik rokok di Kudus.

Menurutnya, dengan kehadiran perempuan di pabrik rokok setidaknya menghidupkan perekonomian di Kudus. Contohnya begini. Jam kerja buruh perempuan di pabrik rokok antara pukul 07.00 hingga pukul 15.00. Sebelum mereka masuk pagi, di depan pabrik rokok berjubel puluhan pedagang. Mulai dari penjaja makanan ringan, berat, hingga pakaian. 

Di situlah transaksi ekonomi bergulir. Sebagian besar perempuan pasti menghabiskan waktu untuk bertransaksi di sana. 

“Ibu itu sebelum masuk kerja, pasti beli makanan, Mas. Biasanya arem-arem, onde-onde, atau makanan yang bisa disambi saat bekerja lah, Mas,” ujar Eko (31), anak dari perempuan, orang tua yang bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik rokok. 

Fakta lain juga diungkapkan oleh seorang buruh perempuan yang bekerja sebagai staf administrasi, Winda (26). 

“Memang, sih, mas. Dengan adanya ibu-ibu tersebut, dagangan yang diperjualbelikan di depan pasti laris manis. Apa pun dagangannya. Makanya sampai sekarang, asalkan tangan mereka masih bekerja, tetap diperbolehkan bekerja. Meskipun mereka telah berusia lanjut,” ucap Winda.

Pandangan seperti ini yang agaknya berbeda ketika dikaitkan adanya belenggu kemiskinan bagi buruh perempuan di dunia rokok. Pasalnya, ada perspektif yang cukup unik. Yaitu, bagaimana ruang publik menjadi tempat yang tidak hanya untuk bercakap melainkan juga transaksi bisnis. Hal ini membuktikan bahwa perempuan tidak hanya menjadi penyedia tenaga di pabrik rokok melainkan ikut menggerakan denyut nadi perekonomian di Kudus.  

Ketika perempuan berhasil menggerakkan perekonomian di Kudus, tentu saja berdampak positif pada produktivitas perempuan dalam bekerja. Sesuai dengan studi Hawthorne terkait Do Human Relations Principles Work bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan perempuan harus bekerja. Di antaranya adalah memenuhi kebutuhan keluarga sebab mereka menjadi tulang punggung keluarga, membantu suami untuk mencari penghasilan tambahan, atau mencari kesibukan lain selain di rumah. 

Ketika mereka melakukan pekerjaan tersebut, mereka mendapatkan penghasilan yang lebih. Natalia, dalam tulisannya berjudul Perempuan Perkasa di Pabrik Rokok, mengatakan bahwa permasalahan dalam buruh perempuan tidak lahir karena relasi gender. Melainkan relasi kuasa yang diciptakan oleh pemerintah. Kekhawatiran terbesar dari buruh perempuan adalah persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK)  

Dalam data yang diluncurkan Dirjen Bea Cukai, jumlah perusahaan rokok memang menurun dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2011 pabrik rokok berjumlah 1.540 pabrik, untuk tahun 2017 tersisa 487 pabrik rokok. Bahkan, jika mengacu pada data Kementerian Perindustrian, tahun 2020 jumlah pabrik rokok kembali menyusut menjadi 374 buah. 

Maka, tidak heran ketika banyak perempuan yang hidup dari industri kretek, khususnya pabrik rokok, khawatir akan terjadinya PHK. Apalagi melihat jumlah pabrik rokok yang terus menyusut. Namun, mengacu pada pada kebijakan pemerintah tentang kenaikan cukai 2021, tampaknya buruh perempuan dapat bernafas lega. Sebab, sigaret kretek tangan (SKT) menjadi satu-satunya yang tidak terkena dampak kenaikan cukai. 

Buruh perempuan memang menjadi tumpuan bagi pabrik rokok khususnya SKT. Dari permulaan hingga akhir, pemberdayaan perempuan sangat dimaksimalkan. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan cukai 2021 setidaknya melegakan bagi mereka. Namun, apakah mereka terlepas dari beban dan ancaman? 

Pertanyaan tersebut harus dijawab dengan pendalaman lebih lanjut. Yang jelas, pada dasarnya perempuan tidak bisa terlepas dari urusan domestik. Ketika mereka selesai bekerja, mereka mengerjakan urusan domestik seperti (memasak, mencuci, menyapu, dan sebagaimana mestinya). Bahkan, sebelum mereka bekerja pun, mereka menyiapkan bekal, baik suami maupun anak, menyapu, mengepel lantai, dan lainnya. 

Beban ganda memang menjadi problematika tersendiri bagi perempuan. Namun, itu adalah perspektif yang lain. Sebab, mau bagaimanapun, perempuan membutuhkan industri kretek. Begitu pula dengan sebaliknya. Industri kretek juga membutuhkan perempuan sebagai ujung tombak khususnya di pabrik rokok. 

Kesimpulan

Buruh perempuan di industri kretek mengalami dua sisi dilema. Dilema pertama adalah perempuan perlu mendapatkan penghasilan tambahan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Dilema kedua adalah industri kretek sangat membutuhkan perempuan khususnya untuk melinting. 

Namun, dalam tulisan ini, perlu dikembangkan indepth lebih lanjut. Sebab, tulisan ini baru mencakup dua narasumber. Seharusnya bisa lebih banyak lagi. Maka, diharapkan apabila tulisan ini lebih lengkap, bisa menjawab lika-liku buruh perempuan di balik industri kretek.