logo boleh merokok putih 2

Kenaikan Cukai dan Harga Rokok Imbas dari Peraturan Pemerintah 109

pp 109 kretek

Tahun 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani dan mengeluarkan peraturan pemerintah yang terkenal dengan sebutan PP 109. PP 109 ini selanjutnya sebagai senjata antirokok dalam agenda memerangi peredaran rokok, termasuk mendesak pemerintah menaikkan cukai dan harga rokok.

Sebelum membedah tentang PP 109, terlebih dahulu sedikit cerita penandatanganan PP 109 oleh Presiden  SBY. Draf dan usulan PP 109 memang sudah lama, turunan dari aturan pengendalian tembakau skala internasional yang tertulis dalam peraturan hukum framework convention on tobacco control (FCTC), memuat tentang pengendalian, kontrol, dan pengamanan produk tembakau. 

Sasaran FCTC untuk membentuk agenda global tentang regulasi  tembakau dengan agenda khusus mengurangi penggunaan tembakau dan mendorong penghentian konsumsi dan memfasilitasi akses serta jangkauan pengobatan ketergantungan tembakau menggunakan produk farmasi.

FCTC adalah bentukan antirokok berkolaborasi dengan farmasi dan kesehatan, untuk membentuk hukum internasional dalam rangka pengendalian tembakau, yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (internationally legally binding instrument). 

Ada 2 agenda terselubung pada hukum FCTC, yaitu: agenda perebutan pasar nikotin yang terdapat pada daun tembakau sebagai bahan dasar obat, dan menjual obat pengganti rokok atau nicotine replacement therapy (NRT). Jadi, leading sektor agenda pengendalian konsumsi rokok dunia memakai kendaraan kesehatan dan farmasi. 

Tak berhenti disitu, isu yang digunakan dalam agenda pengendalian tembakau dirubah. Awalnya mengkonsumsi merokok sebagai kebiasaan, selanjutnya bahasanya dipelintir menjadi ketagihan atau kecanduan (addiction). Isunya berkembang lagi, perokok atau mengkonsumsi tembakau memperburuk kesehatan hingga kematian, mengurangi anggaran belanja sehari-hari, sampai pada dapat memiskinkan.

pp 109

Lebih lanjut lagi, isu berkembang bahwa perokok merugikan orang yang tidak merokok dalam bahasa populernya perokok pasif (second hand smokers). Semua isu ini, sengaja dibuat dan dipopulerkan oleh anti rokok, sebagai legitimasi kampanye anti tembakau.

Anti rokok di Indonesia sendiri mengapresiasi adanya hukum FCTC, sehingga mereka gencar melakukan kampanye pembatasan tembakau dengan hanya melihat dari kacamata kesehatan yang belum tentu benar, karena belum adanya riset mendalam untuk rokok asli Indonesia. 

Fakta sejarah, antara rokok yang ada di luar dengan yang dibuat oleh putra bangsa sangat berbeda.

Perbedaannya pada konten rokok itu sendiri. Konten rokok luar hanya tembakau tanpa cengkeh, sedangkan rokok Indonesia olahan tembakau dan cengkeh dan disebut “kretek”. 

Keberadaan anti rokok baik skala internasional atau di Indonesia sendiri didominasi pihak kesehatan, dengan menafikan  segi budaya, dan ekonomi. Bahkan  anti rokok tidak memperhitungkan aspek politik identitas sama sekali. Bahwa rokok kretek itu sendiri maha karya putra bangsa yang mendunia. 

Lembaga anti rokok Indonesia berkolaborasi dengan pihak kesehatan dan didorong oleh anti rokok serta industri farmasi dunia membuat aturan turunan dari hukum FCTC, yang kemudian dikenal dengan PP 109. 

PP 109 ini kemudian lolos dan ditandatangani oleh SBY saat hari libur setelah hari natal tahun 2012. Setelah secara legal mendapatkan persetujuan presiden, PP 109 resmi sebagai bahan rujukan untuk mendesak pemerintah melakukan dan membuat agenda yang sinergi dengan giroh PP 109.

 Gara-gara mendapatkan tanda tangan SBY sebagai presiden, PP 109 sebagai legal hukum dan embrio aturan pengendalian tembakau di Indonesia, termasuk agenda kenaikan cukai dan kenaikan rokok setinggi-tingginya. 

PP No. 109 Tahun 2012 memuat tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, turunan dari hukum FCTC dan amanat Pasal 116 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. 

Terlihat jelas, PP 109 secara manasuka memakai judul Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Artinya, terbitnya PP 109 ini tidak melibatkan dan tidak melihat kepentingan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hanya sebagai kepentingan kelompok antirokok, dan kepentingan asing. 

Jadi, bisa disimpulkan bahwa pelabelan tembakau sebagai zat adiktif hanyalah akal-akalan belaka, persis seperti perkembangan isu yang dibuat dan dipelintir oleh rezim kesehatan dunia dan industri farmasi multinasional untuk perang dagang nikotin. 

Agenda FCTC diturunkan ke PP 109 paling efektif saat ini tidak lain menaikan cukai rokok tiap tahunnya dan menaikkan harga rokok di pasaran setinggi-tingginya.  Tentu saja ada agenda lain, tapi hanya sebagai agenda pendukung.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).