konservasi keperutan
REVIEW

Konservasi Keperutan: Sebuah Mukadimah

Sekira sepekan lalu, saya baru saja menarik selimut untuk menutupi seluruh bagian tubuh saya ketika telepon seluler yang saya simpan di saku kiri celana yang saya kenakan bergetar berulangkali. Di layar telepon seluler, tertulis nama Azami KNPK. Ia menelepon saya. Beberapa waktu sebelumnya, kami berbalas pesan melalui layanan whatsapp. Bisa jadi Ia kurang puas dengan hasil perbincangan via pesan whatsapp. Ia menelepon saya untuk memperjelas percakapan kami sebelumnya via whatsapp.

Dengan perasaan enggan saya menerima panggilan dari Azami. Saat itu, senja sudah menua. Hujan yang seharian turun ditambah letak geografis tempat saya menyelimuti diri yang berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut datangkan dingin ke seluruh penjuru kamar. Rebahan menjadi pilihan yang paling menyenangkan saat itu. Ditambah lagi, sejak pagi hingga sore, bersama empat orang petani saya keliling perbukitan mengecek pohon-pohon yang sebelumnya ditanam oleh para petani di desa tempat saya tugas sekarang.

Masih dalam posisi rebahan, saya menerima telpon lantas berujar, “Halo, Ketua, bagaimana?”

“Jadi, Om. Tulisanmu disetor hari Jumat ya. Sabtu pagi kita tayangkan.” Jawab Azami.

Sejak mengenal Azami sekira tiga tahun lalu, ia selalu menyapa saya dengan sapaan ‘Om’. Ini menyebalkan untuk saya. Tetapi saya tidak pernah protes langsung kepadanya. Biar saja sudah.

“Ok, Ketua. Tapi tulisannya terserahku ya. Jangan diatur-atur, Ketua. Dan sudah barang tentu nggak ada kaitannya langsung dengan kretek.” Tegas saya.

“Aman. Mulai Jumat depan ya.” Jawab Azami sebelum sambungan telpon antara kami terputus lewat kesepakatan kami.

Perbincangan tersebut, terjadi untuk menyepakati jadwal menulis saya di situsweb ini, bolehmerokokdotcom. Ini bukan hal baru bagi saya. Sebelumnya, selama tiga tahun penuh, dua kali sepekan, saya rutin menulis untuk situsweb ini sebelum akhirnya rutinitas tersebut terhenti sekira enam bulan lalu karena saya mesti bertugas penuh waktu di desa Rahtawu, desa paling utara di Kabupaten Kudus untuk mengawal program rehabilitasi lahan kritis dan beberapa program berbasis lingkungan hidup lainnya. Aktivitas ini saya pikir cukup menyita waktu saya sehingga saya pamit kepada teman-teman KNPK untuk tidak lagi menulis secara rutin di sini.

Setelah enam bulan libur menulis untuk situsweb ini, saya akhirnya diberi kesempatan lagi untuk menulis rutin di sini. Dengan keistimewaan yang diberikan Ketua KNPK bahwa saya boleh menulis apa saja selama dalam koridor catatan perjalanan dan catatan etnografi penugasan saya di desa Rahtawu ini, tidak harus menulis perihal rokok dan kretek.

Lewat kesepakatan ini, mulai pekan ini, sekali sepekan setiap Sabtu tulisan saya akan kembali tayang di bolehmerokokdotcom. Sebagai pembuka, saya akan memberi gambaran umum seperti apa isi tulisan-tulisan saya ke depannya.

Dua lembaga besar, sedang bekerja sama mengerjakan program-program berbasis kelestarian lingkungan lewat pendekatan pemberdayaan masyarakat di beberapa wilayah di Kabupaten Kudus. Desa Rahtawu salah satu tempat program itu berlangsung. Selama enam bulan belakangan, dan setidaknya masih ada enam bulan lagi ke depannya, saya menjadi salah satu orang yang diberi kesempatan dua lembaga itu untuk turut serta dalam program ini. Saya ditugaskan tinggal bersama warga tempat program berlangsung–dalam hal ini saya bertugas di desa Rahtawu enam bulan belakangan, dan di desa Rahtawu dan desa Ternadi enam bulan ke depan–untuk memastikan program ini berjalan sesuai rencana. Oleh warga di desa Rahtawu, program ini diberi nama ‘Konservasi Keperutan’. Mengapa ‘Konservasi Keperutan’? Sabar. Pada tulisan-tulisan selanjutnya akan saya jabarkan istilah unik dan menarik ini.

Program kelestarian lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat ini akan menjadi ruh tulisan-tulisan saya yang akan tayang di sini ke depannya. Seperti apa proses-proses pendekatan yang dilakukan terhadap petani pemilik lahan kritis yang mesti direhabilitasi, proses-proses penanaman bibit-bibit tanaman produktif di lahan kritis milik mereka, tulisan feature tentang profil para petani dan tokoh peduli lingkungan di desa, tradisi dan ritus harian masyarakat, aktivitas pemuda dalam mendukung program ini, teknologi tradisional yang diterapkan petani dalam menjaga dan merawat tanaman mereka, serta beberapa tema turunan lainnya dalam dua lingkup utama kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat akan coba saya jabarkan pada tulisan-tulisan saya ke depannya.

Di luar itu semua itu, akan ada beberapa tulisan lain berkonsep catatan perjalanan yang saya lakukan dalam mengawal program ini, tulisan yang memang menjadi minat terbesar saya selama ini.

Anggap saja ini sebagai mukadimah, pengantar awal untuk tulisan-tulisan saya selanjutnya. Pekan depan, sebagai permulaan, saya akan mengenalkan seperti apa desa tempat saya bertugas saat ini. Desa bernama Rahtawu, yang menurut beberapa narasumber saya di sini memiliki arti ‘tempat darah tertumpah’, beberapa narasumber lain bilang artinya ‘wadah/penampungan darah’. Desa yang wilayah geografisnya dikelilingi perbukitan dan terbelah menjadi dua bagian di sisi barat dan timur dipisahkan sejalur aliran sungai yang berhulu di Pegunungan Muria.

Sampai jumpa pekan depan, dan selamat berakhir pekan. Salam sebats, teman-teman kretekus.

Tabik.