OPINI

Rokok Kambing Hitam Monopoli Politik Dagang Nikotin dan Tar

Kampanye antirokok di negara-negara dunia selalu didengungkan termasuk Indonesia. Dan di semua negara yang berkampanye antirokok, semuanya mengatasnamakan kesehatan. Dari rezim kesehatan muncul banyak aturan yang arah tujuannya bingung sendiri.

Sehat itu harta yang sangat berharga bagi setiap makhluk hidup, dan orang yang bekerja dalam dunia kesehatan adalah pekerjaan mulia. Namun kekinian pekerjaan mulia ini ternodai dengan kepentingan.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) sendiri pemegang otoritas tertinggi kesehatan dunia saat ini tidak bisa lepas dari cengkeraman kepentingan industri yang bernama farmasi (obat).

Pada akhirnya WHO menjadi kepanjangan tangan perusahaan-perusahaan farmasi multinasional. Keadaan seperti ini, menjadi era baru dalam dunia kesehatan. Dimana kebijakan kesehatan yang seharusnya dikuasai seorang ilmuwan bernama dokter beralih dikuasai oleh perusahaan obat.

Bahkan hampir rata-rata dokter di Indonesia menjadi agen resmi obat. Para dokter yang bisa menjualkan produk obat, akan mendapatkan bonus tersendiri dan berlimpah. Memang tidak semua dokter berperilaku demikian, masih ada ilmuwan kesehatan (dokter) tidak mau disetir oleh industri farmasi dan sebaiknya memang begitu. 

Dokter yang seharusnya berkuasa, bukan industri farmasi. Dokter adalah profesi mulia, jangan sampai dikotori kepentingan politik ekonomi praktis oleh industri farmasi.  

Gara-gara mendapatkan sokongan dana dari industri farmasi, WHO menjadi ujung tombak dalam perang melawan tembakau (antitembakau).

Sedangkan tujuan utamanya industri farmasi dengan framing anti tembakau memperalat rezim kesehatan, tidak lain untuk menguasai perdagangan nikotin dunia (pasar nikotin). Nikotin sendiri sebagai bahan dasar pembuatan obat tertentu. 

C10H14N2 atau nikotin yang terkandung secara alamiah pada daun tembakau mempunyai banyak manfaat bagi tubuh menurut ahli farmakologi. Nikotin digunakan sebagai obat dan aneka terapi. Nikotin bisa untuk obat rasa nyeri, penyakit gelisah yang berkepanjangan, dan depresi akut.

rokok 

Selain itu, nikotin dan meningkatkan konsentrasi, meringankan penderita skizofrenia akut, sindrom tourette, parkinson dan alzheimer. 

Dengan menguasai pasar nikotin, industri farmasi dengan mudah dan relatif murah mendapatkan bahan yang saat ini tergolong mahal dan langka yang hanya dikuasai oleh industri rokok

Gara-gara inilah, pada akhirnya melalui kendaraan rezim kesehatan menjadikan rokok sebagai kambing hitam. Meletakkan citra buruk pada tembakau. Melalui kampanye-kampanye sampai menyusup pada regulasi dan aturan-aturan pemerintah termasuk Indonesia.

Dalam kampanye, rezim kesehatan selalu mengemukakan tembakau beserta olahannya memberikan dampak negatif terhadap tubuh manusia. Dapat berakibat sakit paru-paru, sakit jantung, kanker, radang, impoten, tidak punya keturunan, alergi bahkan sampai membunuh manusia. 

Tak tanggung-tanggung, tiap pemeriksaan pasien terlebih laki-laki pertama yang ditanya adalah anda merokok?. Jika jawabannya ya, maka penyakitnya langsung dihubungkan dengan rokok tanpa pemeriksaan terlebih dahulu. 

Sedangkan, jelas –jelas keberadaan nikotin sangat dibutuhkan industri farmasi sebagai bahan obat. lalu kenapa ketika dibuat rokok berdampak negatif, sedangkan ditangan farmasi menjadi obat. Ini sangat aneh.  

Apalagi sejarah ditemukannya rokok kretek tidak lain untuk mengobati sakit asma atau bengek yang berkepanjangan. Dengan ramuan tembakau dan cengkeh derita asma H. Djamhari perlahan hilang menuju sehat. 

Keanehan dan ketidakjelasan pun terjadi pada regulasi dan aturan yang mengatur tentang rokok. Katanya rokok itu dapat mengakibatkan banyak penyakit bahkan membunuh. Namun banyak regulasi aturan yang ada tentang rokok hanya pengendalian.

Mulai dari hukum internasional framework convention on tobacco control (FCTC), Undang-undang Kesehatan, Undang-undang cukai, Peraturan Menteri Keuangan hingga Peraturan Pemerintah 109 secara umum bahasa yang dipakai pengendalian, dan tidak ada rekomendasi satupun untuk memusnahkan atau meniadakan tembakau beserta olahannya berupa rokok. 

Lucunya lagi, dalam PP 109 yang isinya menekannya bahwa tembakau dan olahannya masuk kategori zat adiktif, di dalamnya tidak ada pasal satupun sebagai larangan. Sebaliknya, jika dipahami dengan jeli, justru terdapat pasal yang membolehkan mengkonsumsi tembakau dan olahannya dengan dibatasi kadar nikotin dan tarnya. 

Sedangkan yang hanya bisa memenuhi batas kadar nikotin dan diperbolehkan dalam PP 109 hanya tembakau virginia. Karena dengan kearifan lokal dimiliki bumi nusantara ini, kadar nikotin tembakau dihasilkan pastinya di atas lebih dari batasan dalam PP 109.  Begitupun kadar tar dalam rokok kretek pasti lebih tinggi. Itulah kekhasan rokok kretek dan bikin nikmat, bahkan sejarahnya sebagai media pengobatan. 

Kalau memang rezim kesehatan, baik WHO maupun para dokter tidak ada titipan kepentingan, mestinya getol mengkampanyekan tumbuhan tembakau harus dibumi hanguskan dari bumi dan semua merek rokok tidak terkecuali harus tidak ada tanpa batasan apapun, industri harus tutup.

Tapi nyatanya rezim kesehatan tidak melakukan hal itu. Sungguh ambigu dan tidak jelas. Anehnya lagi rezim kesehatan Indonesia hanya akan membunuh industri rokok kretek asli Indonesia dan melegalkan rokok produk asing. Nyatanya ada batasan tertentu yang diatur pada pasal dalam PP 109 tentang batasan nikotin dan tar. 

Jadi sebetulnya tembakau dan olahannya berupa rokok sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, terlebih rokok kretek dengan campuran cengkeh yang sudah terbukti. Gara-gara ada kelompok ingin monopoli politik dagang nikotin dan tar, maka rokok menjadi kambing hitam.