logo boleh merokok putih 2

Secercah Harapan dalam Pelestarian Kretek Tangan

sigaret kretek tangan indonesia

Sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) sedang tidak baik-baik saja. Dalam 5 tahun terakhir kebijakan yang memayungi sektor ini jauh dari kata adil serta memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan industri dari hulu ke hilir. Namun di tengah himpitan kebijakan dan kampanye antirokok yang semakin agresif, secercah harapan muncul bagi pelestarian kretek tangan.

Selama ini kretek tangan terus mengalami penurunan tren konsumsi di masyarakat. Dahulu kretek tangan merajai pasar penjualan dan konsumsi rokok di Indonesia. Sejak hadirnya kretek mesin filter, tren kretek tangan terus merosot menjadi hanya sekitar 10% dari jumlah postur pasar rokok. Sisanya sebanyak 10% dikuasai oleh rokok putih dan 80% dikuasai kretek mesin filter.

Di masa pandemi seperti saat ini, ketika daya beli masyarakat terus merosot ditambah dengan kenaikan tarif cukai yang tinggi, harga rokok menjadi semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. 

Bayangkan saja harga jual eceran rokok berjenis kretek mesin filter atau mild sudah mencapai Rp 25.000-30.000 per bungkus. Sudah tidak masuk akal jika dilihat dari rata-rata pendapatan harian orang Indonesia.

Dengan kondisi yang telah disebutkan di atas, maka tren konsumsi kretek tangan kembali meningkat atau terdapat istilah ‘back to SKT (Sigaret Kretek Tangan)’. Menurut data Kemenperin, produksi SKT mengalami peningkatan 17,6 persen pada 2020 menjadi 55,96 miliar batang dibandingkan produksi tahun sebelumnya yakni 47,57 miliar batang.

SKT menjadi satu-satunya jenis rokok non-pabrikan yang mengalami peningkatan pada 2020, di mana produksi rokok jenis lainnya yakni Sigaret Kretek Mesin (SKM) mengalami penurunan produksi sebesar 15 persen menjadi 162,51 miliar batang pada 2020 dari 191,13 miliar batang pada 2019. 

sigaret kretek tangan

Total produksi untuk keseluruhan golongan yakni Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) pada 2020 mencapai 298,4 miliar batang.

Tak dapat dipungkiri lagi bahwasanya kretek tangan memiliki peranan penting dalam penyerapan tenaga kerja. Proporsi penyerapan tenaga kerja pada SKT sebesar rata-rata 85% dari seluruh industri rokok. 

Serapan tenaga kerja yang besar dikarenakan SKT merupakan industri yang padat karya, produksinya masih dilakukan secara manual lewat tangan-tangan buruh linting.

Para buruh linting ini didominasi oleh perempuan. Sudah menjadi tradisi sejak dahulu, perempuan yang bekerja sebagai buruh linting. Posisi perempuan dalam ketenagakerjaan di produksi SKT membuat perempuan memiliki kemandirian ekonomi dalam rumah tangga.

Posisi kretek tangan bukan hanya sebagai penopang sektor ekonomi semata, melainkan terdapat nilai-nilai kebudayaan yang sangat melekat di tengah-tengah masyarakat. Kretek tangan merupakan trademark dari penciptaan kretek sebagai warisan budaya produk khas hasil tembakau asli Indonesia.

Maka dari itu, secercah harapan yang sedang muncul dan diharapkan tumbuh agar dapat terus lestari di tengah-tengah masyarakat, harus dijaga betul dengan tidak direcoki oleh kebijakan pemerintah yang kontra-produktif di sektor kretek tangan. Lebih baik lagi jika kretek tangan ini diberikan perlindungan khusus oleh pemerintah.

Pemerintah harus mendengarkan kata rakyat, jangan melulu mendengarkan antirokok yang notabene adalah antek asing yang hendak menghancurkan simbol kebudayaan dan kemandirian nasional.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek