peraturan industri hasil tembakau
CUKAIOPINI

Titipan Asing di 5 Aturan Pemerintah? Upaya Mematikan Industri Rokok Nasional

Industri rokok kretek adalah satu-satunya industri asli dari Indonesia. Diciptakan anak bangsa, dikembangkan oleh pengusaha putra bangsa, memberikan banyak manfaat bagi ratusan ribu saudara sebangsa dan setanah air.

Manfaat langsung bagi petani tembakau, petani cengkeh, buruh tani,  karyawan industri, pengrajin keranjang/tempat pengemasan dan usaha percetakan. Manfaat tidak langsung; jasa transportasi, jasa paket, pasar atau toko kelontong, jasa penitipan motor/sepeda. Manfaat efek dominonya; kota yang kedapatan sektor pertembakauan dan industri rokok kretek rata-rata ekonominya sejahtera.  

Keberadaan pemerintah seharusnya melindungi kepentingan industri rokok, yang jelas-jelas dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat Indonesia sendiri.

Menjadi aneh ketika banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah tidak menguatkan industri nasional, namun justru ingin membunuhnya. Setidaknya ada 4 aturan pemerintah tersebut beserta aturan turunannya.

Peraturan Tentang Cukai 

Terjadi pergeseran niatan pungutan cukai semenjak masa reformasi. Masa penjajahan sudah mengenal cukai, setelah merdeka pungutan atas cukai rokok tetap dilanjutkan hingga masa orde baru. Kali pertama tujuan utama pungutan cukai sampai orde baru tidak lain untuk memperkuat keuangan negara yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 1947.

Mutakhir terjadi pergeseran paradigma tujuan pungutan cukai menjadi sarana pembatasan peredaran dan pemakaiannya. Pergeseran muncul semenjak masa reformasi hingga sekarang, sehingga terbit UU No. 39 tahun 2007 Perubahan atas UU No.11 Tahun 1995 Tentang Cukai.

Sebenarnya, munculnya UU No. 39 tahun 2007 ini sangat dipengaruhi oleh rezim kesehatan dengan penetapan tarif rokok semakin tinggi tiap tahunnya. Rezim kesehatan sendiri menyelaraskan dan mengadopsi dari ketentuan framework convention on tobacco control  (FCTC).

Menjadikan syarat pajak, seperti pungutan harus adil dan tidak mengganggu perekonomian perusahaan dikesampingkan.  Pada akhirnya berdampak banyak industri rokok kecil dan menengah banyak yang gulung tikar. 

Peraturan KEMENKEU

Aturan Kementerian Keuangan (KEMENKEU) sendiri turunan dari UU Cukai di atas, sehingga terbit PERMENKEU No. 200/PMK.04/2008. 

Pada PERMENKEU ini mengatur tentang tata cara pemberian, pembekuan, dan pencabutan nomor pokok pengusaha barang bea cukai untuk pengusaha pabrik importir hasil tembakau dengan memberlakukan ketentuan yang sangat berat bagi industri rokok kretek kecil dan menengah. 

Yang terasa aturannya sangat berat terutama mengenai lokasi, bangunan atau tempat usaha diatur pada pasal 3 ayat 3, berbunyi; 

  1. tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman atau tempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin
  2. tidak berhubungan langsung dengan tempat tinggal
  3. berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum
  4. memiliki luas bangunan paling sedikit 200 meter persegi

Aturan ini sangat memberatkan industri kecil menengah sehingga banyak yang gulung tikar. Awalnya banyak industri rokok kretek skala rumahan (home industry). 

Setelah aturan di atas, muncul lagi PERMENKEU NO. 191/PMK.04/2010, mengatur ketentuan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa terkait langsung maupun tidak langsung dalam manajemen dan teknologi akan dikenakan tarif cukai sesuai golongan perusahaan induk. 

Muncul lagi PERMENKEU No. 78/PMK.011/2013, Tentang Penetapan Golongan Tarif Cukai Hasil Tembakau Terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau Yang Memiliki Hubungan Keterkaitan. Aturan ini menutup jalan kerjasama antar perusahaan rokok kretek, sedangkan industri rokok kretek di Indonesia rata-rata berbasis keluarga. Bertentangan dengan UUD 1945 dan praktik ekonomi nasional yang umumnya berbasis keluarga.   

Peraturan Menteri Kesehatan

UU Kesehatan menjadi embrio yang mengatur kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Dalam UU kesehatan No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 113 ayat (2) disebutkan zat adiktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunanya dapat menimbulkan kerugian pada dirinya sendiri atau masyarakat sekelilingnya.

Memasukkan tembakau dalam kategori zat adiktif sangat berbalik arah dengan sifat tembakau. Tembakau adalah bahan obat, bisa dipastikan rasa pahit. Nalar umumnya, rasa pahit sangat dibenci dan dijauhi orang. Jadi memasukkan tembakau dalam kategori adiktif sangat dipaksakan.

Sedangkan barang lain yang pasti berakibat ketagihan tidak masuk dalam kategori adiktif. Ambil contoh; gula, garam, penyedap rasa dan saudara-saudaranya. Selain ketagihan barang-barang ini sudah nyata menjadi biang penyakit, itu diakui banyak ahli kesehatan terlebih para dokter. 

Logika yang dibangun dalam UU kesehatan ini keliru sangat merugikan petani tembakau dan cengkeh. UU kesehatan ini sangat menyesatkan, sehingga aturan turunannya pun menjadi sesat pikir. 

Aturan turunan dari UU Kesehatan ini, muncul Peraturan Menteri Kesehatan No. 40 Tahun 2013 Tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan. selain sebagai aturan turunan, aturan ini mengaksesi dan mengadopsi peraturan hukum FCTC untuk target roadmap 2009-2024.

Bunyi salah satu target roadmap; edukasi masyarakat akan bahaya merokok, penggalaan kampanye anti rokok atau tembakau, perlindungan masyarakat dari bahaya merokok, penetapan kawasan tanpa rokok (KTR), peningkatan cukai, pelarangan iklan, promosi, sponsorship dengan peringatan kesehatan bergambar, dan dukungan untuk berhenti merokok dengan tersedianya pelayanan yang terintegrasi dengan FCTC. 

Peraturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pada tanggal 1 Januari 2014 pemberlakuan UU No. 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). UU ini juga mengadopsi  dari bunyi hukum FCTC, yang mewajibkan pengenaan pajak dan harga produk tembakau setinggi-tingginya. 

Pada akhirnya, PDRD ditetapkan 10 persen menjadi beban pajak ganda industri rokok kretek, pungutan PDRD ini belum termasuk PPh. Artinya, beban pajak industri kretek makin tambah besar dan berat yang berimbas sedikit demi sedikit industri rokok kretek nasional akan berguguran. 

PP 109

Turunan dari UU kesehatan, muncul PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pada PP 109 ini lebih spesifik mengatur langsung tembakau tujuan utamanya pengendalian peredaran tembakau di lapangan.

PP 109 ini juga mengadopsi hukum FCTC internasional yang lagi-lagi disodorkan rezim kesehatan dan industri farmasi multinasional untuk perang dagang pasar nikotin.

Jadi sudah jelas, munculnya banyak aturan sebagai upaya membunuh industri rokok nasional adalah kepentingan asing dengan rezim kesehatan skala nasional maupun multinasional sebagai leading sektornya.