perkebunan tembakau sumatera timur
PabrikanPERTANIAN

Jacob Nienhuys, Pelopor Penanaman Tembakau di Sumatera Timur

Menjelang akhir abad ke-19, Sumatera Timur menjadi daerah dengan geliat ekonomi cukup tinggi. Ann Laura Stoler mencatat dalam bukunya Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, pada abad itu Sumatera Timur telah menjadi lokasi salah satu usaha paling intensif dan paling berhasil perkebunan asing di dunia ketiga, utamanya perkebunan tembakau yang dipelopori oleh Jacob Nienhuys.

Semula, pada awal abad ke-19 itu, nama Sumatera Timur tidak terlalu dikenal oleh bangsa Eropa, kecuali sebagai sebuah karesidenan di Hindia-Belanda. Hingga kemudian usaha perkebunan yang semula diadakan di Jawa meluas dan dikembangkan di Pulau Sumatera, nama Sumatera Timur mulai melambung di kalangan bangsa Eropa. Perluasan ini, menurut banyak ahli sejalan dengan kebijakan politik “Pax Neerlandica” Belanda yang bernafsu menguasai seluruh wilayah kepulauan Indonesia.

Pesatnya perkembangan perkebunan di Sumatera Timur disebabkan, selain karena tanah subur, juga tanaman macam tembakau, karet, teh, kopi dan kelapa sawit menjadi primadona yang sangat menguntungkan dalam pasar dunia. Melejitnya ekonomi Sumatera Timur tak bisa lepas dari tembakau Deli. Tembakau Deli, dalam waktu singkat, menjadi amat populis di pasar tembakau Eropa sebagai pembungkus cerutu yang sempurna. 

tembakau deli sumatera

Sebelumnya, seperti yang tertulis dalam buku Lintasan Sejarah Peradaban Sumatera Timur, Sumatera Timur merupakan sebuah wilayah daratan rendah yang menjadi hutan belantara.

Sejak mulai marak pembukaan perkebunan tembakau itu, lahan-lahan kosong di kawasan Pantai Timur Sumatera menjadi wilayah paling sibuk dengan aktivitas perkebunan komoditas ekspor. 

Aktivitas impor-ekspor ini didukung oleh Selat Malaka sebagai jalur ekonomi strategis yang menghubungkan Asia dan Eropa. Sehingga daerah-daerah yang berada di sepanjang Pesisir Pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya menjadi incaran para pengusaha Eropa guna mengembangkan dan membudidayakan tanaman komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi. Ialah tembakau Deli.

Selain didukung jalur ekonomi yang strategis, Sumatera Timur, khususnya wilayah Deli, memiliki tanah yang sangat subur untuk ditanami tembakau, baik itu tanah dataran rendah maupun dataran tinggi. Kesuburan tanah ini menurut J. Paulus dalam Ensiklopedia Hindia Belanda (Encyclopedie van Nederlandsch Indie), dipengaruhi oleh endapan lumpur yang dikeluarkan dari letusan gunung dari Bukit Barisan. Dalam konteks musim dan cuaca, Deli memang cukup istimewa. Daerah ini tidak mengenal musim hujan yang panjang atau musim kering yang panjang. Musim hujan di Deli dimulai pada Agustus dan berakhir di Januari.

Tengku Lukman Sinar dalam makalah berjudul Sejarah Perkebunan Sumatera Timur Abad ke-19 dan Dampak Sosial Ekonominya mengemukakan, budidaya tembakau dalam skala besar untuk pertama kalinya dilakukan pada 1863 oleh seorang saudagar Arab bernama Sayyid Abdullah Ibn Umar Bafaqih. Namun karena kekurangan modal, ia mengajak saudagar-saudagar Belanda untuk membeli tanah kemudian menanami dengan tembakau di daerah Deli. 

Ia yakin apabila terdapat saudagar yang menanamkan modalnya di Deli, maka saudagar itu akan mendapatkan keuntungan yang besar dan usahanya akan maju. Untuk itu ia datang ke Jawa dengan tujuan menemui beberapa pedagang tembakau Belanda. Di hadapan pedagang-pedagang tembakau ini Sayid mempromosikan hasil bumi dari Deli yang di antaranya adalah lada dan tembakau dengan kualitas terbaik. Ia berkata bahwa Deli menghasilkan ekspor lada dan tembakau sebanyak 30.000 pikul per tahun dan tanah untuk bertanam disediakan oleh Sultan Deli.

Jacobus Nienhuys

pada 1864 Sultan Deli memberikan tanah kepada Jacob seluas 4000 bau untuk ditanami tembakau.
(Sumber foto: https://cintaperkebunan.blogspot.com/)

Berita tersebut (diceritakan dalam buku Suatu Zaman Gelap di Deli) terdengar oleh seorang Belanda, Jacob Nienhuys. Ia datang ke Deli atas usul Sayyid Abdullah saat berkunjung ke Jawa pada 1863. Kemudian diutuslah Nienhuys oleh Firma van Leeuwen en Maintz & Co selaku agen dari pembeli tembakau van den Arend untuk berangkat ke Deli. Dengan menggunakan sebuah kapal carteran, ia tiba di Kuala Deli pada Juli 1863.

Keberuntungan kala itu sedang berpihak kepada Jacob, Sultan Deli langsung menyetujui usulan Jacob. Setahun setelahnya, pada 1864 Sultan Deli memberikan tanah kepada Jacob seluas 4000 bau (satu bau setara 7.096 meter persegi), tanpa dimintai uang sewa. Jacob juga mendapatkan konsesi dari Sultan Deli. Catatan Dada Meuraxa dalam Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara menyebut konsesi itu termasuk juga kehendak Sultan agar penduduk tiap wilayah yang ditanam tembakau diizinkan menanam padi pasca panen tembakau. 

Berkat kualitas tembakau terbaik yang dimiliki keresidenan ini, dalam jangka waktu sepuluh tahun, Keresidenan Sumatera Timur menjadi terkenal di dunia sebagai penghasil ekspor 1/3 dari total ekspor yang dilakukan di seluruh Hindia Belanda. 

Menurut Pelzer pada periode menjelang 1920-an, perkebunan di Sumatera Timur telah mencapai luas yang mencengangkan. Mulai dari pusatnya di dekat Medan, perkebunan itu terhampar dalam rangkaian yang tak terputus-putus sepanjang 100 kilometer jaraknya ke arah timur-laut berbatasan dengan Aceh; kemudian 100 kilometer lagi jauhnya ke arah selatan ke bukit-bukit di balik kota Pematang Siantar; serta lebih dari 200 kilometer ke arah tenggara ke dataran tinggi di sekitar Prapat, di daerah Asahan.