Madura menjadi salah satu provinsi yang tanahnya mampu menumbuhkan tembakau dengan cita rasa yang bikin geleng-geleng kepala. Tidak hanya soal rasa, Madura juga menyumbang 35% dari produksi tembakau nasional dan menjadi produsen emas hijau terbesar dibanding daerah lain di wilayah Jawa Timur.
Tiga jenis tembakau varietas lokal Madura yang banyak dikembangkan dan ditanam di Pulau Madura adalah Prancak-95, Cangkring-95, dan Prancak N-1. Prancak-95 dan Cangkring-95 adalah dua varietas yang mula-mula dikembangkan oleh BALITTAS dari berbagai varietas lokal yang ada. Dua tembakau ini resmi dikeluarkan berdasar keputusan dari SK Mentan No.731/Kpts/TP.240/7/97 dan SK Mentan No.732/Kpts/TP.240/7/97.
Sedangkan untuk varietas Prancak N-1, merupakan kembangan dari Prancak-95 yang disilangkan dengan tembakau oriental agar menghasilkan aroma yang kian khas dan bisa memenuhi kebutuhan produksi rokok kretek berkadar nikotin rendah. Prancak N-1 resmi dikeluarkan lewat keputusan SK Mentan No.320/Kpts/SR.120/5/2004.
Madura menjadi satu wilayah yang erat kaitannya dengan sejarah pertembakau Indonesia. Emas hijau ini, membawa keberkahan ekonomi bagi masyarakat Madura. Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Profesor Kuntowijoyo dalam disertasinya berjudul “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 mengemukakan, bahwa pernah ada fase di mana kejayaan tembakau benar-benar mencapai puncaknya. Di saat itu, setiap pasca panen, dealer-dealer sepeda motor kehabisan stok lantaran diborong orang Madura.
Menelusuri sejarah tembakau masuk Madura, maka tidak bisa mengelakkan keterkaitannya dengan tebu. Di masa lampau, tebu menjadi simbol kapitalisme. Tahun 1870 bisa dikatakan penanda masuknya kapitalisme di Indonesia, sebab pada tahun itu Pemerintah Hindia Belanda membuat beberapa peraturan yang mengubah Indonesia dari sistem jajahan ala VOC menjadi sebuah jajahan yang bersifat liberal.
Merujuk catatan Soe Hok Gie, sejarah tebu di Madura lebih lama ketimbang dari Jawa. Setidaknya hingga tahun 1860 penanaman dan panen tebu di Madura meningkat, mencapai 10 ribu pikul. Namun nahas, setelah itu, produksi makin menurun dan semakin tidak bisa diandalkan sebagai satu sistem ekonomi kemasyarakatan.
Setelah bisnis tebu tidak lagi manis, pemerintah Hindia Belanda mengenalkan tembakau kepada masyarakat Madura.
Tidak seperti tebu, sistem yang dipakai kini tidak tanam paksa, melainkan kontrak, maksudnya perusahaan menyediakan bibit dan buruh mendapat upah. Penanaman tembakau pertama di Desa Pradopo (kini bernama Proppo) Pamekasan.
Tidak ada catatan berapa luas lahan yang ditanami tembakau tahun itu. Namun, nampaknya meluas karena selain di Pradopo, Belanda juga meneken kontrak dengan petani di wilayah kota Pamekasan dan Desa Bunder. Dan produksi tercatat meningkat, pada tahun 1863 sebanyak 264 pikul, tahun 1864 sebanyak 320 pukul dan tahun 1865 dipanen 320 pikul.
Di tahun itu, tembakau mulai ditanam juga di Sumenep dan Sampang. Dalam perkembangannya, produksi tembakau Sumenep melampaui Pamekasan, hal ini terlihat dari luas lahan. Pada 1880 di Pamekasan hanya 279 bau. Di Sumenep sudah mencapai 3671 bau pada tahun 1884.
Perang Dunia I menjadi momen tembakau Madura menembus pasar Eropa. Tetapi sayang, produsen tembakau Surabaya tak bisa menjaga mutu sehingga ditolak pasar Eropa. Pada 1919 saja, hanya tersisa satu produsen yang bertransaksi ekspor tembakau Madura dengan Eropa.