kawasan tanpa rokok
OPINI

Kawasan Tanpa Rokok dan Hati Kretekus yang Tersakiti

Sejatinya, hadirnya peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah salah satu upaya negara untuk berlaku adil terhadap perokok dan non perokok. Sialnya, peraturan KTR malah dimaknai sebagai suatu alat oleh antirokok atau pemangku kebijakan (yang sok antirokok tapi mau duit cukai rokok), sebagai kesempatan untuk membunuh industri tembakau (atau mungkin tepatnya: mencairkan uang dari pendonor. eh).

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Hari Nur Cahaya Murni (yang sekarang pj. Gubernur Jambi) akan memastikan 424 kabupaten/kota pada 2022 dan seluruh kabupaten/kota telah menerapkan KTR pada 2024, sesuai amanat Peraturan Presiden No.18 Tahun 2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024.

Sejujurnya, agak kelewat percaya diri jika dalam waktu 3 tahun kedepan seluruh kabupaten/kota benar-benar bisa menerapkan Perda KTR.  Mengingat, penerapan Perda KTR, di luar konten isinya yang agak “diskriminatif” terhadap para perokok itu tentu saja tidak semudah bercuap-cuap di hadapan media.  

Perokok bukanlah orang bodoh, yang tidak mau membaca segala problematika yang sedang mendera mereka.

Jangankan Perda KTR yang jika dikhatamkan sekali duduk hanya butuh waktu 1-2 jam, membaca nasib di masa depan yang tak tampak saja sering mereka lakukan. Jadi, sebelum penerapan itu benar-benar terlaksana, Kemendagri harus juga menjadi penjamin bahwa Perda KTR yang disahkan sudah sesuai amanat konstitusional dan adil bagi kedua belah pihak. Menjadi tidak lucu jika sahnya suatu peraturan tetapi tidak bisa memayungi seluruh kepentingan, apalagi kalau menjadi alat asing untuk menggolkan agenda mereka.

merokok di KTR

Perokok bukan orang bodoh

Kemendagri perlu mengawasi Perda KTR yang dikeluarkan oleh setiap daerah, apakah sudah sesuai dengan ketentuan peraturan nasional atau tidak. Seperti yang dilakukan terhadap Perda KTR Bogor. Kemendagri dengan tegas mengatakan, bahwa Perda KTR Bogor bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.  

Jangan sampai improvisasi yang berlebihan macam Perda KTR Bogor terulang di daerah lain dan menjadikan peraturan yang inkonstitusional. Apalagi membuka peluang pejabat untuk menjual pasal-pasal dan ayat-ayat aturan kepada orang-orang asing yang punya kepentingan besar terhadap penguasaan ruang dagang nikotin di Indonesia.

Jika peraturan KTR hanya banyak mengakomodir kepentingan non perokok atau antirokok dan pemangku kebijakan hanya berfokus pada “larangan” saja tanpa memenuhi kewajibannya untuk menyediakan ruang merokok yang manusiawi, maka jangan heran jika perlawanan dan pembangkangan dari para perokok akan terasa masif.

Peraturan KTR, Amanat Undang-Undang Kesehatan yang Direvisi MK

Peraturan KTR adalah amanat Pasal 115 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang yang menyebut kata “rokok” sebanyak 7 kali dan kata “merokok” sekali ini menjadi semacam rujukan lahirnya peraturan-peraturan terkait rokok lainnya. 

Kawasan tanpa rokok sendiri, dalam UU ini diatur pada Pasal 115. Pasal ini memberi pengertian secara general tempat mana yang masuk kawasan tanpa rokok seperti, fasilitas pelayanan kesehatan;  tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

Mahkamah Konstitusi (MK) menguji penjelasan pasal 115 ayat 1 UU Kesehatan. Awalnya pasal tersebut berbunyi “khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya ‘dapat’ menyediakan tempat khusus untuk merokok”. MK lalu menghapus kata ‘dapat’ dalam penjelasan pasal 115 ayat (1) UU No 36/2009 tentang Kesehatan tersebut.

Sehingga kini bunyi penjelasan pasal tersebut yaitu “khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok”.

UU Kesehatan ini diimplementasikan ke dalam berbagai peraturan teknis yang ada di bawahnya. Seperti keluarnya Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Larangan Merokok,Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 2 Tahun 2017, dan lain sebagainya. Dalam Pergub tersebut, perokok dilarang merokok di dalam gedung tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya. Alhasil, Pemprov DKI pun pernah merazia gedung-gedung yang masih menyediakan ruang khusus merokok.

Padahal, dengan hilangnya kata ‘dapat’, pengelola tempat kerja dan fasilitas umum yang diperbolehkan lainnya, wajib menyediakan ruang merokok khusus. Hal ini juga didukung oleh putusan kedua MK pada 17 April 2012 yang memerintahkan penyediaan tempat merokok di fasilitas umum.

Bagi Mahfud MD, Ketua MK kala itu, dalam putusan pertama, MK mengatakan bahwa merokok itu berbahaya sehingga perlu ada peringatan. Sementara di vonis kedua, merokok itu selama tidak dilarang oleh undang-undang, maka perlu disediakan ruangan khusus.

“Maksudnya, agar orang tidak merokok di sembarang tempat pada tempat-tempat umum. Merokok di sembarang tempat itu melanggar hak kesehatan orang yang tak merokok. Makanya harus ada tempat khusus agar tak saling melanggar. Hak yang tak merokok dilindungi dan hak perokok juga dilindungi. Kalau di tempat-tempat khusus jelas tak perlu tempat merokok karena merokok itu dilarang,” kata Mahfud dikutip.

Logika Mahfud MD ini sangat adil dan sangat rasional sekali, meski ada yang masih bisa diperdebatkan soal kesehatan. Merokok atau tidak adalah aktivitas legal. Keduanya dilindungi oleh konstitusi. Yang perokok bisa merokok dengan nyaman untuk menyumbang pemasukan negara. Yang tidak merokok juga bisa nyaman menikmati fasilitas dari pajak rokok, tanpa khawatir terpapar asapnya.

Improvisasi Peraturan KTR yang Menyalahi Aturan Nasional

Seperti yang disinggung di atas, improvisasi peraturan KTR di beberapa daerah cenderung berlebihan dan menyalahi aturan nasional. Seperti yang dilakukan oleh Pemkot Bogor dalam Perda KTR Kota Bogor

Perda KTR Kota Bogor memberikan masalah bagi para pelaku usaha. Misalnya saja, terkait pelarangan pemajangan produk rokok di toko-toko ritel di daerah Bogor. Padahal, peraturan nasional tidak melarang hal ini. Seharusnya peraturan nasional wajib menjadi acuan dalam penyusunan Perda KTR. Bisa dikatakan, Perda KTR Bogor tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

perda ktr bogor

Pemkot hanya boleh membuat aturan yang sesuai dengan kewenangannya. Seperti dikutip dari Kontan.co.id, Perwakilan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Agus Rahmanto, mengatakan memang ada masalah yang muncul dan menjadi perdebatan dari pelaksanaan Perda KTR.  “Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tidak boleh bertentangan dengan nilai umum dan kesusilaan,” ujar Agus.

Dalam kasus lain, terjadi pada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Pada Pasal 18, pengelola atau penanggung jawab KTR yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa: (a) peringatan lisan; (b) peringatan tertulis; dan/atau (c) dipublikasikan. 

Selanjutnya pada Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) BAB VIII Ketentuan Pidana, setiap orang, badan dan/atau pengelola/penanggung jawab KTR, baik di tempat kerja dan tempat umum, yang melanggar maupun tidak menyediakan tempat khusus merokok akan dipidana paling lama 1 bulan dan denda paling banyak Rp 7.500.000,-.

Improvisasi itu tidak selaras dengan Pasal 199 ayat (2) UU Kesehatan yang mengamanatkan: Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tidak ada kurungan seperti yang tertulis dalam Perda KTR Yogyakarta.

Peraturan KTR dimonopoli antirokok

Sesungguhnya prinsip KTR sangat baik. Adanya peraturan ini bisa menjadi penengah yang ideal untuk menjamin hak dan kewajiban para perokok dan non perokok. KTR sejalan dengan kampanye #PerokokSantun KNPK. 

Kehadiran peraturan KTR turut membantu mengedukasi perokok “nakal” yang masih minim kesadaran bahwa ia juga memiliki kewajiban untuk membuang puntung pada tempatnya, tidak merokok dekat anak dan ibu hamil, tidak merokok saat berkendara dan lain sebagainya. Sebaliknya, peraturan KTR akan melindungi non perokok terganggu oleh aktivitas para perokok.

Sialnya, selama ini tafsir peraturan KTR diarahkan sebagai satu usaha untuk memerangi keberadaan rokok. KTR lebih dimaknai sebagai bentuk perang terhadap  rokok dan perokok itu sendiri. Tidak ada keadilan berpikir, bahwa KTR ini adalah alat menjamin keadilan bagi setiap warga negara, baik ia yang merokok atau tidak.

pedagang tembakau terancam ktr

Penafsiran mutlak ini juga dibarengi dengan berbagai macam kampanye keburukan rokok yang seakan-akan meyakinkan publik, bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebenaran mutlak. Banyak jawaban berdasar fakta faktual seputar kampanye keburukan rokok, seakan menjadi angin lalu bagi antirokok. Padahal, sekali lagi, rokok adalah barang legal, ia dilindungi undang-undang dan selalu konsisten membantu keuangan negara. Jika memang antirokok peduli terhadap kesehatan masyarakat, jangan tanggung-tanggung untuk menutup pabrik rokok dan larang petani untuk menanam tembakau. Jika berani.

Penafsiran semacam itu membikin peraturan KTR terasa sangat diskriminatif. Yang seharusnya KTR menjamin ruang merokok bagi perokok, malah diabaikan. Pun kalau ada ruang merokok di KTR, tidak manusiawi. Ruang yang seadanya, tanpa ventilasi yang memadai.

Tampaknya memang kita dituntut untuk terbiasa hidup di tengah himpitan. Benar kata guru saya, “mencintai Indonesia itu mudah. Mencintai birokrasi itu butuh usaha”.