PabrikanREVIEW

Konservasi Keperutan: Membayangkan Desa Serupa Piring Saji

Saya membayangkan bentuk geografis desa Rahtawu seperti sebuah piring saji, tidak bundar tetapi oval. Di bagian paling dasar piring berbentuk oval tersebut, di bagian tengah piring, mengikuti sisi memanjang oval, mengalir Kali Gelis yang berhulu di Dusun Semliro, membelah desa Rahtawu menjadi dia bagian. 

Baca Artikel Sebelumnya:
Konservasi Keperutan: Sebuah Mukadimah

Konservasi Keperutan: Secuplik Perihal Desa Rahtawu

Masih di sisi memanjang oval yang terdiri dari dua ujung, pada ujung yang satu dusun Semliro berada, di ujung lainnya posisi dusun Gingsir. Pada sisi yang melebar oval, satu sisi dusun Krajan, pusat desa, sisi lainnya yang berhadapan dengan Krajan, adalah dusun Wetankali.

Tetapi, jangan bayangkan bentuk oval desa Rahtawu mulus seperti piring saji dari bahan keramik atau melamin atau tanah liat atau kaca sekali pun. Pada sisi terluar di sepanjang oval yang juga jadi batas desa, jejeran perbukitan membentang mengelilingi desa dengan puncak tertinggi berada pada ketinggian sekira 1600 meter di atas permukaan laut, orang-orang Rahtawu menyebutnya puncak Songolikur, ia masuk wilayah administrasi dusun Semliro, yang juga menjadi titik penanda perbatasan kabupaten Kudus dengan kabupaten Jepara.

Di sisi memanjang oval yang masuk wilayah dusun Gingsir, terdapat sedikit celah tak jauh dari aliran kali Gelis. Celah agak datar, satu-satunya lokasi yang agak landai, bukan perbukitan. Dari celah itulah jalan utama untuk bisa masuk ke desa Rahtawu berada. Ia berliku-liku mengikuti kontur perbukitan di sisi barat piring saji berbentuk oval dengan seluruh sisinya tak mulus akibat bukit-bukit yang berbaris acak mengelilingi desa.

Jalur itu menjadi jalur utama dan satu-satunya jalur umum yang bisa dilalui bermacam kendaraan darat. Lebar jalan menuju desa Rahtawu berkisar antara dua hingga empat meter. Di banyak tempat, jika dua mobil kebetulan berpapasan, salah satu mesti mengalah, menepi hingga mepet ke dinding tebing di sisi barat jalan, atau menepi ke arah timur jalan yang sebagian besarnya berbatasan dengan jurang dengan dasar jurang aliran kali Gelis.

Memang ada beberapa jalur lain untuk bisa mencapai desa Rahtawu, dari desa Ternadi di sisi timur atau desa Soco di tenggara Rahtawu, atau dari beberapa titik di sisi barat dan utara desa yang berbatasan dengan kabupaten Jepara, tetapi semua jalur itu adalah jalur pertanian, atau jalur hutan, yang hanya bisa dilalui sepeda motor trail, atau sepeda motor yang sudah dimodifikasi menyesuaikan kondisi medan menanjak dan jalan berlantai tanah. Tidak sembarang kendaraan bisa melintasi jalur-jalur itu. Dan lagi jalur-jalur itu juga sulit dihafal, salah-salah kita bisa tersesat ke antah-berantah.

Kondisi geografis semacam itu memberi keuntungan tersendiri bagi desa Rahtawu. Bentang alam berbentuk oval tak mulus dan bercelah sempit, membikin desa Rahtawu secara alamiah terlindungi dengan baik dari dunia luar. Jika dalam kondisi darurat perang, saya pikir desa Rahtawu menjadi desa yang sangat sulit untuk bisa ditembus kekuatan musuh. Bentang alam yang ada sudah menyediakan pertahanan baik bagi desa. Saya kira, bentang alam geografis ini jugalah yang membikin desa Rahtawu relatif aman dari kejahatan-kejahatan kriminal berupa pencurian atau perampokan. 

Mari kembali membayangkan bentuk geografis Rahtawu serupa piring saji oval, bukan bundar. Pada sisi memanjang, di dua ujung sisi berdiri dusun Gingsir dan Semliro, pada sisi melebar, dusun Krajan dan Wetankali. Kondisi geografis desa membikin keempat dusun tersebut seakan wilayah-wilayah otonom, berdiri sendiri-sendiri, sehingga bisa dikatakan, mengurus desa Rahtawu. Nyatanya bukan sekadar kondisi geografis saja yang membikin empat dusun tersebut seakan otonom, tetapi kondisi sosial politik lokal kian mempertegas itu. Wetankali, dan terutama Semliro, selalu menjadi oposisi gigih bagi Krajan yang merupakan pusat desa, sedang Gingsir, lebih tenteram, mengikuti arah angin, mungkin karena posisinya yang paling dekat dengan akses pintu keluar desa sehingga interaksi mereka dengan dunia luar lebih intensif dibanding tiga dusun lainnya.

masyarakat rahtawu

Jika Gingsir di sisi selatan, dan Semliro di sisi utara, ini berarti bentuk oval desa Rahtawu, sisi memanjangnya membentang dari selatan ke utara, sedang sisi melebarnya  dari barat ke timur. Di bagian barat oval, membentang dari Gingsir ke Semliro melalui Krajan, perbukitan-perbukitan yang berjajar acak relatif hijau. Tanaman-tanaman kayu keras banyak tumbuh di wilayah ini dengan kopi menjadi komoditas utama yang menghijaukan perbukitan sekaligus sumber utama perekonomian masyarakat.

Sebaliknya, di sisi timur oval, membentang dari Gingsir ke Semliro melintasi Wetankali, perbukitan-perbukitan di sisi ini begitu gersang. Pada musim kemarau dua sisi yang saling berhadap-hadapan ini terlihat begitu kontras, hijau di sisi barat, dan cokelat di sisi timur. Ini terjadi karena pada perbukitan-perbukitan di sisi timur desa mayoritas dimanfaatkan warga sebagai lahan-lahan tanaman pangan semusim.

Dari sekira empat ratus hektare lahan kritis yang sudah berhasil dipetakan lewat beberapa kajian spatial sepanjang dua tahun,  lebih separuhnya–sekira 220 hektar–masuk wilayah Wetankali. Mendekati 150 hektar berada di wilayah Semliro yang berbatasan dengan Wetankali, satu gugus rangkaian perbukitan dari Wetankali. Bandingkan dengan Krajan di sisi barat yang berhadap-hadapan dengan Wetankali yang hanya terdapat kurang dari 30 hektare lahan kritis di sana, dan Gingsir yang jauh lebih sedikit lagi.

Dari sini, jelas terlihat, program yang sedang saya kerjakan yaitu rehabilitasi lahan kritis, lebih banyak mengambil tempat di Wetankali dan Semliro sisi timur yang berbatasan dengan Wetankali. Sejauh ini sudah 130 lahan kritis yang kembali ditanami tanaman produktif sepanjang musim hujan tahun ini.

Pada tulisan-tulisan selanjutnya pekan depan dan depannya lagi dan lagi dan lagi, saya akan menulis catatan-catatan perjalanan dan catatan etnografis bagaimana saya memulai semua ini, kali pertama masuk Wetankali dan Semliro, juga desa Rahtawu pada umumnya, orang pertama yang saya kenal, di mana saya tinggal, dan bagaimana saya membangun hubungan baik dengan para petani di Wetankali dan Semliro, juga alasan petani mau mengganti tanaman semusim dengan tanaman kayu keras, proses-proses pemilihan bibit dan rangkaiannya, dan yang paling utama, proses-proses penanaman dilangsungkan dan hal-hal menarik berbau pengetahuan lokal yang beririsan dengan program rehabilitasi lahan kritis ini, atau, Konservasi Keperutan. Begitu petani Wetankali dan Semliro memberi istilah.

Bersambung.