petani kudus
PabrikanREVIEW

Konservasi Keperutan: Narko, Petani Muda Dari Semliro

Jika Badan Pusat Statistik (BPS) atau Kementerian Pertanian, atau lembaga-lembaga penelitian yang mempunyai kompetensi mengeluarkan data terkait data-data pertanian, yang salah satu datanya menyebutkan kecenderungan penurunan jumlah petani di negeri ini, atau kian berkurangnya jumlah anak muda yang berminat jadi petani, atau populasi petani di negeri ini didominasi mereka yang usianya sudah tua, saya kerap menemukan hal yang berbeda dengan data-data tersebut saat berkunjung ke lapangan, ketika bertugas ke desa-desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani.

Sebelum melanjutkan artikel ini, sebaiknya baca tulisan “Konservasi Keperutan” sebelumnya di sini

Di Desa Sembilan di Pulau Simeulue, Aceh, dan beberapa desa lain di Aceh Besar dan Aceh Barat Daya, di Desa Munduk, Bali, di Kecamatan Jelbuk, Jember, di Desa Ranupani, Lumajang, di beberapa desa di Kabupaten Temanggung, dan di beberapa tempat lainnya di negeri ini yang sempat saya kunjungi setidaknya selama lima tahun terakhir, saya banyak bertemu, berkenalan, hingga akhirnya berteman dengan anak-anak muda yang yakin akan pilihannya menjadi seorang petani, dan mampu hidup sejahtera dengan pilihan profesinya itu.

Di desa-desa yang saya sebutkan di atas, anak-anak muda yang saya temui dan memilih berprofesi sebagai petani, seluruh usia mereka lebih muda dari usia saya kini. Beberapa bahkan belum menyentuh kepala tiga dan sudah cukup sukses dengan dunia pertanian yang mereka geluti (usia saya kini 35 tahun, masih cukup muda dan masih masuk golongan pemuda jika mengacu aturan dan kemenpora). 

Di Aceh dan Bali, saya berjumpa para petani cengkeh usia 20an yang sudah berhasil mengelola perkebunan cengkeh, beberapa milik sendiri, lainnya warisan dari orang tua mereka. Dari mereka citra dan stigma petani yang ‘kotor’, ‘berpendidikan rendah’, ‘kurang berwawasan luas’, dan ragam bentuk citra dan stigma buruk terhadap petani lainnya sama sekali tak tampak. Penampilan mereka necis, meskipun tidak penting-penting amat, beberapa dari mereka memegang gelar sarjana, dan terutama wawasan mereka luas dan asyik diajak berbincang perihal bermacam hal.

Penggembala mencari rumput

Di Lumajang, saya bertemu anak-anak muda yang kaya raya dan sejahtera karena bertani kentang. Di Jember, ada anak-anak muda petani kopi yang sudah berkali-kali pergi haji karena pertanian kopi. Sedangkan di Temanggung, anak-anak muda di sana mulai mengambil alih peran-peran para petani usia lanjut, melanjutkan estafet pertanian tembakau yang sudah berjalan turun-temurun setidaknya sejak dua abad lalu.

Yang paling baru, di lokasi tempat saya kini bertugas mengawal program rehabilitasi lahan kritis di Desa Rahtawu, program yang oleh warga Rahtawu disebut ‘konservasi keperutan’, saya juga berjumpa dengan banyak petani usia muda. Mereka memilih bertani secara sadar dan bangga, tanpa paksaan atau terpaksa karena tidak ada pekerjaan lainnya. 

Petani masuk dalam cita-cita dalan khazanah profesi di kepala mereka meskipun kerap kali di sekolah-sekolah, sejak sekolah dasar kepala murid-murid sudah dijejali ragam bentuk cita-cita ketika dewasa kelak dengan cita-cita sebagai petani dianggap cita-cita kelas rendahan. 

Sekali waktu, di malam yang cukup dingin pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Angin gunung bertiup cukup kencang membawa udara dingin ke tepi sungai, ke lembah-lembah tempat permukiman berada, hingga ke warung kopi tempat belasan orang sedang berkumpul menikmati kopi panas, susu panas, jahe panas, teh panas, dan minuman-minuman panas lainnya untuk membantu menghangatkan tubuh dan mengusir dingin yang datang. 

Saya menduga lebih separuh pengunjung kedai kopi malam itu usianya lebih muda dari saya, sisanya sebaya dengan saya. Hanya pemilik warung kopi saja yang usianya lebih tua dari saya. Asap rokok mengepul dari mulut dan hidung seluruh pengunjung kedai kopi. Di udara dingin, minuman panas dan sebatang rokok kretek favorit memang menjadi menu mendekati wajib untuk menyamankan diri.

Ketika saya tiba, saya mendengar obrolan yang sangat menarik yang terjadi di antara mereka, obrolan yang sepertinya hanya terjadi di warung kopi di Dusun Semliro saja, tidak di kedai kopi mewah di ibukota, atau kedai kopi murah di sudut-sudut kota sekalipun. Para pengunjung warung kopi itu sedang asyik membicarakan lokasi-lokasi di desa yang banyak terdapat rumput dan tumbuhan lain untuk pakan ternak. Ya, mereka sedang asyik membincangkan sekaligus memetakan lokasi-lokasi di atas gunung, di lembah-lembah, di tepi sungai, lokasi-lokasi di desa yang bisa didatangi karena banyak sumber daya alam untuk pakan ternak.

Setelahnya, obrolan berubah ke tema penyetekan kopi, pestisida yang cocok untuk beberapa jenis komoditas pertanian di desa, pupuk apa yang sebaiknya dipakai untuk lahan mereka dan kapan pupuk-pupuk itu diinfuskan ke lahan, dan obrolan-obrolan seputar dunia pertanian dan peternakan lainnya.

Satu dari belasan orang yang sedang asyik berbincang saling sahut di warung kopi itu, biasa disapa Narko. Potongan dari Wijanarko. 

Saya mengenal Narko pada pekan-pekan awal masa tugas saya di Desa Rahtawu. Ketika itu, saya bertemu belasan pemuda desa Rahtawu yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah desa untuk mengerjakan proses-proses pemetaan desa dan membangun sistem informasi desa berbasis aplikasi Geographic Information System (GIS). Setelah perjumpaan awal itu, saya tak banyak berinteraksi dengan Narko. Saya sibuk dengan program rehabilitasi lahan kritis, Narko sibuk dengan program pemetaan desa berbasis GIS.

Kami kembali berinteraksi dengan intensif saat kerja-kerja pemetaan yang Narko ikuti sudah selesai, dan ia membantu saya dalam program rehabilitasi lahan kritis di Rahtawu.

Usia Narko belum mencapai 30 tahun, tahun ini usianya 28 tahun. Saat usianya 21 tahun, Ia memutuskan untuk menikah, mempersunting seorang perempuan manis asal Semliro, satu dusun dengan dusun tempat Narko tinggal, “Peknggo, Mas, ngepek tonggo!” Ujar Narko tentang pernikahannya dengan perempuan yang notabene masih tetangganya sendiri. Dari pernikahan itu, Narko memiliki seorang anak laki-laki yang kini berusia 6 tahun.

Sejak kecil, Narko tinggal bersama kakek dan neneknya, hanya sesekali saja ia pulang ke rumah orang tuanya. Selain menemani kakek dan neneknya, letak sekolah yang bersebelahan dengan rumah kakek dan neneknya menjadi alasan utama Narko tinggal di sana. 

ternak petani

Menurut penuturan Narko, sudah sejak usia SD kakeknya melatih dan membiasakan dirinya untuk pergi mengarit mencari rumput untuk pakan ternak sebelum ia berangkat ke sekolah. Setiap hari sebelum sekolah Narko pergi mengarit. Saat masuk SMP, karena letak sekolah yang juah dari tempat ia tinggal, jam ngarit berubah, dari sebelum berangkat sekolah berubah setelah pulang sekolah. Itu terus berlanjut hingga ia usia SMA.

Aktivitas mengarit yang sebelumnya sekadar kewajiban itu pada akhirnya menjadi rutinitas yang menyenangkan bagi Narko, hingga akhirnya mengarit dan beternak ia pilih menjadi salah satu profesinya selain menjadi seorang petani.

Usai lulus SMA, Narko memutuskan terjun penuh waktu di bidang pertanian dan peternakan. Ia memilih tetap tinggal di desa, tidak seperti kebanyakan orang seusianya yang memilih merantau hingga ke kota untuk bekerja menjadi pegawai yang makan gaji. Narko mengelola kebun kopi yang terpisah di beberapa tempat dengam status kepemilikan berbeda. Ada yang di lahan milik sendiri, ada pula di lahan milik perhutani dengan sistem bagi hasil dengan pihak perhutani.

Saat saya tanyakan berapa luas riil lahan yang ia kelola, ia tidak bisa memastikan, “Yang jelas lebih dari satu hektare, tapi tidak sampai dua hektare, Mas!” Begitu pengakuan Narko.

Di bidang peternakan, ia tidak setengah-setengah. Ia memilih fokus pada ternak jenis kambing. Selain memelihara belasan ekor kambing di kandang miliknya, Narko juga rutin berbisnis jual beli kambing, profesi yang diturunkan dari kakeknya. Setiap hari pasar, Narko akan pergi ke pasar, melakukan transaksi jual-beli kambing. Ia juga rutin keliling desa untuk jual-beli kambing.

Selain itu, di bidang peternakan Narko juga memiliki keahlian untuk menyuntik hewan ternak yang terserang ragam bentuk penyakit. Keahlian ini ia pelajari secara otodidak. Atas keahlian ini, Narko kerap dipanggil oleh warga desa pemilik ternak jika ternak mereka terserang penyakit. Atas hal ini, Narko juga bisa dan biasa disapa ‘mantri kambing’.

Dengan ragam rupa kesibukannya itu, sudah sejak dua bulan lalu, Narko masih sempat meluangkan waktu untuk membantu saya di program konservasi keperutan ini. Bersama Narko dan beberapa pemuda desa lainnya, kami keliling lahan-lahan kritis nan terjal untuk mendata ribuan pohon-pohon yang sudah ditanam petani pemilik lahan. Data-data itu, kami kumpulkan menggunakan alat bernama GPS untuk kemudian diolah menggunakan program berbasis GIS. 

Bersambung