Perkara rokok, publik selama ini disuguhi slogan-slogan kampanye antirokok yang membuat stigma publik kepada rokok menjadi negatif. Ditambah yang meneriakan kampanye tersebut adalah orang-orang yang dianggap otoritatif mengenai kesehatan. Sekali gosok isu rokok versus kesehatan, publik akan gampang percaya begitu saja tanpa melemparkan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Konten kampanye yang dilempar bersifat negatif dan juru kampanyenya dianggap otoritatif, kedua kombinasi ini sukses meruntuhkan sikap kritis kita terhadap apa yang ada dibalik persoalan rokok.
Padahal apa yang ada di balik kampanye-kampanye berhenti merokok sejatinya adalah kepentingan bisnis semata. Kalau tidak percaya, coba saja tanyakan kepada antirokok kenapa target yang mereka bicarakan hanya pengendalian tembakau saja.
Kenapa mereka tidak sepenuhnya mendorong pemberantasan total tembakau dan segala macam jenis produk hasil tembakaunya? Pernahkah terlontar pertanyaan kritis demikian di benak masyarakat?
Jika berbicara tentang pengendalian tembakau maka tak akan jauh-jauh dari persoalan konsumsi produk tembakau (dalam hal ini rokok) yang harus diatur. Loh kok malah jadi ngatur-ngatur ya? Begini, saya kasih satu studi kasus yang mirip dengan persoalan pengendalian tembakau, agar anda mengerti bahwa ini murni urusan bisnis.
Dulu masyarakat dikagetkan dengan dihapuskannya subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) berjenis premium. Pemerintah dan Pertamina selaku pelaku usaha mengatakan bahwa masyarakat harus lepas dari ketergantungan mengonsumsi BBM berjenis premium.
Kemudian lahirlah BBM berjenis pertalite yang diklaim sebagai produk alternatif konsumsi BBM bagi masyarakat yang tadinya mengonsumsi premium. Marketing BBM jenis pertalite ini pun dilakukan dengan mengatakan bahwa BBM jenis ini lebih baik dikonsumsi masyarakat untuk kendaraannya ketimbang jenis premium.
Karena marketing yang gencar disuarakan melalui kampanye berhenti menggunakan BBM murah, masyarakat perlahan beralih konsumsi dari premium menjadi pertalite. Padahal kita tahu baik premium maupun pertalite secara ron oktan sama-sama beroktan dibawah 90 persen.
Saya lebih senang menyebut studi kasus di atas dengan sebutan konsumen dipaksa beralih produk konsumsi. Dalih melepas ketergantungan, merugikan negara, tidak baik untuk dikonsumsi, dan tawaran produk alternatif yang diklaim lebih baik merupakan strategi marketing semata agar konsumen tak punya pilihan lain beralih konsumsi ke produk lainnya.
Pada persoalan rokok, seorang peneliti dari Amerika Serikat, Wanda Hamilton, mengatakan terdapat kepentingan bisnis nikotin yang dialihkan dari produk hasil tembakau ke produk farmasi. Melalui kampanye bebas tembakau, kemudian berkembang menjadi bisnis nikotin gaya baru yang dikelola korporasi farmasi internasional.
Transparency Market Research (TMR) yang berpusat di New York, melansir data bahwa bisnis yang akrab disebut sebagai Smoking Treatment Industry ini menghasilkan US$ 6.5 billion dari pasar global di tahun 2014.
Angka ini, menurut TMR, akan terus bertambah tiap tahunnya dan bakal mencapai US$ 20.5 billion pada tahun 2023. Sebuah angka yang tidak kecil untuk bisnis yang menggunakan dalih membebaskan dunia dari tembakau, tapi menjadikan nikotin sebagai produk jualannya.
Pada bisnis nikotin yang menggiurkan ini, para pemain utamanya adalah korporasi internasional seperti Johnson & Johnson, GSK (GlaxoSmithKline), dan Pfizer. Dari perusahaan-perusahaan tersebut kemudian hadir produk-produk Nicotine Replacement Therapy, Nicotine Gums, Nicotine Transdermal Patches, Nicotine Lozenges, Nicotine Sprays, Nicotine Inhalers, Nicotine Sublingual Tablets, Drug Therapy, E-cigarettes.
Sampai sini sudah jelas belum, bahwa ada kepentingan bisnis yang sedang dipasarkan lewat kampanye pengendalian tembakau yang turunannya ada persoalan berhenti merokok, rokok versus kesehatan, dan slogan kampanye lainnya. Nah, untuk memperjelasnya lagi, kapan hari pegiat antirokok kembali memasarkan produk alternatif tembakau.
Dalam Forum Nikotin Global 2017 (Global Forum on Nicotine 2017 – “GFN”) yang berlangsung di Warsawa tanggal 15 – 17 Juni 2017 lalu bersama dengan sekitar 400 peserta dari lebih dari 50 negara, Ketua Global Forum on Nicotine, Dave Sweanor menekankan pada komitmen pengembangan dan promosi kebijakan berbasis bukti ilmiah atas produk-produk alternatif pengganti rokok yang lebih aman bagi kesehatan.
Setelah forum tersebut, di Indonesia Dr Ardini Saptaningsih, Penasihat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan, menurutnya pemerintah Indonesia perlu mengadopsi prinsip pengurangan bahaya bagi rokok melalui hadirnya regulasi yang mengakomodir alternatif pengganti rokok dan tidak serta-merta melarang.
Loh kok pemerintah disuruh mengurangi konsumsi rokok masyarakatnya tapi juga diminta mengakomodir produk alternatif tembakau, plus diberi regulasi agar tidak dilarang untuk dikonsumsi.
Kalau antirokok ini tidak main-main dengan kepentingan bisnis, ngapain mereka nawarin produk alternatif lain?
Kalau serius ya mari sama-sama kita larang total tembakau dan produk hasil tembakau lainnya, segala yang berbau tembakau tidak lagi ada di muka bumi ini, termasuk produk alternatifnya pun jangan. Anggap saja dengan melakukan hal tersebut antara pro tembakau dan antitembakau jadi sama-sama tidak punya kepentingan terhadap tembakau.
Apakah kelompok antitembakau berani melakukan pelarangan total tersebut, bukan lagi berbicara di level pengendalian saja? Saya pikir mereka tidak akan berani, sebagaimana Dr. Ardini dari IAKMI mengatakan, dengan adanya regulasi yang mengendalikan dan mengurangi konsumsi rokok yang kemudian regulasi tersebut juga menyepakati dan melindungi adanya produk alternatif tembakau, hal tersebut akan menguntungkan sektor kesehatan publik.
Ya makanya jangan heran kalau sekarang sudah mulai masuk tren rokok elektrik, maupun diversifikasi produk berbasis nikotin.