Pabrikan

Pulp Fiction: Bermain-Main di Alam Pikiran Quentin Tarantino

Suatu saat saya mengunjungi plaza bawah tanah Blok-M untuk keperluan menyablon kaos. Saya mencetak sebuah kaos dengan gambar band punk asal Jepang, sedangkan teman saya mencetak sebuah kaos bertuliskan “Written and Directed by Quentin Tarantino.” Kaosnya berwarna kuning dengan tulisan berwarna hitam terletak di punggung.

Sungguh selera yang sangat luar biasa. Saya takjub bahwa ternyata kata-kata itu yang akan dijadikan teman saya sebagai kaos, sungguh sebuah kaos yang menarik. Mengingat bahwa kata-kata itu sangat melekat di imaji para pecinta film. Font huruf dan tata letaknya pasti teringat betul dalam pikiran mereka. Saya sepakat, Quentin Tarantino adalah seorang sineas hebat yang berbeda dari kebanyakan.

Tak banyak filmnya yang saya tonton. Pertama misalnya adalah Inglorious Bastard tentang sekumpulan tentara Amerika Serikat melawan Nazi, lebih tepatnya seorang Jenderal Nazi bernama Hans Landa (Christoph Waltz). Cara pengambilan gambar, joke yang ditawarkan, kehandalan aktor, scoring, semuanya sangat menarik.

Uniknya lagi film ini dibagi dalam beberapa babak-babak. Nah ini dia yang menjadi ciri khas dari seorang Quentin Tarantino yaitu acapkali menggunakan babak per babak dalam film-film yang dia buat. Termasuk dengan film masyhur tahun 1990-an yang berjudul Pulp Fiction. 

Babak babak itu bukan potongan-potongan kisah yang berbeda dibatasi waktu dan kondisi. Semuanya berkesinambungan dan bahkan masih sangat-sangat sekali untuk dinikmati. Anda jangan perlu takut menyaksikan Pulp Fiction karena transisinya masih sangat halus dan anda tak akan lupa benang merah yang menyambung di tiap babak. Inilah alam pikiran Quentin Tarantino dan kita selalu diajak menari-nari di dalamnya. 

Sama seperti bagaimana Quentin Tarantino menemukan Christoph Waltz untuk bermain di Inglorious Bastard, dalam Pulp Fiction dirinya juga ulung dalam memilih aktor untuk memerankan tokoh di kisah tersebut. Saya percaya sebuah film yang baik adalah film yang mampu membuat kita kebingungan untuk memilih tokoh karakter yang kita suka.

Film yang baik bahkan bisa memaksa kita untuk memilih tokoh antagonis sebagai favorit. Pulp Fiction tentu menyediakan itu, anda bisa memilih Mia Wallace (Uma Thurman), Vincent Vega (John Travolta), Julie Winnfild (Samuel L Jackson), atau Butch Collidge (Bruce Willis). 

Ohya khusus nama terakhir, khusu nih bagi para pecinta Bruce Willis anda mesti nonton dia bermain di Pulp Fiction. Jujur saya terkagum-kagum bagaimana ia memerankan diri sebagai seorang petinju. Impresi saya jauh dibuat berbeda dengan saat ia menjadi tokoh utama di film Die Hard. 

Pulp Fiction juga akan memperkuat literasi kita dalam daftar film-film mafia atau gangster yang pernah kita nonton. Oke, jujur, Godfather memang dahsyat namun film bikinan Quentin Tarantino yang rilis tahun 1994 ini juga tak kalah hebat. Ibaratnya begini,  ada dual film gangster hebat yang mewakili tiap jaman dan dua film itu adalah Pulp Fiction dan God Father.

Terakhir, film ini surga sekali dengan scene adegan merokok. Nyaris di tiap babak selalu ada adegan menghisap tembakau. Mia Wallace merokok di atas kasur tentu adalah trademark dan icon dari film ini. Tapi saya juga suka adegan sederhana seperti saat Buth Collidge membeli rokok Red Apple di sebuah bar. Kok bisa ya adegan beli rokok ajah dibuat semenarik itu.

Meski abad 21 kini sudah memasuki hampir seperempat masanya, Pulp Fiction yang merupakan karya hebat hasil abad sebelumnya rasanya tak akan pernah kadaluarsa untuk ditonton!