rokok r
REVIEW

Rider si Rokok Penunggang Badai

Di tengah gempuran rokok murah sejak pertengahan tahun 2020, saya seringkali mencoba macam-macam merek rokok kretek filter sampai non filter. Sebagai pilihan rokok selingan, saya sempat merasa cocok dengan VIP dan Lodjie Bold (walaupun filternya sering lepas), Aspro dengan ciri ke-surya-annya yang cukup kuat, Inpra dengan tarikan lembut dan harum, sampai WIN Bold yang bagi saya nyaris menggeser posisi Sukun Executive sebagai rokok kretek selingan favorit.

Dari merek-merek tadi, saya belum pernah bertemu rokok kretek SKT atau non filter yang mampu menjadi rokok selingan versi saya. Saya pernah mencoba macam-macam SKT, mulai dari yang harga mahal sampai murahnya tidak masuk akal seperti 169. Tapi sekali lagi untuk urusan jatuh cinta kepada kretek SKT saya memang agak sulit dan pilih-pilih. Dulu pernah lama merokok Dji Sam Soe SKT kuning, sempat juga setahun lebih menghisap Clavo dari Djarum, 76 isi 12 atau Gurame. Tapi hanya Djisamsoe kuning dan Clavo yang bertahan cukup lama di lidah saya. Selebihnya saya selalu mencari rokok kretek filter sebagai selingan rokok utama saya; Djarum Super.

Sekitar 2 minggu yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman yang kebetulan bekerja sebagai sales Djarum di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Kami janjian di sebuah angkringan di siang bolong sambil minum es teh. Sembari mengobrol, dia mengeluarkan bungkus rokok berwarna merah maroon dari saku kemejanya, dan mengeluarkan 1 batang rokok dari dalam bungkusnya. Sebelum dia membakar rokok dengan bungkus berwarna merah itu saya bertanya; rokok apa itu? Boleh lihat? Dia lalu memberikan bungkus rokok tersebut kepada saya, nama rokoknya; Rider. Nama yang menurut saya saat itu terdengar seperti rokok gahar yang akan menyasar segmen ‘edgy ala-ala’.

Bungkusnya berwarna dominan merah maroon dengan guratan emas di bagian atas dan bawah. Tulisan Rider dengan aksen ‘bold’ berwarna putih tepat berada di bagian tengah dan di bagian bawah tulisan Rider ada tulisan ‘Kretek’ yang menjelaskan itu adalah jenis rokok kretek, bukan rokok putih, desain cukainya mirip seperti djarum 76 yang memanjang dari kedua sisi kiri-kanan dan bagian atas bungkus rokok, bagian dalam dilapisi plastik dan bukan ‘grenjeng’ berwarna emas atau perak seperti rokok kretek filter, besar bungkusnya pun sama dengan Djarum 76 atau Gurame.

merokok di lereng gunung

Saya penasaran mencoba rasanya, segera setelah saya matikan Djarsup milik saya yang baru separuh batang saya hisap, meminum es teh, saya lalu mengambil sebatang Rider dari dalam bungkusnya. Besar batang rokoknya sama seperti rokok SKT yang sering kalian temui di pasaran, ada warna merah melingkar di dekat batang hisap dan ada tulisan Rider berwarna putih.

Saya punya kebiasaan mencium batang rokok sebelum membakarnya, seperti hendak membandingkan aroma pra dan pasca bakar. Di hisapan pertama setelah merokok saya bakar kesan pertamanya cukup baik, tidak ada rasa pedas dan kering di tenggorokan, di 3-4 tarikan awal harum tembakau dan cengkehnya cukup memikat dengan memberikan kesan manis dan sepet seperti rokok kudusan pada umumnya, tapi ini rokok murah, ya. Jangan berharap sesuatu yang istimewa. Setelah tarikan ke-5 dan seterusnya saya coba mengingat lagi SKT merek apa yang punya aroma dan rasa seperti Rider ini. Ya!, saya yakin sekali, Rider ini mirip seperti Clavo, bagi yang pernah merokok Clavo, bisa dibilang ini aroma dan rasa lembut yang tidak asing lagi dan hanya dimiliki Clavo. Mulai dari kemiripan tarikannya, harumnya yang tidak terlalu tajam seperti Djarum 76, dan rasa manis-sepet yang tidak terlalu tebal. Rasa-rasanya saat itu saya seperti bernostalgia dengan Clavo sekaligus menemukan sebuah merek kretek SKT yang akan menjadi pilihan kedua saya sebagai rokok selingan setelah Sukun Executive.

Harganya? Murah. Hanya Rp. 7000 di warung-warung kelontong sekitar Jogja. 

Bagi saya, Rider ini seperti sedang menunggang badai masuk di medan perang rokok SKT beharga murah seperti merek Sri Rejeki, Kembang Asem, 169, Envio Kretek atau Lodjie Istimewa. Tentu kalian tahu kalau cukai rokok SKT tahun kni tidak mengalami kenaikan, jadi rokok kretek SKT menjadi lahan perang bagi produsen rokok, bahkan si rokok putih yang terkenal itu pun meluncurkan versi SKT-nya. Tapi kembali lagi, perang rokok murah di kelas SKT ini akan ditentukan dengan kualitasnya, dan menurut saya Rider memenuhi persyaratan untuk bersaing, dari soal rasa, harga dan mudah dicari di beberapa tempat seperti toko kelontong.

Saya jadi punya alternatif rokok kretek harian, kalau lagi mau merokok SKT saya bisa menduetkan Djarsup dan Rider dengan harga belanja cuma Rp. 25.000. Kalau sedang ingin SPM filter, saya tinggal menduetkan Djarsup dan Sukun Executive 12 dengan harga belanja Rp. 32.500.

Lagipula, kalau sedang kencan dengan lawan jenis, Rider ini masih keren-keren saja kok untuk dibawa nongkrong, dan aromanya juga tidak terlalu tajam, jadi tidak akan menggaggu. Lah, kok arahnya kesitu?