Tidak bisa dipungkiri, keberadaan buruh sangat urgen. Misal saat panen tembakau atau panen cengkeh tiba mereka menjadi rebutan para tuan tanah. Memang para tuan memburu keuntungan dari hasil bertaninya, namun ternyata keuntungannya juga dibagi dan dinikmati oleh buruh.
Sebetulnya tidak berhenti di pertanian saja, buruh industri olahan tembakau dan cengkeh berupa rokok kretek menjadi rebutan. Artinya, menjadi buruh industri rokok kretek sangat menjanjikan secara ekonomi, buktinya mereka rela berebut.
Di Temanggung, petani dengan lahan yang luas membutuhkan bantuan buruh tani, baik mulai menanam, merawat hingga panen. Bahkan lucunya, tidak jarang seorang petani sendiri juga berprofesi sebagai buruh petani lain, sebaliknya, di lain waktu petani lain menjadi buruhnya. Hal ini sangat mungkin terjadi.
Ada beberapa alasan terjadinya kejadian di atas, diantaranya: kekurangan tenaga buruh hingga buruh jadi rebutan, generasi muda jarang yang minat bekerja menjadi buruh tani lebih memilih ke luar kota dan menjadi buruh bangunan dan buruh lainnya di luar sana, tidak ada modal cukup untuk bertani hingga harus mengumpulkan uangnya dari hasil menjadi buruh tani. Dan setelah modal ada, baru ia mengolah lahannya sendiri.
Selain buruh tani, di pertembakauan, ada buruh petik, buruh angkut, buruh rajang, buruh meme, buruh tumplek, buruh gudang. Kesemuanya sangat diminati saat masanya tiba. Di antara sekian buruh yang faktanya diminati para pemuda adalah buruh tumplek dan buruh gudang. Lainnya minim sekali terlihat buruh yang muda. Kalaupun ada biasanya anaknya membantu orang tuanya.
Gaji macam-macam buruh pertembakauan di atas sangat bervariasi, batas minimum Rp. 50.000 per hari dan terbanyak bisa hingga rata-rata Rp. 200.000-300.000 per hari bahkan bisa lebih. Biasanya yang dilakukan buruh tumplek.
Buruh tumplek atau dikenal dengan sebutan kb-kb itu, buruh yang berada di gudang yang kerjaannya menebalkan dan menumpahkan tembakau dari keranjangnya yang baru datang dibawa oleh petani ke gudang perlu dicek kualitas tembakau yang di dalam dengan diambil satu cakupan yang kemudian diserahkan ke master gudang untuk di cek dan dilabeli. Setelah itu, tembakau yang ditumpahkan dikembalikan lagi ke dalam keranjang begitu seterusnya.
Pada saat pengerjaan penumpukan, biasanya satu keranjang dua orang biaya satu keranjang sebetulnya tidak ada patokan pasti, namun rata-rata minimal Rp.10.000-15.000 per keranjang. Dalam satu hari saat panen raya satu pasang penumplek bisa sampai mendapat uang Rp. 200.000-300.000 dan bisa lebih kalau masa panen berlimpah.
Dalam satu gudang buruh tumplek jumlahnya bisa 10-12 orang atau 5-6 pasang. Tugasnya selain tumplek melabeli atau memberikan tanda pada keranjang tembakau agar tidak tertukar, kemudian menaruh ke tempat lain untuk ditata di gudang jika tembakau masuk kriteria. Apabila tembakau tidak masuk kriteria maka, tembakau akan dikeluarkan dari gudang dan dikembalikan ke petani. Terkenal dengan sebutan “tembakau out”.
Walaupun tembakau out, petani tetap harus membayar buruh tumplek. Jadi selain biaya penanaman, biaya perawatan dari kecil hingga besar, biaya panen, biaya operasional pasca panen, biaya transportasi hingga biaya tumplek harus ditanggung petani, jika petani sendiri yang menyetorkan ke gudang.
Yang dimaksud gudang disini, belum gudang milik industri, akan tetapi gudang yang dimiliki oleh orang yang punya kartu tanda anggota (KTA) dan yang bisa masuk ke gudang milik industri bisa sub grader, bisa para tengkulak.
Karena memang, andai saja petani bisa langsung setor ke gudang milik industri pasti akan mendapatkan harga yang lebih tinggi. Namun gudang industri akan sangat beresiko, yaitu akan terjadi antrian yang begitu hebat dan sangat berjubel, dan mungkin pegawai gudang, master dan lainnya tidak akan bisa istirahat. Karena tiap petani yang masuk tidak sekedar membawa satu keranjang tembakau, melainkan minimal satu pick up yang jumlahnya berkisar 10-20 keranjang.
Dengan aturan KTA aja tiap hari saat panen raya tiba, tiap gudang milik industri antrinya sudah panjang dan berjubel, apalagi kalau petani langsung yang menyetorkan, tak terbayang hingga berapa hari dalam satu antrian atau bisa jadi para pegawai gudang tidak tidur dan yang antri tidur di jalanan. Karena yang paling lama adalah pengecekan kualitas tembakau.
Seorang master tembakau tidak bisa gegabah dalam menguji kualitas tembakau dari petani. Memang sampai sekarang belum ada alat canggih yang bisa mengecek kualitas dan mutu tembakau. Pengecekan tembakau masih dengan cara manual dan tradisional, dengan dilihat warnanya, diraba barangnya dan cium baunya.
Apa yang dilakukan master tembakau ini bukan perkara mudah, ia bisa dipastikan sudah puluhan tahun bergelut dengan tembakau, sehingga bisa jadi master. Jadi kebiasaan dan pengalaman atau jam terbang yang berpuluh-puluh tahun lah kunci menentukan kualitas dan mutu tembakau.
Setelah masuk gudang sub grader, barulah diangkut dan disetorkan ke gudang milik industri yang membuat rokok. Mekanisme hampir mirip di gudang sub grader. Tembakau datang perlu di cek satu persatu per keranjang, dengan di tumplek dilihat yang terdalam.
Jadi baru sektor pertanian sampai ke gudang milik industri sudah melibatkan ribuan buruh. Itu belum termasuk buruh sebaran yang lain, seperti buruh pembuat keranjang, buruh pengrajin kulit pisang (gedebog) dan lainnya. Belum lagi, saat panen tiba, banyak sekali warung dadakan yang muncul di pinggiran tiap gudang-gudang milik sub grader atau milik tengkulak.
Dan buruh yang terlibat pada sektor pertanian hingga masuk gudang industri sampai detik ini sangat menikmati hasil yang di dapat. Bahkan pengakuan salah satu buruh ibu-ibu (yang tidak mau disebutkan namanya), ia bekerja satu kali saat masa panen bisa untuk hidup satu tahun sampai masa panen tiba. Ibu ini tidak bekerja sama sekali selain menjadi buruh masa panen, dan ia pun tetap bisa hidup dengan 2 anak dan bersekolah. Ia menjadi buruh sejak suaminya masih hidup hingga suaminya meninggal tetap bekerja sebagai buruh, karena tidak memiliki lahan pertanian sendiri.