Aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) beriringan dengan aturan penyediaan tempat merokok disingkat TM. Bunyi peraturan daerah tentang penetapan dan penerapan KTR wajib diimbangi dengan fasilitasi tempat untuk merokok yang manusiawi (layak). Jika ketentuan KTR tersebut dilanggar tentu bisa terkena pidana dan minimal denda.
Sebetulnya KTR adalah masalah lama. Saat ini isu KTR didengungkan lagi. Tujuan utamanya menghalangi peredaran dan konsumsi rokok masyarakat dengan berlindung ke aturan-aturan pemerintah. Siapa yang melakukan?, pastinya anti rokok dan rezim kesehatan.
Peraturan daerah atau disingkat perda KTR ini merupakan turunan dari Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No.188/Menkes/PB/2011-No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
Dengan kata lain, giroh peraturan bersama ini dibuat sebagai payung hukum atau cantolan pelaksanaan KTR di tiap Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Munculnya peraturan bersama ini beriringan dengan pemberlakuan UU RI No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disingkat PDRD.
Yang dimaksud dengan UU pajak daerah/retribusi daerah, tidak lain memberi kewenangan daerah untuk memungut pajak tersendiri terhadap peredaran rokok di luar pungutan cukai. Jadi, selain kena pungutan cukai, tiap daerah memungut pajak rokok sendiri.
Sebetulnya, konsumen rokok (perokok) selain sudah membayar pajak ke Negara (pusat) lewat pungutan pita cukai, juga perusahaan rokok membayar pajak PDRD. Dua beban pajak yang harus ditanggung konsumen dan perusahaan rokok.
Pemerintah pusat hingga pemerintah paling bawah yaitu Kabupaten/Kota menikmati pungutan pajak dari hasil rokok yang telah dibeli oleh konsumen/perokok.
Perkembangan isu KTR mempunyai agenda supaya tiap daerah memperoleh kucuran dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).
Sedangkan peraturan bersama tentang KTR hasil adopsi dari pasal 18 framework convention on tobacco control (FCTC). Peraturan hukum FCTC sendiri memuat tentang pengendalian, pengontrolan dan pengamanan produk tembakau.
Di balik peraturan hukum FCTC, ada agenda global tentang regulasi penghentian konsumsi tembakau diganti atau dengan menggunakan produk farmasi. Sedangkan industri farmasi sendiri sangat membutuhkan bahan dari nikotin. Dan tumbuhan yang kandungan nikotinnya besar diantara tumbuhan lain hanyalah daun tembakau.
Untuk menjalankan peraturan hukum FCTC, terjalin sindikasi perusahaan farmasi besar multinasional guna merebut dan menguasai perdagangan nikotin (tembakau).
Tidak berhenti disitu, guna melancarkan aksinya, strategi yang digunakan industri farmasi menggandeng dan menjalin kerjasama dengan organisasi kesehatan dunia (WHO) dan organisasi-organisasi anti tembakau.
WHO saat ini telah menjadi kepanjangan tangan perusahaan farmasi multinasional. Kebijakan-kebijakan murni kesehatan telah berubah bentuk menjadi agen farmasi.
Efek dominonya, sales farmasi dengan bebas dan berbondong-bondong menemui ilmuwan kesehatan (dokter) menawarkan produk obatnya dengan iming-iming bonus. Akhirnya, banyak oknum dokter lebih memilih bonus daripada menjaga marwah pekerja mulia (kesehatan).
Jangan heran, aksi yang dilakukan rezim kesehatan selalu lantang dan getol menyerukan bahwa tembakau dan olahannya menjadi penyebab berbagai penyakit dan WHO sendiri mendorong kebijakan kontrol tembakau melalui FCTC.
Meskipun WHO pernah gagal dalam melakukan risetnya yang dinamai Monica Study dilakukan di 21 negara dengan durasi waktu 10 tahun dengan dana besar. Dalam riset tersebut gagal mengungkapkan korelasi antara serangan jantung dengan faktor resiko merokok dan kolesterol tinggi.
Kegagalan juga dialami organisasi anti tembakau, yang melakukan risetnya kalau aktivitas merokok berdampak terhadap meningkatnya kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa kali merilis bahwa faktor yang paling dominan dan tertinggi mempengaruhi kemiskinan adalah konsumsi beras.
Dengan masifnya serangan terhadap rokok, diharapkan masyarakat menjauh dari rokok. Menjauhnya masyarakat berakibat tumbangnya industri rokok, tumbangnya industri rokok, maka farmasi dengan sangat mudah menguasai perdagangan nikotin pada daun tembakau.
Kenapa harus menunggu tumbangnya industri rokok?, dan kenapa tidak berdagang secara kompetitif?. Tentu jawabannya sederhana, dengan bisa memonopoli atau menguasai perdagangan, pasti hasil keuntungannya sangat berlipat.
Jadi KTR sendiri itu merupakan isu yang telah desain dalam aturan hukum FCTC, yang dibelakangnya rezim kesehatan dan ormas anti tembakau dan olahannya, untuk tujuan penguasaan barang/tumbuhan yang kandungan nikotinnya sangat besar.
Namun penerapan dan pemberlakuan perda KTR di banyak wilayah mayoritas masih serampangan. Tidak mengindahkan aturan dan ketetapan yang harus berlaku, yaitu KTR harus ada fasilitas tempat merokok.
Jelas dalam pasal 115 ayat 1 UU Kesehatan, berbunyi khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok.
Anehnya, mayoritas di beberapa daerah yang menerapkan KTR, minim sekali tersedianya tempat khusus merokok, walaupun ada jarang sekali sesuai standar kelayakan.
Tempat khusus merokok belum terpenuhi, saat ini pemerintah membuat aturan pidana dan denda bagi perokok sembarangan di kawasan KTR, ini lebih aneh dan lebih serampangan lagi.
Harusnya wilayah KTR dipenuhi dulu tempat khusus merokok yang standar, layak dan mempertimbangkan jumlah perokok di wilayah tersebut. Setelah terpenuhi, baru membuat aturan pidana dan denda bagi perokok sembarangan, bukan sebaliknya. Pastinya para perokok santun mau dan setuju, jika diperlakukan demikian di wilayah KTR.