petani ranu pani
PabrikanREVIEW

Mengisap Kretek di Tengah Embun Upas Ranu Pani

Kali ini, saya sedang berada di ketinggian +-2300 mdpl, tepatnya di desa Ranu Pani, Kabupaten Lumajang. Ini kali kedua saya berada di sini untuk menemani Ayah dan tiga temannya, untuk sebuah pekerjaan membantu teman-teman Sokola Tengger.

Sokola Tengger ini adalah bagian dari keluarga besar Sokola Institute. Mereka bergerak dalam bidang literasi/pengajaran pada masyarakat adat atau masyarakat rimba (hutan) dan juga menanggapi isu isu sosial di lapangan.

Kami berangkat dari Yogyakarta sekira pukul 21:00, tentu saya yang menjadi pilot (sopir) pada perjalanan ini. Perjalanan Jogja-Ranu Pani memakan waktu 7 jam, dengan 2x pemberhentian untuk istirahat, mengisi perut dan yang paling wajib ialah menikmati beberapa batang rokok. Kami sepakat untuk tidak merokok di dalam mobil, selain membahayakan diri sendiri dan juga pengguna jalan lainnya, juga menghormati salah satu teman Ayah yang sudah memilih untuk berhenti merokok setelah puluhan tahun menjadi perokok.

Sungguh penderitaan yang amat pedih bagi saya sebagai seorang perokok, ketika  berada di posisi keterbatasan untuk merokok. Sejatinya saya suka merokok di mobil ketika sedang bepergian jarak jauh, karena bisa menghilangkan rasa bosan saat berada di jalur yang lancar sejauh ratusan kilometer dan tetap pada protokol keamanan saya sendiri, atau etika merokok di mobil versi saya.

Protokol merokok dalam mobil yang saya buat diantaranya, menyiapkan alat ritual ngudud di dalam jangkauan kita; asbak, mancis(korek), dan kretek. Yang kedua, membuka jendela tiap sisi mobil agar sirkulasi asap bisa terkontrol dengan baik dan memastikan tidak membuang sembarangan membuang puntung rokok.

Ketiga, kita lihat dulu siapa saja yang menaiki mobil itu. Kalau ada yang bukan perokok, ya semua cara saya itu tidak berguna, karena kita tetap harus menghormati orang yang tidak merokok, kecuali ia mengijinkan. Tapi sangat tidak dianjurkan loh ya untuk merokok saat berkendara.

Kembali lagi soal Ranu Pani. April menjadi momen pergantian musim penghujan ke kemarau. Bagi masyarakat Tengger, kemarau itu sebuah musim yang mengharuskan masyarakat untuk tetap survive. Karena, bukan hanya melewati suhu dingin yang begitu ekstrim, masyarakat di Tengger juga harus memikirkan rencana bagaimana mempertahankan hasil tani mereka.

embun upas ranu pani

Embun Upas Ranu Pani merusak tanaman warga. (foto: haitekno)

Ketika memasuki musim kemarau, hasil tani dipenuhi oleh embun upas. Embun upas ini adalah embun salju nan dingin yang menyelimuti dataran tinggi Tengger. Embun ini berlangsung ketika musim kemarau tiba memasuki puncaknya pada Juli-Agustus, ditandai dengan muncul uap di dataran dan berlangsung pada pukul 04.00-05.30 WIB.

Selama di Ranu Pani kemarin, saya mengobrol dengan beberapa anak muda yang bekerja di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Menurut mereka, petani di sana hanya bisa melindungi tanaman sebisa mungkin.

Akibat embun upas ini, setidaknya 40-60% yang ditanam petani akan mati. Petani di Ranu Pani kebanyakan menanam kentang, kubis, daun bawang dan cabai terong, karena tanaman ini yang bernilai ekonomi paling tinggi.

Menurut salah satu teman Ayah, Bang Anto namanya, beliau adalah ketua konsorsium komunitas Ininnawa sekaligus guru petani organik bagi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya di BuluKumba, jika saja masyarakat Tengger tidak memakai kimia (pestisida) mungkin tanaman bisa bertahan pada suhu dingin/ancaman embun upas. Alasannya, karena zat kimia setelah terkena embun upas ia akan berubah fungsi, yang tadinya untuk menumbuhkan tanaman ini malah jadi membunuh tanaman.

Tapi ya, mungkin bukan tanaman saja yang bisa terbunuh Embun Upas, saya rasa, manusia pun juga bisa terbunuh kalau tidak dengan persiapan menghadapi suhu dingin ekstrem.

Sebagai informasi saja, ketika musim itu berlangsung, suhu di Ranu Pani bisa sekitar 15-10° di siang hari dan 0°s/d -10° pada malam hari. Saya yang terbiasa hidup pada suhu normal, harus tetap merasa sok kuat menahan dingin yang membuat tubuh semakin menggigil itu.

Suhu dingin itu, mengharuskan saya harus terus meminum minuman hangat, tentunya dengan menghisap kretek yang semerbak wangi itu, supaya organ-organ saya terus berfungsi dengan baik. Sehingga wajar, intensitas merokok jadi makin bertambah, sebab nyatanya memang kretek bisa menjadi teman yang baik dan setia di suasana yang amat dingin.

Saat di gunung, saya memang memiliki selera merek rokok sendiri. Harus sigaret kretek tangan. Seperti biasa, sigaret kretek tangan yang selalu ada di tas kecil saya adalah Rider, Gudang Garam Merah, dan juga Djarum Super Wave. Tapi mesti yang habis duluan ialah Rider Dan Gudang Garam Merah. Berbagai merek rokok tersebutlah yang menurut saya cocok di daerah dingin, yang membikin mulut tidak hambar dan penuh rasa.

Di masa mendatang, saya akan menulis lebih banyak soal kearifan orang-orang Tengger dan isu sosial yang melekat pada mereka. Sampai berjumpa di tulisan selanjutnya.