OPINI

Membaca Kondisi Kretek Indonesia di Lingkaran Patgulipat Kepentingan Asing

Kretek bagi Indonesia telah berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, telah terbukti menggerakkan perekonomian nasional, dan telah nyata menjadi sumber pendapatan negara melalui pungutan cukai dan pajak. Fakta lain, keberadaan kretek ternyata sudah dari dulu ingin dihancurkan pihak lain, baik dari dalam sendiri, terlebih orang-orang asing.  

Tembakau adalah tanaman semusim yang tergolong eksotik dan banyak orang menamainya emas hijau. Dari dulu tembakau sebagian besar diserap untuk bahan rokok apapun mereknya dan apapun jenisnya.

Beda dengan yang lain, Indonesia memiliki rokok khas yang telah menjadi warisan budaya bangsa Indonesia. Ialah kretek. Yang menjadi pembeda dengan rokok lain, bahan dasar kretek tidak hanya tembakau, tetapi juga cengkeh. Nah, cengkeh inilah tanaman asli bumi pertiwi yang menjadi salah satu penyebab adanya penjajahan di Indonesia. 

Mungkin saja kalau tidak ada cengkeh di bumi Indonesia ini tidak ada penjajahan dan sejarah menjadi beda. Sampai-sampai KH. Agus Salim salah satu tokoh pendiri bangsa Indonesia bangga ketika mengisap rokok kreteknya dan menjawab dengan lantang pertanyaan orang asing dalam jamuan di istana Buckingham Inggris. 

“Tuan sedang menghisap apa itu?” 

“Inilah yang membuat nenek moyang anda sekian abad lalu datang dan kemudian menjajah negara Kami” (jawab KH. Agus Salim).

Kretek adalah hasil temuan dan kreativitas anak bangsa bernama H. Djamhari dari Kudus sekitar abad 19. Ia mencampur olahan tembakau dan cengkeh sebagai bahan membuat rokoknya sebagai upaya mengobati derita sakit bengeknya yang sudah puluhan tahun mengganggu badannya. Racikan H. Djamhari berhasil, berangsur-angsur kondisinya membaik.  

Kretek dari H. Djamhari menjelma menjadi industri besar yang mulai dirintis pada masa Nitisemito di awal-awal tahun 1900. Karena memang rokok jenis kretek makin lama makin disukai rakyat. Menjadi industri besar sudah wajar. Akhirnya Nitisemito terkenal dengan julukan “Raja Kretek”. 

Semasa penjajahan, hampir seluruh sektor perdagangan milik putra bangsa tumbang satu persatu. Satu-satunya perdagangan yang justru makin hari makin menanjak naik hanyalah produksi rokok kretek milik Nitisemito. Sehingga gegara kretek, Nitisemito disebut dalam pidato kenegaraan Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, dijadikan contoh tangguhnya industri pribumi semasa penjajahan yang telah menghidupi ratusan juta rakyat Indonesia. Dari petani tembakau, petani cengkeh, buruh tani, karyawan, buruh industri, pedagang kretek dan sektor lain yang melingkupi perdagangan kretek.

Bahkan di masa itu, penjajah pun menikmati uang hasil kretek dari pungutan pajak yang diterapkan penguasa. Sehingga, Nitisemito juga sangat dikenal penjajah karena upetinya (pembayaran pajak). 

Industri kretek adalah salah satu industri yang pertama kali berjaya, tetap bertahan melewati gelombang penjajahan dan gelombang krisis ekonomi. Industri yang mencerminkan kedaulatan ekonomi

industri kretek era dulu

foto: https://www.literasipublik.com/

Industri kretek dari dulu (jaman penjajahan) telah memberikan kontribusi besar terhadap keuangan penguasa (pemerintah), sampai sekarangpun masih demikian. Sebagai sumber pemasukan negara melalui pungutan cukai dan pajak yang tiap tahunnya selalu naik fantastis. 

Ternyata, pungutan pemerintah hanya sebatas kewajiban yang harus dibayar. Hak industri kretek hampir tidak terpenuhi. Apalagi perlindungan terhadap eksistensi kretek makin hari makin pudar, makin terhimpit kepentingan asing yang sangat merugikan keberadaan kretek Indonesia. 

Pengambilalihan bisnis nikotin kian nyata, sejak terjadi persekutuan antara industri farmasi dengan WHO (organisasi kesehatan dunia) yang mendorong negara di dunia memberlakukan kebijakan sesuai kerangka rezim kesehatan, termasuk di negara Indonesia. Modusnya kerjasama dengan framing pembangunan berkelanjutan, kesehatan masyarakat, pembangunan sumberdaya manusia, kesejahteraan masyarakat dan lain sebagainya. 

Memang framing di atas tujuannya sangat mulia, namun ketika di tempeli dengan kepentingan jahat untuk membunuh industri ketek, menjadi salah besar. 

Agenda meloloskan niatannya, sindikasi farmasi seperti Robert Wood Johnson Foundation menggelontorkan dana besar-besaran untuk mendukung gerakan antitembakau dan melibatkan WHO.

International Federation of Pharmaceutical Manufacturers and Association (IFPMA), komunitas industri farmasi dunia yang bergerak dalam bidang obat-obatan, bioteknologi dan vaksin merangkul pemerintah, organisasi masyarakat dan NGO agar semua kebijakan rekomendasi WHO terlaksana di tiap negara. Salah satunya politik dagang nicotine replacement therapy (NRT) yang distribusinya dibebankan pada negara. 

Framework Convention Alliance (FCA) sebuah lembaga yang menaungi sekitar 350 NGO dari 100 negara menjadi gerakan kontra intelijen untuk memperkuat argumentasi WHO yang segera mengesahkan peraturan internasional pengendalian tembakau berupa aturan Framework convention on tobacco control (FCTC). 

Bloomberg Initiative adalah program filantropis di Amerika yang didirikan oleh Michael Bloomberg mendonasikan uang besar-besaran untuk mendanai kampanye kebijakan pengendalian tembakau di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Perlu diingat lagi, gelontoran dana Bloomberg tidak murni sumbangan. Ada kepentingan politik dagang nicotine, karena antara Bloomberg dan industri farmasi bernama William R Brody memiliki hubungan khusus. 

Terlihat jelas dalam politik dagang pengambilalihan perdagangan nikotin tongkat komando dipegang industri farmasi dengan leading sektor pelaksana ada pada pemegang otoritas tertinggi kesehatan dunia (WHO). 

Ini menunjukkan atas nama kesehatan ditumpangi dengan kepentingan dagang. Sehingga para ilmuwan kesehatan (dokter) terkooptasi oleh industri farmasi. Memang tidak semua ilmuwan bisa disetir industri farmasi, namun karena terorganisir oleh WHO, para ilmuwan kesehatan tidak akan bisa berbuat banyak. 

antirokok anjing

Foto: (JG Photo/Ali Lutfi)

Agenda antirokok yang disusupkan sebagai instruksi WHO salah satunya kampanye antirokok, menaikkan komponen cukai dan pajak rokok. Melakukan tekanan psikologis terhadap perokok, promosi obat berhenti merokok, membuat agenda hari tanpa tembakau, serta agenda penandatangan FCTC oleh negara-negara dunia. 

Ternyata Indonesia pun banyak melakukan adopsi aturan WHO dengan komponen-komponen agenda di atas. Apalagi Bloomberg Initiative menjadikan target utama dalam politik dagang nikotin. Pada sekitar tahun 2007-2015 ada sekitar 20 lembaga dan NGO di Indonesia mendapatkan suntikan dana melalui proyek kerjasama kampanye anti rokok. 

Tak tanggung-tanggung Bloomberg Initiative pun masuk dalam menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah di luar Kementerian Kesehatan. Bahkan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), antirokok berhasil mendorong pengesahan dan penandatanganan PP 109. PP ini sebagai legalitas dan payung untuk pengendalian rokok kretek Indonesia. 

Karena dalam PP 109 sangat aneh, andaikan rokok dikendalikan bahkan tidak boleh seharusnya dalam PP 109 tanpa ada pengecualian, ternyata dalam PP 109 tersebut terdapat aturan tentang rokok dengan batasan “low nicotine low tar” “rendah nikotin rendah tar”. Sedangkan yang namanya rokok kretek sangat sulit dengan aturan “low nicotine low tar”. Karena tembakau bahan kretek asal dari petani dalam negeri dengan kearifan lokal kadar nikotin dan tarnya tinggi. Jadi jelas aturan yang ada di Indonesia tidak semata-mata membunuh rokok pada umumnya, namun yang dibunuh adalah rokok kretek. 

Seperti halnya kerjasama dengan Kementerian Keuangan yang ditandatangani  Sri Mulyani tentang pembangunan berkelanjutan, dalam perjanjian kerjasama tersebut terdapat agenda pengendalian tembakau dalam kerangka pembangunan  sumber daya manusia

Adanya PP 109 inilah, kemudian sebagai embrio kebijakan dalam segala lini, mulai dari kesehatan hingga kesejahteraan masyarakat yang dihubungkan dengan aktivitas merokok. Merokok menjadi kambing hitam dalam segala hal. Orang sakit apapun kalau merokok itu bentuk akibat dari rokok. Daerah tertinggal atau akibat orang  miskin dikaitkan gara-gara rokok. Bahkan mutakhir, orang yang mudah terpapar covid 19 gara-gara rokok. 

Ini semua tidak sesuai realita di lapangan, ratusan juta masyarakat Indonesia hidupnya menggantungkan dari rokok kretek bahkan di luar kota industri rokok pun banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dari kretek. Ambil contoh Kabupaten Demak, selain ada petani tembakau, juga ternyata banyak wanita yang bekerja sebagai buruh pembuat rokok di salah satu industri rokok kretek Kudus

pekerja perempuan

Boleh Merokok berkesempatan ngobrol dengan Kusrini pekerja perempuan dari Tugu, Karanganyar, Demak. Kusrini mengaku senang bisa bekerja di industri rokok di Kudus. Tidak tanggung-tanggung, ia sudah 15 tahun berkhidmat pada industri ini.

Awal mula karir Kusrini dimulai sebagai pembatil (merapikan ujung rokok) sekarang penggiling rokok yang paling termahir di antara teman-temannya. Tiap hari, ia dapat mengumpulkan uang perhari paling sedikit Rp. 50.000- 70.000. Baginya jumlah itu sudah cukup membantu perekonomian suaminya sebagai petani bawang merah.

“Saya bekerja di sini awalnya diajak oleh ibu saya. Ibu saya sudah pensiun soalnya sudah 65 tahun. Ibu saya juga  mengabdi di sini (pabrik rokok) sudah 20 tahun. Saya kaget ketika ibu saya saat pensiun mendapat pesangon Rp. 60.000.000. Uang yang besar untuk menjalani masa tua ibu,” ujar Kusrini.

Kusrini juga senang, kemarin saat puasa ramadhan mendapatkan THR satu kali gaji sesuai UMR di Kudus. Tidak seperti saudaranya yang bekerja di industri lain di Kabupaten Demak. Ia mengaku akan tetap bekerja membuat rokok kretek hingga batasan umur pensiun. Walaupun jarak tempat kerjanya beda kota (di Kudus). Ia sangat berterima kasih pada industri rokok dan pada rokok kretek. Karenanya ia bisa membesarkan dan menyekolahkan anaknya.

#Terimakasih Kretek