OPINI

Narasi Legenda Antirokok

Sambil ngabuburit, bersantai di kantor, duduk sendirian di atas genteng, menikmati heningnya toilet ketika boker tanpa rokok, coba ingat-ingat narasi apa yang pernah kalian baca dan akhirnya kalian dengar sendiri di perbincangan sehari-hari. Semua disebabkan karena terus digaungkannya narasi negatif tentang rokok oleh antirokok sekadar memanfaatkan isu rokok sebagai ladang cari keuntungan dengan berkedok kegiatan yang mereka anggap “heroik”.

Di antara isu-isu kampanye antirokok, ada beberapa yang membekas dalam ingatan saya dan cukup lama saya pelajari dengan mengulik dari banyak sumber.

Berikut tiga narasi yang saya anggap cukup legendaris, agak menggelikan tapi masih cukup sering saya baca atau dengar langsung sampai hari ini;

Merokok Memiskinkan

narasi antirokoko

Sekitar  tahun 2016, Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

Dia mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

Sepertinya Bapak Abdillah memukul rata semua perokok dan seakan-akan perokok itu adalah manusia yang tak pandai mengatur keuangan. Beberapa mungkin iya, tapi tidak semua.

Satu hal yang agaknya seringkali luput dari perhatian, adalah ketika kita membandingkan gaya hidup masyarakat berdasar wilayah tinggal maupun daya konsumsinya. Misalnya saja, ketika orang di desa dinilai jauh lebih konsumtif belanja Indomie ketimbang beras, yang senyatanya itu pun dialami oleh petani yang tengah menunggu masa panen dari sawahnya. Lantas saja dianggap tidak mampu belanja beras. Iya, memang, karena faktanya mereka dituntut untuk cermat menyiasati anggaran. Agar dapat membelanjakan uangnya bukan sekadar untuk Indomie, sebut saja untuk mengisi amplop kondangan, iuran karang taruna, atau sumbangan layatan.

Bahkan siasat serupa pun dialami mahasiswa-mahasiswi yang masih bergantung dari kiriman uang orang tua. Apakah di saat-saat cekak mereka memprioritaskan belanja rokok ketimbang untuk kebutuhan makan? Tentu tidak. Sebab kalau pun tak mampu beli rokok, azas pergaulan punya logikanya sendiri.

Merokok Itu Haram

haram merokok

Pernah membaca berita soal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa haram soal merokok di tempat umum di tahun 2009? Tidak hanya di ruang publik, dalam fatwa itu juga disebutkan bahwa merokok haram bila dilakukan anak-anak dan wanita.

Dan sejak saat itu sepertinya semua kampanye yang menentang rokok dan perokok terus-menerus mengandalkan fatwa, mengglorifikasinya, dan sedikit demi sedikit dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Selama bertahun-tahun isu itu digaungkan dengan terus mengalami modifikasi narasi hingga setiap generasi yang mendengar fatwa itu memiliki daya serap dan pemahaman berbeda, yang pada akhirnya membuat “chaos” argumen tiap kali ada perdebatan mengenai rokok itu haram.

Masalah rokok-merokok memang sangat kompleks, dan karena itu perlu pandangan akurat, pemikiran mendalam, dan alasan komprehensif sebelum memberikan status hukumnya.

Bagi komunitas anti-rokok, merokok memang dianggap sebagai perbuatan buruk. Tapi bagi masyarakat penggemar rokok, merokok sama sekali bukan perbuatan buruk yang menimbulkan dampak negatif. Bahkan justru banyak, khususnya jamaah sebats, yang mengatakan sebaliknya: merokok merupakan perbuatan baik yang menimbulkan dampak positif seperti membantu memacu kreativitas dan produktivitas, atau medium komunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain di kalangan masyarakat.

Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan negara dan hukumnya.

Merokok Membunuhmu!

orang tua merokok

Menurut WHO, setiap 6,5 detik satu orang meninggal karena rokok. Riset memperkirakan bahwa orang yang mulai merokok pada usia remaja (70% perokok mulai pada usia ini) dan terus menerus merokok sampai 2 dekade atau lebih, akan meninggal 20-25 tahun lebih awal dari orang yang tidak pernah merokok.

Merokok itu berbahaya. Merokok itu membunuhmu beserta semua embel-embel lain terus saja dikampanyekan oleh kelompok anti rokok. Tujuan kampanye dengan isu itu banyak. Saking banyaknya, banyak teman-teman dari lembaga advokasi kretek sampai membukukan banyak sekali hasil penelitian, kesaksian dan fakta-fakta menarik soal perang terhadap IHT di http://bukukretek.com/. Sempatkan baca 1 atau 2 buku. Saran saya bisa dimulai dari buku Membunuh Indonesia, Kriminalisasi Berujung monopoli atau anda bisa mencari buku karya Wanda Hamilton yang berjudul Nicotine War.

Balik lagi soal merokok membunuhmu, sebagai dalih, mereka biasa bilang bahwa merokok itu berbahaya, akan menyebabkan penyakit mematikan, sebuah produk konsumsi yang membahayakan masyarakat. Setiap ada waktu, mereka bakal sibuk menghajar rokok kretek dengan asumsi itu. Tujuan yang mereka anggap mulia.

Tapi di sisi lain, mereka melupakan penyebab penyakit mematikan tersebut juga berasal dari produk konsumsi yang lain. Mie instan serta makanan instan dan cepat saji lainnya tak pernah mereka hajar, padahal, sebagaimana harusnya mereka tahu, produk konsumsi itu juga berbahaya bagi masyarakat.

Tidak ada orang yang mati karena faktor tunggal; merokok. Kalau orang mati ditabrak kendaraan, penyakit malaria, atau dibunuh, banyak sekali. Bahkan sebaliknya, banyak orang yang panjang umur hingga tua meskipun kategori perokok berat. Jadi kalau tiap 6,5 detik ada orang yang mati karena penyebab tunggalnya adalah rokok rasanya tidak masuk akal.

Bagaimana? Sudah cukup legendaris isu-isu yang saya sebutkan di atas?

Kembali kepada diri kita sendiri mau memaknai narasi kampanye anti rokok itu seperti apa. Bebas. Tidak perlu takut dengan pilihan dan keputusan yang diambil. Tidak ada yang perlu dipikirkan dan dibawa sampai tidur, atau bahkan stress dan lupa jatuh cinta. Tapi, kalau kalian yang membaca tulisan ini adalah perokok, ingat, kalian perokok yang beretika, beradab dan bertanggung jawab. Salam sehat dan selamat menikmati suasana blokade mudik di sana-sini.