lasem kota lelet
PabrikanREVIEW

Tidak Hanya Batik, Lasem juga Terkenal dengan Kopi Lelet

Ada yang bilang, Lasem adalah Kota Tiongkok Kecil. Ada yang bilang, Lasem adalah sentra batik dengan motif khasnya. Dan ternyata, Lasem juga menjadi lebih menarik dengan kopi lelet.

Lasem merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yang sangat terkenal sebagai salah satu pusat industri batik di Pulau Jawa. Berada di Pantai Utara Jawa, Lasem memang sangat terkenal sebagai daerah batik pesisir khas Lasem.

Menurut sejarah, munculnya batik Lasem sangat lekat dengan sejarah Laksamana Cheng Ho. Daerah Lasem adalah tempat mendarat pertama kali pasukan Laksamana Cheng Ho dan juga daerah yang pertama kali di Nusantara yang disinggahi masyarakat Tionghoa. Karena keunikan dari motifnya, pada awal abad ke-19, batik Lasem mengalami masa jaya dengan berhasil diekspor hingga ke Thailand dan Suriname.

batik lasem

Motif batik Lasem sangat khas dan digemari masyarakat sekitar (foto: GNFI)

Selain batik, ada satu lagi kebiasan yang sudah menjadi budaya di Lasem yakni Ngelelet menggunakan ampas kopi khusus. 

Lasem memang tidak ramai dikenal dalam dunia perkopian Indonesia. Selain sentra batik, Lasem dikenal juga sebagai pemukiman Tionghoa atau kadang disebut Cina Kecil. Tidak ada perkebunan kopi di sekitar Lasem, namun bukan berarti Lasem tak lekat dengan kopi. Sebagai daerah yang erat dengan kultur ngopi, Lasem memiliki budaya minum kopi yang kental, dan mungkin jarang ditemui di daerah-daerah lain.

Saya tidak sengaja mampir ke salah satu warung minuman ringan kaki lima di Lasem, tepatnya di sekitar jalan Jatirogo. Sore itu saya yang bertugas sebagai supir sedang menunggu tamu yang mampir ke salah satu pebisnis batik di kota Lasem, daripada hanya menunggu di mobil saya memilih untuk menunggu sambil minum kopi. Warung kopi dengan gerobak berwarna biru ini terlihat bukan sebagai warung yang khusus menjual kopi, di gerobaknya tertata rapi deretan minuman sachet dan macam-macam cemilan, di belakang gerobak ada meja panjang ala pedagang kaki lima berukuran 2 meter lengkap dengan kursinya kayunya. Hanya ada Sang Pemilik warung dan 2 laki-laki yang sedang asyik mengobrol sambil nglelet rokok. 

Begitu duduk, saya langsung memesan kopi lelet, karena melihat 2 orang laki-laki tadi yang sejak saya datang sibuk mengoles batang rokok dengan ampas kopi. Tidak berapa lama saya disuguhi kopi hitam tanpa gula dalam cangkir ukuran kecil. Tidak ada yang istimewa dari kopi yang saya terima. Prosesnya pun umum dilakukan orang lain, hanya memasukkan bubuk kopi lalu dituangkannya air panas ke cangkir, diaduk sebentar sebelum disajikan.

Ada yang unik dari cangkir kopi di warung ini. Gagang cangkirnya diganti dengan seng yang membebat kepala cangkir. Unik. Menurut penjualnya hal ini karena gagang cangkir bawaan biasanya mudah pecah lalu patah.

Sambil mengamati 2 orang di sebelah saya yang sedang sibuk nglelet, saya mengobrol lagi dengan pemilik warung, bertanya mengenai bagaimana kopi lelet ini dibuat sehingga bubuknya bisa sangat halus dan digunakan untuk nglelet batang rokok. Kalau anda mencari gambar dengan kata kunci kopi lelet atau membatik rokok di google, anda akan menemukan gambar batang rokok yang digambar sedemikian rupa menggunakan ampas kopi hingga menghasilkan motif-motif gambar yang unik. 

Menurut si pemilik warung, proses penggilingan kopi lelet dilakukan bisa sampai 6 – 7 kali penggilingan. Hasilnya adalah bubuk kopi yang lembut dan halus, hampir seperti bedak. Tapi karena proses penggilingan tersebut dilakukan berulang kali, kopi pun semakin berkurang, dari 1 kilogram kopi, setelah 6 – 7 kali penggilingan mungkin hanya tinggal 400 – 500 gram bubuk kopi, menyusut banyak sekali.

batik rokok

Kreativitas perokok di daerah Lasem memang menjadi semacam kekayaan Rembang yang patut dilestarikan (foto: inibaru.id)

Kopi yang halus ini adalah kunci utama menghasilkan leletan yang sempurna. Residu kopi yang dihasilkan adalah residu yang kental dan pekat, sehingga mudah menempel saat dileletkan pada batang rokok tadi. Itulah mengapa kopi yang saya minum di sini terasa lebih kental. Rupanya memang karena kopi hasil penggilingan yang berulang kali tadi menghasilkan kopi yang kental sebagai bahan leletan di batang rokok. 

Saya perhatikan salah seorang laki-laki di sebelah saya kembali lagi mengeluarkan sebatang rokok setelah ada sekitar 4 batang rokok yang sudah dihiasinya dengan leletan kopi, sebelum dileleti dia mengetuk-ketukkannya sebentar di meja, mengambil tusuk gigi dan mencocolkan ujungnya ke cairan kopi di alas cangkir yang tinggal tersisa ampasnya saja. Dengan penuh ketelitian, ia goreskan tusuk gigi ke sekeliling permukaan rokok, membentuk sebuah gambar mirip seperti orang membuat batik tulis. 

Setelah ‘karya seni’-nya jadi, barulah ia nyalakan api dan menghisap rokok yang telah selesai ia lukis sebelumnya, rokoknya diisap perlahan sambil memperhatikan batang rokok yang sudah dileleti, menghasilkan kepulan-kepulan asap dan obrolan ringan seputar Lasem. Rokok yang tergeletak di atas meja kami sore itu cukup variatif. Mulai dari Win Bold, Sukun Magno, L.A Bold, SR, Djarum Super Next dan Rider

Minum kopi dan membatik rokok memang menjadi sebuah elemen utuh yang tak boleh dipisahkan dalam menikmati sajian kopi lelet. Kegiatan nglelet ini telah menjadi kebiasaan sedari dulu di Lasem yang dilakukan oleh orang-orang usai beraktivitas.

Menurut mereka bertiga, sensasi membatik rokok itu tetap dapat dirasakan tanpa menghisap asapnya. Kesenangan dalam meluapkan imajinasi lewat karya lukis sederhana di media tak biasa tersebut membuat tradisi nglelet patut untuk dicoba, apalagi bila sedang bertandang ke Lasem, sembari menikmati suasana Hindia-Tionghoa tempo dulu.

sudut lasem

Sebagian sudut Lasem (foto: IDNTimes)

Saya sempat mencoba rokok hasil nglelet Bapak pemilik warung. Rokok Win Bold miliknya jadi berubah rasa lebih pekat, tarikan terasa tebal dan kecut bercampur aroma harum ampas kopi. Lebih terasa pahit dan berat. Tapi cukup enak, beda dengan saat saya mencoba nglelet di salah satu warung kopi di Jogja. Entah karena tehnik meleletnya atau ampas kopi yang masih terlalu basah yang saya leleti di rokok. 

Baru 4-5 isapan sore saya bersama mereka bertiga harus dipotong dengan panggilan masuk ke handphone saya. Rupanya kunjungan tamu saya sudah selesai dan meminta saya menyiapkan mobil. Kami harus melanjutkan perjalanan sore itu menuju daerah  Dasun untuk bertemu orang lagi. Win Bold yang baru setengah jalan harus saya matikan dan pamit kepada 3 orang di warung itu.

Salah satu dari pria yang sibuk nglelet tadi menawarkan 3 batang rokok hasil nglelet-nya untuk saya bawa. Katanya; rokok leletan di Lasem dijamin beda, tidak ada di Jogja, ini patut untuk saya bawa dan dinikmati nanti malam saat bersantai. Saya hanya mengangguk, mengucapkan terimakasih dan percaya saja kata pria itu.