revisi pp 109
OPINI

Analisis Dampak Revisi PP 109 Tahun 2012

Gembar-gembor mengenai revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dalam waktu dekat akan memasuki babak akhir. Sinyal tersebut terlihat dari keseriusan Kementerian Kesehatan yang sudah bersurat kepada Presiden Jokowi untuk memohon izin prakarsa penyusunan peraturan presiden. Selain itu draft revisi PP 109 juga sedang dikerjakan.

Di tengah-tengah kondisi pandemi covid-19, Kemenkes yang seharusnya sibuk menangani pandemi malah ngotot merevisi PP 109. Padahal banyak urusan kebijakan yang jauh lebih urgent untuk diselesaikan. Sementara PP 109 sendiri sebenarnya sudah sangat eksesif membatasi dan sesuai dengan pengendalian tembakau di Indonesia.

Jika dilihat dari histori kelahiran PP 109 terdapat dinamika tarik-ulur sejak diwacanakan muncul pada tahun 2009. Dinamika tersebut mengalami penundaan selama 3 tahun sehingga baru disahkan pada tahun 2012. Kala itu demo besar terjadi dimana-mana. Petani, buruh hingga masyarakat sipil menyuarakan penolakan terhadap PP 109.

Adanya dinamika terjadi bukan tanpa sebab. Indonesia yang memiliki kepentingan strategis terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT) dihadapkan oleh sebuah peraturan yang diadopsi dari traktat perjanjian internasional tentang pengendalian tembakau atau yang disebut FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).

PP 109 sendiri jika kita melihat pasal-pasal yang terkandung di dalamnya, terdapat klausul yang sama persis dengan pasal-pasal yang ada pada FCTC. Padahal Indonesia belum mengaksesi FCTC sampai dengan detik ini. Intervensi asing yang begitu besar tak dapat dibendung dengan menabrak semua konsensus hukum yang ada, maka lahirlah PP 109.

Dampak dari PP 109 terhadap sektor IHT kini dirasakan sebagai beban berat yang harus ditanggung oleh semua pihak, mulai dari petani, buruh, pabrik, pekerja kreatif, retail hingga konsumen. Peraturan ini bak sapu jagat yang menyapu dari hulu hingga hilir sektor IHT. Dari kadar nikotin dan tar yang ada pada tembakau, penempatan gambar peringatan kesehatan, larangan iklan dan sponsorship hingga persoalan cukai.

nongkrong menikmati rokok

Merokok menambah hangat suasana

Revisi PP 109 yang akan dilaksanakan nantinya menyasar kepada 6 point: 

Pertama, peringatan peringatan kesehatan bergambar dan tulisan diperbesar hingga 70%-90% yang tertera pada pasal 14 sampai 24. Kedua, peraturan mengenai iklan rokok di media akan diubah menjadi larangan total iklan rokok di seluruh media yang tertera pada pasal 26 sampai 34. 

Ketiga, peraturan larangan sponsorship akan mengarah kepada menghilangkan peran Corporate Social Responsibility (CSR) pada industri rokok yang tertera pada pasal 35 sampai 38. 

Keempat, pelarangan total iklan rokok di internet dan larangan berekspresi di media sosial yang berkaitan dengan aktivitas konsumsi produk hasil tembakau yang tertera pada pasal 39.

Kelima, mendorong kehadiran klinik berhenti merokok yang selama ini hanya bersifat hotline service atau call center menjadi klinik fisik yang tertera pada pasal 41 hingga pasal 44.

Keenam, perluasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)hingga ke tingkat rumah tangga serta memperketat aturan dengan penerapan sanksi-sanksi yang tertera pada pasal 49 sampai 52.

Gambaran bahwa revisi PP 109 akan menyasar pada 6 point tersebut terlihat dalam berbagai statement dan kampanye kelompok antitembakau yang nyaring terdengar akhir-akhir ini. Serta gelaran diskusi dan forum-forum strategis yang digelar juga memiliki tone yang mengarah kepada 6 point tersebut.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari revisi PP 109 ini sangatlah dahsyat karena bukan hanya menghajar sistem bisnis industri melainkan juga mendeterminasi faktor sosial dari pelaku industri hulu ke hilir. Setidaknya akan terlihat 6 dampak signifikan dari revisi PP 109.

Pertama, mengarah kepada plain packaging (kemasan rokok polos). Tujuan dari kebijakan kemasan rokok polos ini adalah menutup ruang gerak marketing perusahaan rokok atas produk rokok mereka. Pabrikan tidak mampu menyampaikan komunikasi produknya ke konsumen, begitupun dengan konsumen yang akan kesulitan mendapatkan informasi produk dari pabrikan.

Biasanya penerapan kebijakan kemasan rokok polos ini dibarengi dengan pembatasan iklan dan promosi rokok sesuai dengan perintah dari FCTC.

Kedua, merampas hak kekayaan intelektual. Produk hasil tembakau di Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Kita memiliki jenis produk hasil tembakau yang beragam jenis, utamanya pada produk kretek. Melalui entitas karya seni grafis pada bungkus kretek inilah yang menjadikan produk hasil tembakau di Indonesia menjadi khas.

tembakau cerutu

Dalam Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya (Rudy Badil, 2011) kekhasan merek kretek sebagai alat komunikasi antara produsen dengan konsumen diangkat dalam satu bab tersendiri. Hal ini menunjukkan keunikan merk kretek  yang tercantum di bungkus rokok sebagai alat komunikasi visual dengan audiens yaitu konsumen.

Ketiga, mengeliminasi sumbangsih sektor IHT dalam berbagai aspek kehidupan. Padahal kontribusi industri melalui CSR merupakan komitmen dunia usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas (Sankat, Clement K, 2002). 

Keempat, pelarangan kebebasan berekspresi. Dengan adanya perluasan atau perubahan tafsir mengenai pelarangan total iklan rokok di internet dan larangan berekspresi di media sosial yang berkaitan dengan aktivitas konsumsi produk hasil tembakau, maka PP 109 akan memiliki pasal karet yang hendak mengekang kebebasan berekspresi masyarakat di internet.

Kelima, stigmatisasi perokok sebagai orang yang sakit secara fisik dan mental. Revisi PP 109 akan mendorong berdirinya klinik-klinik layanan berhenti merokok. Perokok seolah-olah menjadi kelompok masyarakat yang perlu dibina secara mental setelah selalu dicap sebagai orang yang yang tidak sehat secara fisik. Stigmatisasi ini sungguh menghina akal sehat kita semua.

Keenam, mempersempit akses terhadap produk hasil tembakau. Dengan diperluasnya KTR, maka akses masyarakat untuk membeli dan mengonsumsi produk hasil tembakau akan sangat sempit dan terbatas. Hal ini akan mengurangi demand terhadap produk hasil tembakau yang berujung kepada matinya pabrik akibat tidak memiliki pasar.

Jadi benang merah yang dihasilkan dari revisi PP 109 ini adalah menghajar bisnis pabrik rokok dengan kebijakan larangan-larangan yang berkaitan dengan pemasaran, distribusi dan perdagangan. Lalu menghajar konsumen dengan pembatasan-pembatasan terhadap akses produk hasil tembakau dan stigmatisasi buruk di lingkungan sosial masyarakat. Di hulu, petani tidak dapat menjual tembakau dan cengkeh karena berkurangnya permintaan bahan baku dari pabrik sehingga mereka terpaksa untuk berhenti menanam tembakau.

Skenario ini sangat jelas berniat untuk membunuh industri hasil tembakau secara perlahan-lahan. Fungsi dan peranannya akan dihilangkan sehingga masyarakat akan lupa bahwa bangsa ini memiliki sektor industri strategis yang berperan besar terhadap ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia.