Mengapa defisit BPJS selalu mengaitkan perokok dan konsumsi rokok? Memangnya yang menyebabkan hal tersebut perokok saja?
Merokok adalah aktivitas legal yang dilindungi Undang-undang. Merokok untuk orang dewasa adalah pilihan bukan paksaan. Artinya, perokok tidak boleh memaksa orang lain merokok, sebaliknya yang tidak merokok tidak boleh memaksa tidak merokok bagi orang dewasa. Sedangkan bagi anak-anak usia sekolah, semua sepakat belum diperboleh dengan alasan tertentu.
Fakta, jumlah perokok masyarakat Indonesia secara keseluruhan lebih sedikit dari pada yang tidak merokok. Data Kementerian Dalam Negeri hingga Desember 2020, jumlah penduduk 271 juta jiwa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2020 Masyarakat yang merokok berjumlah 28.69 persen dari total penduduk. Berbeda data yang dirilis JPnn.com jumlah perokok masyarakat Indonesia hanya 65,7 juta jiwa (20 April 2021).
Dari total penduduk di atas, yang ikut dan terdaftar pada jaminan kesehatan sosial tercatat pada tahun 2020 sudah mencapai 224 juta atau sekitar 83 persen. Target capaian pemerintah hingga tahun 2024 yang terdaftar pada jaminan kesehatan sosial berkisar 265,5 juta jiwa.
Sangat aneh, CNN Indonesia merilis dan memberitakan kalau “Riset CISDI: Rokok Rugikan Ekonomi Rp 27,7 Triliun” (08/06/2021). Laporan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebut kerugian itu disebabkan konsumsi rokok. Studi riset CISDI ini sebenarnya dilakukan pada tahun 2019.
Satu simpulan yang sangat keliru terkesan ngawur dan dipaksakan. Jelas-jelas paling banyak masyarakat yang terdaftar pada jaminan kesehatan sosial terbanyak tidak merokok. Sebaliknya, walaupun jumlah perokok sedikit, namun faktanya penyumbang pembayaran defisit BPJS 50% dari uang hasil cukai rokok.
Dimana riset CISDI menyatakan bahwa biaya rawat inap dan perawatan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi dengan cakupan mencapai 86.3 dan 87.6 persen dari keseluruhan beban biaya BPJS Kesehatan.
Daftar Penyakit yang Bikin Defisit BPJS
Adapun daftar penyakit yang bikin defisit BPJS ada sekitar delapan komponen, yaitu:
- Serangan Jantung Rp. 2.8 triliun
- Gagal ginjal Rp 672 miliar
- Kanker Rp 1 triliun
- Stroke Rp. 700 miliar
- Thalassaemia Rp 148 miliar
- Sirosis hepatitis Rp 93 miliar
- Leukemia Rp 109 miliar
- Hemofilia Rp 109 miliar
Pertanyaan selanjutnya, kenapa defisit BPJS dikaitkan dengan konsumsi rokok? Apakah yang sakit semuanya perokok? Apakah yang tidak merokok tidak terkena penyakit di atas? Sedangkan jumlah yang ikut jaminan kesehatan sosial tercatat lebih besar yang tidak merokok dari pada yang perokok.
Kalau lebih dibuat rinci, apakah yang tidak merokok tidak terkena penyakit serangan jantung? Tentu jawabannya pasti tidak. Faktanya banyak yang tidak merokok terkena serangan jantung, dan banyak yang merokok tidak terkena serangan jantung, dan seterusnya penyakit yang lain.
Dua Faktor Beban Berat Defisit BPJS
Asumsi beban berat BPJS hingga berakibat defisit akibat rokok sangatlah keliru. Berbeda dengan pernyataan Menteri Kesehatan yang dirilis detik.com yang mengatakan, “Memang iuran ini belum imbang, penerimaan dan pengeluaran perbedaannya masih besar, jadi penerimaan ini masih tidak cukup untuk pengeluaran yang besar terutama tadi pada penyakit tidak menular”.
“Orang kaya kalau sudah sakit jantung kan mahal, biasanya baru ikut BPJS, sudah selesai, berhenti nggak ikut lagi, kasihan BPJS nya”.
Di sini dapat diperjelas, beban berat BPJS hingga defisit ada dua faktor. Pertama pemasukan (iuran) dengan pengeluaran belum sepadan. Kedua; orang kaya dalam kasus sakit berat, ia memilih ikut BPJS yang awalnya tidak ikut. Artinya, saat sikaya sakit berat baru mendaftar iuran BPJS, saat tidak sakit lagi ia tak mau lagi ikut iuran BPJS.
Pada penjelasan sederhana faktor kedua, bahwa si kaya yang sakit berat ingin berobat gratis mendapatkan bantuan pembiayaan dari pemerintah.
Jadi, sebetulnya defisit BPJS dengan mengkorelasikan kecenderungan dengan konsumsi rokok adalah satu hal rekayasa belaka untuk kepentingan peningkatan politik anggaran. Buktinya, rekomendasi riset yang dilakukan CISDI salah satunya BPJS kesehatan idealnya perlu menambah alokasi minimal Rp 10.5 – 15.5 triliun untuk beban menambal biaya kesehatan. Hal ini mengacu pada pola standar penganggaran organisasi kesehatan dunia (WHO)
Dengan kata lain BPJS diminta CISDI untuk meminta tambahan atau suntikan anggaran dari hasil cukai rokok, karena rokok tergolong produk kena cukai.
Skema lain yang harus dilakukan BPJS, memisahkan jumlah perokok dan yang tidak merokok. Yang merokok, selain dari iuran juga menggunakan dana alokasi cukai, sebaliknya yang tidak merokok tidak memakai dana alokasi cukai.
Memang usulan skema ini tidak baik, kita satu bangsa harusnya saling tolong menolong dan bantu membantu. Seharusnya juga begitu, yang tidak merokok jangan mengusik perokok atau mengusik keberadaan rokok. Apalagi selama ini keberadaan rokok sudah sangat membantu kesehatan yang tidak merokok dan bahkan membantu pemasukan kas negara. Kita harus bersatu dan berdaulat menjadi bangsa yang kuat, jangan mau disetir ataupun diadu domba kepentingan orang lain atau bangsa lain.