PabrikanREVIEW

Kretek Sebagai Industri Strategis Nasional dan Identitas Kebangsaan

Industri Hasil Tembakau (IHT) bukan hanya sekadar pengampu perekonomian negara dengan segala kebermanfaatan yang dihasilkan dari mata rantai industri hulu hingga hilirnya. Industri ini menjadi strategis dikarenakan terdapat local pride yang melekat di dalamnya. Pramoedya Ananta Toer pernah menuturkan, bahwa kretek sebagai salah satu produk khas hasil tembakau Indonesia pada masa memperjuangkan kemerdekaan merupakan simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Kretek menjadi sebuah penanda identitas orang Indonesia (cultural identity).

Jauh sebelum Indonesia merdeka, industri ini telah memainkan peranan penting dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat nusantara. Bahan bakunya yakni tembakau disebut sebagai “emas hijau” karena memiliki nilai komoditi yang tinggi, sementara cengkeh merupakan tanaman endemik asli Indonesia. Pada sektor industri pengolahannya, IHT berperan besar dalam memutar roda perekonomian yang luar biasa bagi masyarakat yang kala itu dihimpit oleh kondisi menyedihkan akibat kolonialisme. 

Pasca kemerdekaan industri ini bertumbuh menjadi lebih besar lagi, semakin menancapkan kuku sebagai industri strategis nasional. Pada 1949 setelah pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, terjadi inflasi besar-besaran akibat utang negara yang harus ditanggung pemerintah setelah kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Badai krisis ekonomi membuat harga-harga kebutuhan pokok meroket, padahal kondisi ekonomi masyarakat masih morat-marit.

Di tengah himpitan krisis ekonomi tersebut, sektor IHT justru tumbuh dan menjadi penopang pemasukan negara. Pada tahun 1951, penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp 46.920.000. Jumlahnya terus meningkat setiap tahun hingga pada 1962 pemasukan negara lewat cukai mencapai Rp920.050.000. Naik hingga 2000 persen. Sejarah memang mencatat sektor IHT merupakan sektor yang tahan terhadap goncangan krisis yang berturut-turut melanda Indonesia.

kretek pusaka bangsa

Kini sektor IHT selalu berkontribusi terhadap penerimaan negara melalui cukai dan setoran pajak lainnya, besaran kontribusinya mencapai 9 sampai 11 persen dari total APBN. Di sisi ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian mencatat total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang, terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan tembakau dan cengkeh.

Selain kontribusi yang besar bagi penerimaan negara dan ketenagakerjaan, sektor IHT juga mencerminkan konsep kedaulatan dan kemandirian bangsa dengan memaksimalkan daya guna lokal dari hulu ke hilir. Di hulu pertanian, tembakau dan cengkeh ditanam oleh petani di dalam negeri dengan kepemilikan lahan 97 persen merupakan perkebunan rakyat. 

Proses produksi mayoritas diisi oleh pabrikan skala Industri Kecil Menengah (IKM) yang melibatkan tenaga kerja lokal, terlebih mayoritas pekerja ini adalah perempuan. Adapun konsumsinya mayoritas dikonsumsi masyarakat dalam negeri. 

Sayangnya, konsep kedaulatan dan kemandirian ini tidak disokong dengan kebijakan yang mendukung industri ini untuk terus tumbuh. Sebaliknya kebijakan yang memayungi sektor IHT dianggap restriktif sehingga menekan eksistensi industri. Kebijakan yang seharusnya memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri justru selalu menuai polemik.

Saat ini di tengah kondisi pandemi Covid-19, sektor IHT pontang-panting untuk tetap bertahan menghadapi krisis. Ibarat jatuh tertimpa tangga, kebijakan yang sudah ada terkait IHT sudah cukup membebani ditambah kondisi krisis akibat pandemi Covid-19 berdampak sangat dalam bagi industri. 

Setidaknya butuh waktu paling cepat 2 tahun lamanya untuk bisa bangkit dari krisis ini. Namun jika muncul kebijakan yang eksesif dalam masa pemulihan tersebut, maka akan butuh waktu lebih lama atau bahkan dalam waktu dekat sektor IHT akan menjadi sunset industry.