logo boleh merokok putih 2

Melarang Menjual Rokok Ketengan Sama Saja Melarang Hidup Hemat

merokok ketengan

Apalagi masa pandemi saat ini yang tidak kunjung berakhir, pendapat masyarakat tidak terkecuali kalangan bawah maupun atas rata-rata menurun drastis. Bahkan tragisnya banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaannya. Mereka harus hidup hemat, membeli barang seperlunya saja. 

Seperti halnya membeli rokok juga sesuai kebutuhan. Mereka harus saving dana untuk keberlanjutan hidupnya di kemudian hari. Bahkan membeli kebutuhan untuk makan sehari-hari pun mereka harus hemat, tidak seperti sedia kala dalam keadaan normal. 

Memang dalam hitungan matematik, membeli eceran atau batangan rokok secara kumulatif jatuhnya pasti mahal. Akan tetapi kalau dihitung berdasarkan kebutuhan, maka jatuhnya lebih hemat. 

Logikanya, membeli barang dengan jumlah besar, jika dihitung jatuhnya lebih murah. Akan tetapi masyarakat tidak mungkin membeli dengan jumlah besar kalau tidak dijual kembali, ada acara atau mempunyai banyak uang. 

Bagi masyarakat dengan pendapatan pas-pasan, ia memilih membeli eceran daripada membeli barang jumlah besar atau banyak. Membeli barang lebih mengutamakan sesuai kebutuhannya saja. Walaupun membeli barang agak banyak, itu pun disesuaikan kebutuhan, bukan disesuaikan pertimbangan jatuhnya harga murah.

Karena rata-rata masyarakat berfikir, kalau membeli barang terlalu banyak (tidak sesuai kebutuhan) namanya hidup boros. Dan bisa terjadi barang yang dibeli mubazir (sia-sia) saking banyaknya barang yang dibeli. Makanya keberadaan warung kelontong, waralaba yang menjual barang eceran sangat membantu masyarakat terlebih rakyat kecil. 

Membeli rokok pun demikian, kalau membeli untuk konsumsi sendiri disesuaikan kebutuhannya. Apalagi di masa saat ini, perekonomian masyarakat baru jatuh. Perokok pasti menyesuaian kebutuhannya. 

Saat ini, banyak perokok yang hidup hemat, memilih membeli rokok ketengan dan tidak segan-segan membuat rokok sendiri atau “tingwe”. 

Dari dulu perokok selalu berpikir sehat dan cerdas, ia tidak mungkin akan membeli rokok dengan jumlah besar terkecuali jualan atau lagi ada acara. Walaupun perokok sadar, membeli rokok dengan jumlah besar jatuhnya lebih murah. 

Selain itu, perokok berlaku bijak, ia bisa tidak membeli rokok karena ada kebutuhan lain yang menjadi prioritas, seperti kebutuhan makan, membayar sekolah dan lain-lain. Hal ini sangat wajar dan manusiawi. Mereka memilih membeli rokok dengan jumlah lebih sedikit (ketengan) sebagai alternatif saat ia berpikir keuangannya menipis. 

rokok ketengan

Perokok lebih mementingkan perutnya (makan), dan kebutuhan keluarganya terlebih dahulu dari pada membeli rokok. Karena merokok hanyalah bersifat relaksasi dan rekreasi. Lebih hemat merokok dari pada bertamasya atau pergi ketempat yang bisa menenangkan, saat pikiran kacau, stres, pusing, atau butuh hiburan. 

Seperti yang telah diutarakan Nur Syahid di kediamannya desa Bae Kecamatan Bae Kabupaten kudus. Umurnya memang masih tergolong muda baru 41 tahun, akan tetapi ia lebih akrab disapa Mbah Syahid karena sering membantu tetangganya yang sedang kena musibah atau masalah dengan  hati ikhlas dan tulus. Orangnya sederhana, santun, dan banyak memberikan petuah. 

Sehabis waktu isya’ hingga tengah malam, sudah biasa rumahnya banyak orang. Sebagian meminta petuah agar terlepas dari masalah, ada juga yang hanya sekedar mengobrol. 

Saat ditemui, ia sedang ngobrol dengan sekitar 10 orang, sesuai kapasitas tempat duduknya. Sayapun akhirnya berdiri karena memang tidak boleh berkerumun. Ia menyapa dan mempersilahkan mencari duduk sendiri tapi dilarang berdesakan “wayah covid” “baru ada wabah covid” katanya.

Kemudian ia mengambil tembakau dari kantong plastik berwarna hitam di depannya, dan digulungnya hingga menjadi rokok sambil berkata “iki lo sing marai utek encer, ngene iki ngirit, wayah ngene kudu prihati, neng kolo-kolo ngudud seng enak, nek ra duwe duit ngecer ae, ojo ngasi pawone mbokne macet ” “ ini lo yang bikin otakku cerdas, kayak gini hemat, keadaan saat ini harus prihatin, tetapi sesekali merokok yang enak, kalau tidak punya uang beli eceran, jangan sampai dapur ibuk tidak mengepul”. 

macam tembakau

Singkat cerita, setelah ia selesai memberikan petuah pada tamunya, ia pun kembali menyapa “bro lagi tumon, teko ngendi kuwe mau” “hai baru kelihatan, dari mana kamu”. Kemudian ia memperkenalkan aku ke teman-temannya “iki konco lawas, konco sekolah” “ini teman lama, teman sekolah”. 

Karena tidak bawa rokok, akhirnya aku bertanya warung yang jualan rokok, kemudian dijawab “nek wes bengi ngene iki warung do tutup, seng dodol rokok onone mbokne neng ora lengkap tur akihe di ecer, soale wong tuo tuo kene seneng tuku ecer karo ngopi” “kalau sudah malam banyak warung sudah tutup, yang masih ada jualan rokok ibunya (istrinya) tapi tidak lengkap dan kebanyakan ketengan, sebab orang tua disini sukanya beli ketengan sambil ngopi”. 

Akhirnya terpaksa beli eceran, dan benar rokok yang tersedia hanya empat merek, ada senior, sukun putih, gudang garam surya, dan dji sam soe. Sembari mengambil rokok eceran aku pun berkata pada Syahid, “dadi boros tuku eceran Hid” “jadi boros beli ketengan”. Tidak lama Syahid pun menjawab “nek kanggo wong deso yo irit tinimbang tuku bungkusan, butuhe ijeh akeh” “bagi orang desa justru hemat dari pada beli satu bungkus, kebutuhannya masih banyak”.

Ternyata bagi orang desa membeli rokok ketengan lebih disukai dan menghemat, masih banyak kebutuhan lainnya. Sangat ironi sekali, di masa paceklik (krisis) saat ini, menjual rokok eceran (ketengan) mau dilarang. Kalaupun tidak masa paceklik, melarang menjual rokok ketengan tetap memberatkan masyarakat kelas bawah, apapun alasannya.  

Apalagi alasannya untuk pengendalian konsumsi rokok bagi anak sekolah, sungguh tidak relevan dengan kenyataan di lapangan (baca tulisan di bolehmerokok.com yang berjudul “Rokok Batangan Dilarang, Cacat Logika Rekomendasi PKJS UI”).

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).