logo boleh merokok putih 2

Nikmatnya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

dana bagi hasil cukai

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) adalah dana yang diperoleh dari bagi hasil pungutan pajak cukai rokok melalui pembayaran / pembelian pita cukai, sebelum rokok beredar. Walaupun dana ini telah diatur oleh Kementerian Keuangan, namun kenyataannya sangat fleksibel penggunaannya. Tidak heran DBHCHT ini dinanti pemerintahan daerah, bahkan tiap kedinasan di pemerintah daerah sudah membuat perencanaan penggunaannya di awal. 

Bagian pemerintah daerah dari pungutan pajak cukai ini hanya 2% dari total pendapat pemerintah pusat tiap tahunnya. Dalam hal ini, gubernur mempunyai kuasa mengelola dan menggunakan DBHCHT serta mengatur pembagian dari 2% tersebut ke pemerintahan kabupaten/kota.

Dari total 2% kemudian dibagi menjadi tiga, 30% untuk pemerintahan tingkat provinsi, 40% pemerintah daerah kabupaten atau kota daerah penghasil, kemudian 30% kabupaten atau kota lainnya (buka daerah penghasil).

Walaupun hanya 2% yang diberikan ke pemerintah daerah dan dibagi tiga, nyatanya jumlah yang diterima tidak main-main. Saat cukai naik, maka DBHCHT yang diterima pemerintah daerah ikut naik. 

DBHCHT ini sebagai dana perimbangan di luar dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Artinya, DBHCHT itu bersumber dari pendapatan keuangan negara yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. 

Sebetulnya jika dirunut, DBHCHT itu berasal pembayaran pajak dari konsumen saat membeli rokok. Perokok itu pembayar pajak paling taat. Sebelum menikmati sebatang rokok, ia harus bayar pajak dahulu. Lebih lanjut, industrinya pun paling taat juga, sebelum dipasarkan, mereka (pelaku industri rokok) harus memberikan talangan pembayaran pajak melalui pembelian pita cukai sebelum produknya beredar.   

Tanpa membeli pita cukai yang dikeluarkan resmi dari pihak Kantor Bea dan Cukai, maka rokok dikategorikan  ilegal atau rokok bodong.     

Aturan DBHCHT diatur terpisah dengan dana bagi hasil lainnya. Seperti DBH pajak, DBH bersumber dari sumber daya alam diatur dalam UU Perimbangan Keuangan. Sedangkan DBHCHT diatur tersendiri dalam UU Cukai.

Dengan aturan tersendiri, pengawasan terhadap penggunaan DBHCHT ini langsung dilakukan oleh pihak Kementerian Keuangan. Artinya, walaupun Gubernur diberikan kuasa akan tetapi harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan. Hal ini sama saja seperti istilah kepala dilepas akan tetapi buntutnya dipegang erat. 

cukai rokok

Anehnya, dalam aturan pengawasan penggunaan DBHCHT tidak muncul sanksi pidana saat terjadi penyelewengan atau penyalahgunaan anggaran DBHCHT. Seperti halnya aturan DBH yang lain. Yang ada hanyalah sanksi administratif. Hal ini lah yang membikin DBHCHT itu nikmat dan lezat. 

Sehingga yang terjadi, alokasi penggunaan dana cukai dari tingkat pemerintah pusat yang 98%, hingga 2% untuk daerah lebih pada prinsip mana suka. 

Pertama; pembagian 2% untuk pemerintah daerah oleh Kementerian Keuangan lebih berdasar pemberian mana suka, tanpa ada hitungan rigid seperti DBH lainnya.

Kedua; alokasi 98% dana cukai di pusat tidak jelas dimasukkan kemana atau dibuat apa. Bisa jadi digunakan untuk keperluan pribadi penguasa, seperti kampanye atau hal lain. 

Baru muncul terang dengan itikad baik saat pemerintah sekarang, untuk pembayaran defisit BPJS (jaminan kesehatan sosial). Sudah pasti perokok sebagai satu-satunya penyumbang perolehan dana akan merasa ikhlas dan bangga bisa membantu menyehatkan masyarakat luas. Menjadi pertanyaan lanjutan, dulu-dulu dana cukai 98% di pemerintahan pusat kemana dan untuk apa?.  

Ketiga;  kenyataan riil di lapangan banyak terjadi alokasi DBHCHT yang tidak tepat sasaran.

Memang Kementerian Keuangan telah mengatur DBHCHT untuk lima  penggunaan. Yaitu peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan bidang cukai dan pemberantasan barang kena cukai ilegal. 

Ternyata aturan penggunaan tersebut tidak efektif. Yang mendominasi justru penggunaan alokasi DBHCHT pada klausul pembinaan sosial, kemudian muncul multitafsir, karena tidak ada batasan yang detail dan jelas.

Ambil contoh, DBHCHT untuk kampanye anti rokok, untuk membangun sekolah kesehatan, untuk membeli fasilitas kesehatan, sampai pada pembelian alat transportasi (motor) fasilitas tenaga kesehatan di kedinasan kesehatan.

Bahkan Kementerian Kesehatan telah membuat dan mengeluarkan buku saku sebagai aturan dan acuan tersendiri dalam perencanaan penggunaan alokasi DBHCHT untuk setiap kedinasan dalam lingkup kesehatan di tiap Provinsi, Kabupaten / Kota.

Jadi, Kementerian Kesehatan menangkap DBHCHT sebagai dana yang bisa mereka gunakan untuk agenda program kedinasan. 

Nah ketahuan, ternyata dana pembayaran pajak dari rokok sangat dibutuhkan oleh Dinas Kesehatan atau bahkan Kementerian Kesehatan. Terlalu munafik kalau uang dari hasil rokok dibutuhkan, namun barangnya mereka tolak. Bahkan mereka kampanye anti rokok aja terkadang memakai dana dari pungutan pajak rokok.

Tidak heran kalau ada yang ribut rebutan DBHCHT di Pemerintahan Daerah, karena memang DBHCHT kalau dilihat aturannya dan sanksinya seperti bagi-bagi kue, manasuka dan nikmat. Kenikmatannya lebih dahsyat dibanding dengan DBH lain atau DAK dan DAU. Senikmat merasakan hisapan rokok kretek sehabis makan.  

Seringkali DBHCHT diartikan sebagai dana bancaan. Dibuat rebutan banyak orang, tanpa beban tanggung jawab sanksi berat atau pidana ketika terjadi penyelewengan atau penyimpangan penggunaan anggaran di tingkat pemerintah daerah. 

Apalagi di tingkat pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan dan aturan, makin kabur dan makin tidak jelas sanksi baginya sendiri. 

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).