OPINI

Wahai Para Perokok, Sudah Tau Bahaya Laten FCTC?

Laju intervensi kelompok antirokok terhadap kebijakan IHT (Industri Hasil Tembakau) di Indonesia kian tak terbendung. Indonesia memang belum mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), tetapi kebijakan yang menghimpit sektor IHT sampai dengan hari ini, sejatinya sudah menerapkan FCTC sebagai landasannya. 

Baca lengkap: Kenapa FCTC Harus Ditolak?

Hal tersebut membuat saya membayangkan, apa yang akan terjadi bila Indonesia mengaksesi FCTC dan meratifikasinya ke dalam peraturan perundang-undangan?

Baiklah kita mulai dulu dengan apa itu FCTC? FCTC merupakan perjanjian internasional yang mengatur tentang pengendalian produksi, distribusi dan konsumsi rokok yang dipaksa untuk ditaati oleh negara-negara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

FCTC sendiri di dalamnya berisikan 11 bab dan 38 butir pasal yang membahas tentang pengaturan pengendalian permintaan konsumsi rokok dan pengendalian pasokan rokok. Selain itu, FCTC juga mengatur tentang paparan asap rokok, iklan promosi dan sponsor rokok, harga dan cukai rokok, kemasan dan pelabelan, kandungan produk tembakau, roadmap berhenti merokok, perdagangan ilegal rokok hingga penjualan rokok pada anak di bawah umur

Tercatat sudah ada 187 negara yang menandatangani FCTC. Indonesia belum menandatangani. Entah nantinya akan ditandatangani atau tidak, namun muatan FCTC sudah diadopsi dalam beberapa produk hukum yang mengatur tentang IHT. Kita ambil contoh 2 peraturan yang memiliki muatan FCTC: Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 dan PP (Peraturan Pemerintah) 109 tahun 2012. 

fctc menyiksa perokok

Ditandatanganinya FCTC akan berdampak buruk bagi ekonomi Indonesia

Dari 2 peraturan tersebut, sudah bisa dilihat bagaimana kebijakan sektor IHT menjadi sangat eksesif. Aturan yang ketat diterapkan dalam hal promosi, baik iklan media luar luar, cetak hingga elektronik. Lalu peranan sponsorship dikebiri habis-habisan, industri tidak boleh lagi memberikan sponsor. Kemudian kawasan tanpa rokok diperluas hingga tarif cukai rokok dinaikkan setinggi-tingginya. Itulah beban yang kini ditanggung oleh sektor IHT hanya dari 2 peraturan yang mengadopsi muatan FCTC. 

Kita bisa bayangkan jika FCTC benar-benar akan ditandatangani dan diratifikasi sepenuhnya, maka yang terjadi selanjutnya adalah matinya sektor IHT di Indonesia. Mati yang saya maksud disini bukan secara harfiah tiba-tiba tidak ada lagi tembakau, cengkeh dan produk hasil tembakaunya. 

Mati yang dimaksud adalah secara perlahan jumlah perkebunan tembakau dan cengkeh akan menurun drastis akibat berkurangnya jumlah petani yang menanam. Lalu jumlah pabrik rokok akan berkurang, yang kecil pasti akan mati dan menyisakan tidak lebih dari 5 pabrik besar yang masih beroperasi. Pabrik yang beroperasi pun tidak mengandalkan lagi rokok sebagai produk utamanya, mungkin ada permen nikotin, e-cigarette tanpa asap atau produk-produk alternatif lain pengganti rokok. 

Loh tapi kan masih ada pabrik besarnya, berarti belum tentu dong perkebunan tembakau dan cengkehnya berkurang? Nah, ini yang harus dipahami. Rokok kretek sebagai produk hasil tembakau yang kita konsumsi hari ini merupakan penyumbang terbesar dalam serapan tembakau dan cengkeh dalam negeri. Sebab, tembakau dan cengkeh yang digunakan sebagai bahan baku tidak mengalami proses ekstraksi, sehingga tidak mengefisiensi jumlah bahan baku yang digunakan. Adapun produk alternatif pengganti rokok kretek nantinya hanya memerlukan ekstrak tembakau, sehingga hanya memerlukan sedikit tembakau untuk mendapatkan ekstrak dalam jumlah besar.

Untuk cengkeh sendiri, kita hanya bisa berdoa nantinya akan ada industri lain yang bisa menyerap cengkeh nasional kita. Karena peranan cengkeh terhadap produk hasil tembakau akan dieliminasi habis-habisan. 

Dan tentunya pabrik dan perkebunan tembakau yang tersisa akan diawasi sepenuhnya oleh otoritas kesehatan. Artinya otoritas kesehatan akan mengambil alih kontrol terhadap bisnis pertembakauan di Indonesia. Bisnis kesehatan dan farmasi akan menambahkan produk alternatif tembakau ke dalam katalog produk bisnis mereka.

Bagaimana dengan konsumen? Pada awalnya konsumen akan dibuai dengan tren baru soal gaya hidup sehat, lalu ramai-ramai beralih konsumsi dari rokok konvensional ke produk alternatif tembakau berbasis nikotin. Sebenarnya tren tersebut sudah mulai terlihat, namun belum menjadi pilihan banyak orang untuk dikonsumsi sehari-hari layaknya rokok kretek.

Sementara itu ketika tren gaya hidup sehat dengan mengonsumsi produk alternatif tembakau mulai massif, tersisa segelintir orang yang masih bertahan mengonsumsi kretek sambil mempertahankan basis ideologi bahwa kretek adalah produk khas Indonesia yang  harus dilestarikan. Tetapi apa yang dilakukan segelintir orang tersebut hanya dianggap sebuah kegilaan karena berpikiran konservatif dan menolak untuk ‘sehat’.

fctc cengkeh

FCTC kiamat bagi petani cengkeh

Sampai pada akhirnya publik akan sadar bahwa ada manipulasi yang terjadi dalam proses ini. Mereka mulai membicarakan bahwa hegemoni otoritas kesehatan menghasilkan manipulasi yang bertujuan “all about business”. Mereka mulai mempercayai apa yang disuarakan oleh segelintir orang yang mereka anggap gila sebelumnya. Akan tetapi itu semua sudah terlambat. Komoditas tembakau dan cengkeh sudah tidak bisa lagi dibangkitkan seperti dahulu kala, karena mata rantai generasi petani tembakau telah terputus sehingga tidak ada transfer pengetahuan budidaya tembakau dan cengkeh pada generasi selanjutnya. Yang tersisa hanya kepingan data yang harus disusun dan diriset ulang agar bisa mendapatkan pengetahuan tersebut.

Mungkin ini terdengar sarkastik, tetapi bangsa Indonesia pernah mengalami kehilangan satu komoditas penting akibat hegemoni dan manipulasi kesehatan, yaitu komoditas kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan). Kopra dihegemoni oleh otoritas kesehatan untuk diganti dengan kelapa sawit karena dicap tidak sehat sebab dapat meningkatkan kolesterol. Akhirnya kopra tidak lagi populer dan ditinggalkan sebagai komoditas strategis, digantikan kelapa sawit. 

Kini apa yang terjadi? Kemudian hari kelapa sawit ternyata menyumbang emisi karbon yang berdampak kepada perubahan iklim, belum lagi praktik di lapangan yang menggusur habitat orangutan, macan Sumatera dan hewan endemik Indonesia lainnya serta seringkali menjadi penyebab utama dalam kebakaran hutan. Sementara kopra semakin diminati oleh orang-orang karena lebih ramah lingkungan dan bermanfaat untuk kesehatan. Harganya menjadi mahal. Dan Indonesia sudah bukan lagi penghasil kopra terbesar di dunia.