Asap tembakau itu abadi!
Isu rokok berkembang dengan sangat dramatis. Teror-teror kesehatan datang silih berganti, berita-berita di detikhealth tak henti meledakkan rasa ngeri. Simak saja pernyataan-pernyataan bombastis seperti ini: sebatang rokok mengurangi 5 menit hidup manusia. Rokok menyebabkan cacat lahir pada anak, juga cacat otak.
Rokok menyebabkan impotensi! Rokok dapat menyebabkan menopause dini! Rokok merusak rahim perempuan, beserta janin yang sedang atau kelak dikandungnya! Rokok dapat menyebabkan katarak! Rokok dapat (maaf) memperpendek penis! Belum lagi bertumpuk penyakit mengerikan yang menjadi menu wajib untuk selalu didengungkan, akibat kandungan 4800 zat kimia dalam sebatang rokok yang, konon katanya, sungguh-sungguh mematikan.
Teror kesehatan itu hanyalah silabus awal. Selanjutnya yang terjadi adalah aplikasi dalam kebijakan politik serta ekonomi. Kawasan tanpa rokok diterapkan di mana-mana. Gambar paru-paru bopeng membusuk pada kotak kemasan rokok wajib dipajang dengan gagahnya. Dari situ, bisa diramalkan industri rokok kelas kambing akan berguguran. Bagaimana tidak, hempasanhempasan raksasa semacam itu memang cuma bisa ditahan oleh mereka yang juga memiliki kekuatan kapital seperkasa Bima.
Di saat wacana-wacana besar itu bergulat, sementara pertarungan di level elit terjadi di meja-meja diskusi, dan sidang-sidang perebutan kekuasaan regulasi terus menjadi ajang bertaruh nasib dan harga diri, jika tidak terlalu sibuk, kita akan melihat: di ketiak-ketiak peradaban ada jutaan wajah yang nyaris tak pernah disapa.
Wajah-wajah sederhana yang sebenarnya memiliki hak yang sama untuk menjadi ahli waris sah sekaligus subjek dari sejarah panjang tembakau, cengkeh, dan harum asap kretek di republik rempah nan megah raya ini.
***
“Saya itu mbak, kalau pas merokok ‘A’ yang sebungkusnya cuma tujuh ribu, tarikan penumpang ya seret,” tutur Panut, tukang becak di bilangan Gowok, Yogyakarta. “Tapi begitu ganti rokok ‘B’ yang sebungkusnya sebelas ribu, wah, seharian bisa lemas melayani orderan. Ramai banget, rejeki mengalir lancarr….”
Baca: Mereka yang Melampaui Waktu
Kedengarannya memang irasional dan seolah melecehkan supremasi nalar. Apa hubungannya rokok enak dan mahal dengan tarikan penumpang becak yang kencang, disandingkan dengan rokok murah nan ampang yang berbanding terbalik dengan kuantitas pesanan? Tak ada. Adam Smith, Karl Marx, sampai Hernando de Soto pun tak pernah mendaraskan jenis formula ekonomi semenggelikan itu.
Ya, jika Anda telah menjadikan konstruksi logika akademis yang kaku berkerak di dasar otak, sembari dengan bangga menjadikan Wikipedia dan Encyclopaedia Britannica sebagai rujukan-rujukan dasar untuk memahami dunia, igauan Panut barangkali tak lebih dari angin lalu. Anda dengan mudah bisa menendangnya jauh-jauh dari lingkaran aktivitas berwacana Anda.
Melupakan sosok tukang becak bernama Panut yang teorinya menurut Anda tidak berdasar, lalu memungkasi hari Anda dengan membuka laptop, mengetik status facebook terbaru yang secara memaksa diri Anda untuk menganalisis peristiwa aktual paling gres. Memasang kicauan garing yang berpretensi sok intelektual dan Anda yakin itu semua maha-penting untuk dibaca ke-500 follower Anda, lalu memberi sentuhan manis di ujung malam dengan menonton Discovery Channel atau Jakarta Lawyers Club.
Tapi, Panut tetap Panut dengan kesederhanaan cara berpikirnya. Ia tak kenal teori demi teori. Teori yang ada dalam primbon hidupnya adalah kentalnya pengalaman. Dan pengalaman, alias tumpukan fakta, selalu anggun berdiri di atas teori-teori. Rumus ekonomi Profesor Panut sederhana saja: semakin banyak membelanjakan uang untuk rokoknya, semakin tebal tumpukan lima ribuan rupiah di kantongnya. Begitu nyata.
Dari situ ia akan dapat makan nasi kucing rutin tiga kali sehari, lengkap dengan lauk sate usus di angkringan depan Plaza Ambarrukmo kegemarannya, mengirim jumlah yang cukup ke rekening belanja istrinya, sesekali membelanjakan surplus pendapatan untuk berjudi kecil-kecilan bersama teman-teman seprofesinya, atau, kalau pas lagi benarbenar ada sisa anggaran, ia akan (maaf lagi) menyempatkan diri bersilaturahmi ke Pasar Kembang. Sederhana saja.
Baca: Tembakau Srintil di Legoksari Temanggung
Jika Anda seorang aktivis Multi Level Marketing (MLM) pun, jalan ideologi ekonomi Panut sungguh di luar akal. Barangkali Anda bisa menyajikan lima jilid buku Robert Kiyosaki sebagai pembenaran, bahwa apa yang dilakukan Panut tak masuk sama sekali dalam kuadran-kuadran progresivitas hidup dan penghidupan. Panut terlalu lugu untuk memahami apa itu kebebasan finansial, ia tak mau tahu juga apa itu passive income.
Baginya, hidup adalah hari ini, dan dari situ ia memaknai nyala rokok di sela jari dengan tafsir pribadi yang penuh percaya diri. Anda mau mencelanya, menuduhnya menelantarkan keluarga, mendakwanya dengan vonis khas gerakan anti tembakau seperti: “memprioritaskan belanja tembakau di atas dana pendidikan anak-anaknya” lalu menyeret Panut ke depan golongan antirokok yang akan menjalankan peran sebagai hakim-hakim agung pada mahkamahnya? Silakan saja.
Tapi Panut adalah salah satu penafsir zaman yang paling berhak bernafas serta mengantongi kebebasan konstitusional paling hakiki dalam memaknai kehidupannya. Sebuah kehidupan kecil bersama batang-batang rokoknya.
***
Nun, dua puluh kilometer dari tempat Panut meringkuk di dalam becaknya, Endah menyalakan sebatang rokok kretek filter dengan gemetar. Kelihatan betul ia grogi. Sebagai gadis muda usia 19 yang serba pas-pasan, Endah mengidap problem kepercayaan diri yang akut.
Kerapkali ia enggan menghadiri forum bulanan muda-mudi kampung seperti sekarang, di mana semua anggota dikumpulkan dalam satu lingkaran berhadapan. Di forum seperti ini, mau tak mau Endah mesti pasrah bila kadang terpaksa bersitatap dengan mata bening beberapa pemuda ganteng nan menonjol dari rukun tetangga (RT) sebelah.
Ada Yoga seorang mahasiswa yang tumpangannya motor cowok nan gagah, Boris anak teknik yang meski cuwawakan tapi selalu tampak keren dengan rambut gondrongnya, dan Jatmiko yang meskipun bapaknya cuma petani tapi entah kenapa kelihatan gaya dengan jaket kulit dan sepatu botnya. Duh, mengingat mereka, Endah jadi menelan ludah. Ketiga pemuda itu selalu membuat lututnya lunglai.
Sering, amat sering, Endah iri setengah mati pada Novi, tetangga sebelah rumahnya yang kerap jadi bahan perhatian pemuda. Manis, berkacamata, kulit bening, kuliah politik di Universitas Gadjah Mada (UGM), dan menguasai obrolan rumit yang sering ia pamerkan dalam forum-forum kampung (mengundang perhatian dan decak kagum para laki-laki, dari remaja anak bawang sampai bapak-bapak beranak tiga). Endah, mana bisa meraih pencapaian hidup yang sedemikian dahsyat? Dengan keberadaan dirinya yang dirasa serba pas-pasan, bisa dilirik laki-laki pun sudah merupakan pencapaian bagi Endah.
Apalagi di usianya yang sudah terlalu matang untuk menikah. Maka tak ada pilihan lain, ia hanya bisa mengadu diam-diam pada tuhan kecilnya yang esa: sebatang rokok yang setia memberinya semangat, dan lebih dari itu semua, entah bagaimana, membuatnya mampu mengatasi grogi secara sempurna.
Baca: Orang Dulu Menyebut Tembakau Adalah Obat dari Tuhan
Meski ia merokok diam-diam di kamar, di dapur kalau ibunya sedang ke pasar, atau di sudut halaman belakang rumah—supaya tak dianggap sebagai perempuan nakal, Endah seolah telah terikat janji sektarian dengan kretek filternya yang dilabeli mild. Tanpa mengisap sebatang kretek di awal hari, sebelum ia berani menampakkan diri di muka orang, harinya jadi tak mantap. Padahal ia bekerja di sebuah butik kecil-kecilan di ujung gang menuju rumahnya, dan mesti menghadapi pelanggan sepanjang hari.
Pernah sekali waktu ia memilih absen dan bolos kerja, hanya karena malam sebelumnya lupa membeli “obat pede”nya yang sudah tandas. Absurd memang, tapi Endah merasa sama sekali tak mampu membangun perbincangan yang hangat dengan siapa pun, kalau belum ada jejak nikotin di basah bibirnya Ya, ia memang bukan perempuan yang percaya diri seperti Novi.
Kuliah pun mesti terhenti di tengah jalan, karena ayahnya keburu meninggal dunia dan universitas swasta pilihannya tak punya cukup belas kasihan untuk membiarkan anak yatim yang berkekurangan seperti dirinya terus bersekolah. Masih untung ia bisa diterima bekerja di butik “Chantique”. Kalau tidak, entah apa yang bisa terjadi padanya.
Rokok, faktanya, telah menjadi totem penyelamat Endah, dalam bertahan hidup di sebuah lingkungan yang berisi manusia, manusia, dan manusia. Sekumpulan populasi robotik yang tak pernah berpikir memberi ruang untuk aktualisasi eksistensialnya. Endah tak akan dengan mudah mengimplementasikan kata-kata melangit dari bibir basah Mario Teguh maupun Andre Wongso, yang akan menasihatinya untuk terus meningkatkan prestasi hidup dengan berjuang meraih puncak-puncak pencapaian dalam membangun relasi interpersonal. Yang ia tahu cuma satu: dengan rokok ia mampu bertahan hidup, dengan segala keterbatasan personalitasnya, di tengah lingkungan sosial yang lambat laun mulai tegas membuat ukuran dangkal tentang jenis-jenis perempuan macam apa saja yang layak dipandang dengan sepenuh penghargaan.
***
Kalau Panut dan Endah punya cerita, Fitri membawa berita. Perempuan 28 tahun yang tubuhnya akan mengundang iri lantaran sintal, berdada padat penuh, dan ramah luar biasa ini tahu pasti, warung kelontongnya tak akan pernah bisa bertahan hidup lebih lama, tanpa rokok sebagai satu item komoditas utama. Tujuh tahun sudah bapaknya mengoleksi khazanah penderitaan mutakhir, diabetes akut yang berujung stroke. Bicaranya pelo, sekujur badan sebelah kanannya loyo, sehingga tugas sebagai guru matematika di SD Pendowoharjo II mustahil terus dilanjutkan.
Ibunya, yang tampaknya memang ditakdirkan sebagai perempuan lembut yang terlalu lamban, tentu sulit mendapatkan pekerjaan, apalagi di usianya kini. Bagaimana dengan suami Fitri? Sayangnya, sebagai anak juragan ternama produsen perangkat gamelan di Sonosewu, agaknya sang suami telah telanjur lama hidup bermanja-manja. Maka, tak ada jalan lain, Fitri mesti menampilkan diri.
“Badhe ngersakke menopo, Mas?” Sapaan renyah-menantang bak keripik itu selalu saja sakti sebagai senjata andalan Fitri.
Kadang mengundang cibiran ibu-ibu rumah tangga yang merasa eksistensinya terancam. Tak ayal, setelah ratusan kali sapaan khas yang sama diucapkan dengan sepenuh penghayatan peran, Fitri berhasil membangun personal branding-nya sendiri. Setelah branding, alur tahapan marketingnya memang agak terbalik, sebab baru kemudian muncul segmentasi pasar dan positioning.
Tak salah lagi, pemuda-pemuda tanggung jadi kerap berbelanja di sana. Ya, belanja apa saja. Batu baterai, minuman dingin, balsem, sampai kartu remi. Namun, sudah tentu benda-benda itu tak wajar bila dibeli sehari-hari. Sementara, agaknya mereka gengsi bila datang ke warung Fitri hanya karena diperintah ibu mereka untuk berbelanja minyak goreng, kopi, dan gula. Tidak, tidak. Bagi mereka, yang paling tak mengundang curiga untuk dibeli ya cuma rokok. Ya, beli rokok sampai dua kali sehari, apa anehnya?
“O, mau jarum mas? Atau gudang garem? Atau sempurno? Mau yang kretek apa yang filter?” Timpalnya kenes, tentu saja dengan pemahamannya yang awam dan sederhana soal rokok: yang tanpa gabus itu kretek, yang bergabus itu filter, dan yang bungkusnya putih-putih dan lintingannya bersih rapi jali itu rokok putih. Titik.
Soal pemahaman yang benar tentang kretek sebagai khasanah kebudayaan nusantara lah, sebagai tonggak industri nasional lah, atau bla bla bla yang lain tak penting baginya. Terlalu jauh dari dunianya. Bagi Fitri, yang penting dagangan laris manis, dan rejeki datang meski secuil demi secuil tapi lancar tanpa henti, sehingga ia bisa tetap membelikan suntikan insulin buat bapaknya, membelikan bensin untuk suaminya, dan mengisi perut seisi keluarga. Tanpa basa-basi, rokok telah memproklamirkan diri sebagai pahlawan tangguh di balik kaca etalase warung kecilnya.
Maka, kerumitan hidup Fitri selalu datang tiap kali harga rokok naik di pasaran. Pita cukai rokok itulah biang keroknya. Setiap kali itu terjadi, Fitri selalu mesti berusaha mempresentasikan kabar duka itu kepada para pelanggan, agar memahami kenapa harga harus berubah, harus mengalami penyesuaian, tentu saja, teriring ribuan kata maaf. Dan para langganan akan pura-pura pasang tampang kecewa. Tapi toh tetap saja mereka kembali ke warung Fitri. Dan Fitri pun semakin kokoh meneguhkan kepentingan politik sederhananya: Belilah rokok di warung saya, dan saya akan berikan senyum paling manis, gratis untuk Anda.
***
Panut, Endah, dan Fitri. Ketiganya adalah wakil dari kesunyian yang tak pernah diangkat ke permukaan. Isu rokok, isu anti-rokok, isu kretek, selalu berkubang dalam wacana-wacana besar yang berbuih-buih. Kesehatan, permainan para pemodal, apresiasi atas kekayaan budaya lokal, hegemoni mega-industri farmasi, diskriminasi perdagangan luar negeri, regulasi-regulasi ruang publik, atau paling mentok di level bawah adalah soal nasib hidup petani tembakau dan buruh linting.
Tak ada yang peduli bahwa jika rokok dihapus dari muka bumi, maka karier Panut sebagai praktisi transportasi bisa jadi amburadul, kebermaknaan hidup Endah akan terobrak-abrik di tengah ketidakpastian prospeknya dalam menghadapi lawan jenis, dan warung Fitri bisa-bisa bubar jalan. Ah. Tapi toh mereka adalah minoritas. Siapa yang mau peduli?
Artikel ini ditulis oleh Desy Ardianti dalam buku Perempuan Bicara Ketek | Baca Literasi Kretek