logo boleh merokok putih 2

Dinamika dan Dilema Kebijakan Tarif Cukai Rokok di Indonesia

kebijakan cukai indonesia

Seperti diketahui, bahwa selain sebagai instrumen pengendalian (kesehatan), penetapan cukai hasil tembakau juga mempertimbangkan aspek penerimaan negara dan industri. Ketiga komponen ini mesti ditetapkan dengan seimbang. Sebab apabila tarif cukai yang dikenakan terlalu eksesif dengan hanya mempertimbangkan pengendalian dan penerimaan negara tanpa melihat dampaknya terhadap industri, permasalahan penyerapan tenaga kerja kemudian akan muncul.

Isu penyerapan tenaga kerja tentu menjadi penting di tengah gejolak ekonomi yang terjadi belakangan ini. Hal ini semakin menjadi masalah di saat belum adanya industri substitusi yang mampu menyerap tenaga kerja apabila IHT semakin terpukul.

Secara tahunan, tarif cukai terus mengalami kenaikan. Namun demikian, kenaikan tersebut terbilang eksesif terlebih dibandingkan dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Secara tren, kenaikan cukai akan jauh melampaui besaran ekonomi dan tingkat inflasi.

Kenaikan cukai yang eksesif tersebut tentu saja memiliki pengaruh terhadap keberlangsungan industri, terlebih pabrik rokok kecil yang tidak dapat bersaing menghadapi beban pita cukai yang semakin berat. Dikarenakan 78 persen hasil penjualan rokok akan masuk ke kas negara. Eksistensi pabrik rokok semakin tertekan.

Semakin beratnya beban pita cukai menjadikan banyak pabrik rokok tidak lagi mampu bersaing. Pihak yang kalah dalam menghadapi kondisi tersebut adalah pabrik rokok yang mayoritas berskala kecil atau masuk di golongan III. Produksi yang tetap berjalan menjadi kepentingan utama bagi pabrik rokok kecil tersebut.

pabrik rokok kecil

Pabrik rokok golongan III yang bangkrut tentu mempunyai konsekuensi pada mata rantai bisnis dan rentan terhadap aspek pengangguran dan kemiskinan. Sebagai golongan terendah, pabrik rokok ini punya andil yang besar dalam menghambat menjamurnya rokok ilegal.

Kenaikan yang eksesif pada cukai hasil tembakau akan sangat berpengaruh pada dorongan bagi perusahaan rokok kecil untuk terus tetap hidup dengan cara produksi rokok yang tidak disertai cukai atau rokok ilegal. Akibatnya, tujuan utama sebagai instrumen pengendalian justru menjadi tidak efektif karena kemunculan rokok ilegal tersebut.

Faktor eksternal seperti kebijakan yang berorientasi pada pembatasan konsumsi memang menjadi hambatan masuk yang banyak mempengaruhi kinerja IHT dibandingkan faktor internal, seperti efisiensi industri itu sendiri. Berbagai peraturan baik pada level undang-undang hingga peraturan daerah banyak mengatur pengendalian industri ini, bahkan hingga peraturan pembatasan yang bersifat promosi hingga kawasan tanpa rokok.

Oleh karena itu, kebijakan cukai hasil tembakau ke depan harus mempertimbangkan banyak aspek selain faktor batasan produksi dan harga jual eceran. Namun juga perlu memasukan faktor-faktor lain seperti penyerapan tenaga kerja, penggunaan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri), jumlah produksi, nilai sosial-budaya dan kekhasan produk.

Peraturan-peraturan yang berbasis pada pengendalian tembakau yang dipakai sebagai landasan menaikkan tarif cukai harus memperhatikan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal. Karena semakin tinggi tarif cukai tantangan bertumbuhnya rokok ilegal menjadi semakin besar.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek