Tampilnya Nitisemito, Sang Raja Kretek Jawa, dengan rokok Bal Tiga-nya adalah tonggak dimulainya kretek memasuki industri nasional yang berdampak pada ekonomi dan budaya nasional.
Pada awal 1914, Nitisemito membuka lahan seluas 14 hektar dan menyerap hingga 15.000 tenaga kerja. Jejaknya diikuti oleh para pengusaha rokok lain di Kudus dan kota-kota sekitarnya.
Meski kelahiran industri rokok kretek (1870-1880) adalah berkat jasa pribumi bernama Djamhari, popularitas rokok menarik minat orang Tionghoa untuk ikut terjun dalam usaha tersebut.
Mereka pun mendirikan usaha rokok di Kudus sehingga timbul persaingan tajam antar pedagang Jawa, Arab dan Tionghoa. Persaingan itu pernah memuncak dan tak terkendali sehingga terjadi huru-hara di kota Kudus pada tahun 1918. Banyak toko dan rumah milik orang Tionghoa rusak dan terbakar.
Kretek sebagai produk budaya adiluhung bangsa tak akan pernah memunculkan percikan konflik sosial. Tetapi kretek yang berkembang sebagai komoditas industri yang berorientasi kapital, tentu menyimpan potensi gesekan sosial politik.
Kretek bukanlah penyulut konflik, hanya kepentingan ekonomi dan persaingan dagang yang menimbulkan kompetisi yang keras dan tajam. Sebagai produk budaya yang adiluhung, kretek justru menjadi media pemersatu, yang mendamaikan kemajemukan budaya.
Baca: Menilik Perkembangan Kretek dan Pekerjanya
Kretek juga menghadirkan ritual-ritual yang penuh hikmah dan mistisisme Jawa. Tengoklah ritual orang-orang di desa Legoksari kecamatan Tlogomulyo, Temanggung. Desa Legoksari bukan sekedar penghasil tembakau biasa. Srintil, tembakau primadona yang tidak tumbuh di sembarang tempat, dihasilkan dari desa Legoksari. Harga satu kilogram srintil di pasaran berkisar antara Rp 350.000 hingga Rp 700.000. bandingkan dengan harga tembakau biasa yang hanya rata-rata Rp 50.000 hingga Rp 80.000 .
Tidak semua petani ladangnya menghasilkan srintil. Biasanya dalam sekali musim panen berawal sekitar Agustus hingga akhir September, hanya satu atau dua orang petani yang memperoleh srintil.
Sebagai masyarakat yang masih meyakini nilai-nilai mitologis, penduduk Legoksari percaya bahwa pada malam sebelum panen, rumah petani yang panennya akan menghasilkan srintil di datangi atau dilintasi cahaya terang. Penduduk di sana memiliki ritual tradisional, yaitu menunggu sinar biru dari tanah atau muncul dari langit, sebelum srintil dipetik.
Itulah tradisi, ritual, sistem nilai dan keyakinan orang-orang Legoksari Temanggung yang meyakini tembakau bahan baku kretek, menjadi jalan rezeki yang serba magis. Ada beberapa praktek amalan yang dilakukan masyarakat Legoksari Temanggung, salah satunya, di mulai pertengahan bulan musim tembakau (tentu jauh sebelum panen) secara rutin tiap minggu sekali, tengah malam pergi ke lahan tanamannya dan mengadakan ritual (berdo’a) dengan bacaan tertentu (dirahasiakan), meminta kepada Sang Pencipta, agar tanaman tembakaunya keluar srintil.
Ada juga ritual dilakukan menjelang panen, tengah malam di lahan tembakaunya, supaya sinar cahaya melintasi lahannya. Namun ada pula ritual dilakukan hanya di rumah saja. Bagi masyarakat Legoksari Temanggung, cahaya sinar yang memancar biasa disebut “Ndaru Rigen”, sinar cahaya yang bisa menjadi lantaran keberkahan tersendiri menjadikan tanaman tembakaunya berkualitas dan bernilai tinggi, cerita almarhum Pak Bakir.
Abdul Aziz, orang asli Kudus sudah puluhan tahun mukim di Paraan Temanggung sejak menikah dengan orang pribumi, bercerita;
“Daru Rigen itu cahaya seperti sinar yang berjalan sangat cepat dari atas meluncur ke bumi hanya di daerah tertentu menjelang panen raya tembakau, tiap lahan atau rumah atasnya dilalui cahaya itu, punya keberuntungan tersendiri, sinar itu konon cerita dari orang dahulu asalnya dari lemparan tampah (sebuah tempat yang bentuknya melingkar terbuat dari bambu) Sunan Kudus sebagai penanda tempat jatuhnya tampah merupakan lokasi terbaik untuk menanam tembakau”.
Baca: Industri Rokok di Kudus Peduli Lingkungan dan Budaya
Sehingga dalam merawat tanaman tembakau dan menyambut masa panennya, tidak seperti pada umumnya orang-orang modern memperlakukan objek tanaman secara rasional. Itulah yang dinamakan sebagai keunikan antropologis kultural, yang memotret kebiasaan manusia yang telah berjalan turun temurun, dilestarikan, diberikan pemaknaan sistem dan nilai budaya.
Begitu juga dengan makna yang terkandung dalam merek kretek, selalu berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya adalah aspek keyakinan, filosofi, memori, keakraban dan inspirasi.
Kebermaknaan merek berlaku bagi pemberi merek maupun pengguna kretek. Adanya siratan makna di dalam merek kretek dapat dipahami, sebab pada dasarnya merek merupakan tanda (sign). Penandanya didasarkan pada referensi tertentu.
Walaupun demikian bukanlah hal yang mudah untuk merepresentasikan makna yang terkandung dalam tiap-tiap merek produk kretek. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa makna yang tersirat dalam suatu merek merupakan misteri abadi, yang hanya diketahui maknanya oleh si pemberi merek.
Begitulah, kretek juga bersinggungan dengan ilmu simbolik, semiotika dan semantik. Merek-merek kretek yang merupakan keakraban dengan tradisi simbolik kehidupan keseharian orang Kudus, Kediri dan kota lainnya, menandakan bahwa kretek adalah bagian dari keseharian, tradisi, adat istiadat, perilaku budaya dan kehidupan antropologis leluhur bangsa kita.
Maka melestarikan kretek sebagai kreativitas budaya yang adiluhung di era modern saat ini, sama dengan berjihad mengusung kretek sebagai warisan budaya bangsa yang dibanggakan di dunia.