kretek tangan
PabrikanREVIEW

Kretek Tangan: Warisan Budaya dan Identitas Bangsa Indonesia

Kretek tangan sebagai warisan budaya tak bendawi berpijak pada pengetahuan masyarakat Indonesia yang mampu mengolah-dayakan alam, yakni tembakau dan cengkeh, lantas meraciknya menjadi benda bernilai ekonomi.

Pengetahuan kretek tangan tersebut kemudian diwariskan dalam pelbagai praktik, representasi, ekspresi, dan keterampilan, yang mengolah dan menghasilkan serangkaian instrumen, obyek, dan artefak; tumbuh dalam lingkungan budaya beragam komunitas dan kelompok masyarakat di Indonesia. Terus berkembang dinamis melintasi zaman (difusi), kretek tangan mengalami inovasi dan evolusi hingga merembes sebagai pola pengetahuan-pengetahuan masyarakat lokal yang kehidupannya terkait erat pada budidaya tembakau dan cengkeh. 

Haji Djamhari adalah orang yang kali pertama mempopulerkan ‘sigaret cengkeh’ (clove cigarette) pada kisaran 1870-1880-an kemudian dinamakan kretek. Merujuk pada dokumen arkaik, catatan tentang kebiasaan masyarakat Nusantara mencampur sekaligus meracik cengkeh dan tembakau di Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-17. Jadi, dalam konteks konsepsi sistem pengetahuan, Haji Djamhari lebih dikenal sebagai inventor.

Karena itu, kretek tangan merupakan bentuk pengetahuan kaum bumiputera yang mencerminkan identitas tentang kebangsaan, kelas, budaya, dan ragam etnis tertentu, karena memiliki 4 syarat pemenuhan kretek tangan sebagai warisan budaya.

MATERIALITAS

Sejak ditemukan, kretek tangan selalu berkembang melintasi zaman hingga menjadi populer. Dalam praktiknya kretek tangan terjadi inovasi. Dimulai dengan manual tangan hingga tercipta alat bantu yang disebut ‘alat penggiling’ atau ‘alat pelinting’.

Alat penggiling merupakan alat yang terdiri dari bahan baku berupa kayu, besi, dan kain, serta menggunakan mekanisme kerja sederhana. Alat penggiling ini membuat aktivitas peracikan bukan saja makin ringkas, namun tetap bisa terjaga bentuk konus. Yang kemudian hari menjadi  pembeda dengan hasil peracikan tembakau dengan  menggunakan mesin. 

Menariknya, sampai sekarang karakteristik khusus batangan kretek yang berbentuk konus yang dihasilkan dari alat penggiling belum bisa dihasilkan oleh mesin modern.

USIA KRETEK TANGAN

Dari segi usia, kretek tangan yang ditemukan antara tahun 1870-1880 dan bertahan hingga saat ini telah berusia ratusan tahun. 

ESTETIKA

Sebagaimana yang telah jadi konsepsi pengetahuan bersama, kretek tangan terdiri dari rajangan tembakau kering, rajangan bunga cengkeh kering, yang dibungkus melalui kecakapan dan keterampilan tertentu itu. Cara meracik dan mengemas seluruh komponen inilah yang menjadikan kretek tangan sebagai produk pengetahuan. 

Untuk menghasilkan kretek tangan yang nikmat, seseorang perlu memiliki keahlian dan keterampilan tertentu mengolah campuran tembakau lauk, tembakau penyelaras, tembakau pelengkap, dan cengkeh.  Rajangan dari tiga macam tembakau dijadikan satu sesuai takaran tertentu. Pada umumnya komponen tembakau lauk lebih sedikit dari tembakau penyelaras dan pelengkap. Tentunya, tembakau yang digunakan bersumber dari bumi Nusantara. 

Dalam proses pembuatan kretek tangan yang saat ini, ada proses penyatuan tiga karakter tembakau biasa disebut casing. Sementara penyatuan tiga karakter tembakau dan cengkeh disebut blending. Fungsi casing melembabkan tembakau dan menyatukan tiga macam tembakau dengan ragam karakteristik rasa dan aromanya. Adapun fungsi blending untuk menyatukan seluruh komponen kretek tangan.


Baca: Perokok Berat dari Mataram Itu Bernama Sultan Agung


Proses pencampuran beberapa karakter tembakau dan cengkeh dilakukan tidak serta merta, harus melalui proses yang dinamakan casing dan blending. Supaya menghasilkan kretek tangan yang mantap. Namun pada dasarnya, semakin banyak cengkeh yang dicampurkan, hasil kretek tangan semakin mantap. 

Proses berikutnya, adalah pembungkusan. Dalam detail kretek tangan, proses tersebut dibuat melalui penggiling, dengan memakai alat bantu yang disebut alat penggiling terbuat dari kayu, besi, dan kain serta tingginya sekitar 25 cm. Proses menggulungnya, mula-mula penggiling mengambil papir lantas diletakkan ke kain sembari menaburkan racikan ke atas papir, menata bahan-bahan racikan itu sesuai kualitas, lantas tangan kanan menarik pegangan (handle) untuk menggiling atau melinting, adapun tangan kiri sigap menerima hasil lintingan atau gilingan. 

Kemudian, penggiling mengoleskan sedikit lem yang terbuat dari tepung ketela agar hasil gilingan kretek tidak pudar, lalu merapikan atau meratakan dua ujung batang kretek (disebut bathil). 

Proses ini menjadi pembeda dengan proses sigaret kretek mesin yang sepenuhnya memakai teknologi mesin dan minim campur tangan manusia. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan kretek tangan sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar berupa resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.

MONUMENTAL

Sebagai kota kelahiran dan tempat tinggal inventor kretek, Kudus dapat dinilai sebagai lokus budaya masyarakat yang mewarisi keahlian dan keterampilan membuat kretek tangan. Kaitan tradisi dan budaya masyarakat Kudus dengan kretek tangan juga terlihat dalam rutinitas setiap hari. Sejak pagi buta, kaum perempuan berduyun-duyun meninggalkan rumah untuk membuat kretek tangan, dari usia dewasa sampai usia senja. Sejak era kolonial hingga kini, Kudus bertahan dan dihidupi oleh ekonomi industri kretek. 


Baca: Tawaran Skema Ruang Merokok di Kereta Api Jarak Jauh


Selain itu, kehadiran kretek tangan juga menumbuhkan kreativitas-kreativitas baru bagi masyarakat Kudus maupun masyarakat di luar Kudus seperti menguatkan brand kretek tangan. Efek ganda dari kretek tangan menumbuhkan kreasi desain gambar dan iklan, pedagang, sablon pembungkus, hingga pembuat papir, dari hulu hingga hilir yang terpaut erat dalam industri kretek. 

Hal itulah yang menyiratkan kretek tangan sebagai benda budaya yang memiliki kekhususan kultural dan mempunyai nilai ekonomi serta menggerakkan ekonomi lainnya. 

Dengan demikian, jika merujuk dalam UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Bab III Pasal 5 Butir (a) dan (b), batas usia minimum bangunan cagar budaya adalah 50 tahun. Berdasarkan ketentuan batas usia minimum tersebut, dapat dikatakan kretek tangan merupakan salah satu identitas dan warisan budaya nasional bangsa Indonesia yang sangat layak masuk dalam cagar budaya atau warisan budaya tak benda.