Pandemi belum berakhir, bahkan dalam beberapa bulan terakhir masih mengalami lonjakan penularan yang luar biasa. Alhasil, kebijakan berupa pembatasan kembali diterapkan. Roda ekonomi yang mulai berputar kini berhenti. Butuh waktu untuk memutarnya kembali. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah masih saja berencana menaikkan cukai rokok di tahun depan.
Dua tahun berturut-turut tarif cukai rokok naik hingga dua digit, di tahun 2020 naik sebesar 23% dan 12,5% di tahun 2021. Dampak dari kebijakan kenaikan tersebut adalah terbebaninya sektor industri hasil tembakau (IHT).
Di tingkat hulu, petani yang seharusnya mendapatkan hasil panen tembakau dan cengkeh dengan maksimal, harus puas dengan berkurangnya serapan bahan baku oleh pabrik dan harga yang tak menentu.
Banyak juga pengurangan tenaga kerja buruh pabrik akibat PHK dikarenakan pabrik sudah tidak dapat menanggung cost pekerja, tentunya diikuti juga dengan penurunan omzet karena menurunnya volume produksi.
Data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menunjukkan, pabrikan rokok pada 2007 berjumlah lebih 4.600 pabrik. Tapi pada 2015 jumlahnya tinggal 713 pabrik, terdiri dari 246 pabrik rokok sigaret kretek mesin, 441 pabrik rokok sigaret kretek tangan, dan 26 pabrik rokok sigaret putih mesin. Jumlah pekerja di sektor rokok pun berkurang dari 316.991 jiwa pada 2007 menjadi 281.571 orang pada lima tahun berikutnya.
Sektor IHT merupakan sektor padat karya yang menaungi hampir 30 juta jiwa dari hulu hingga hilir. Seharusnya di masa seperti ini pemerintah melindungi sektor strategis yang menyerap banyak tenaga kerja, sehingga angka pengangguran tidak terus-menerus mengalami peningkatan.
Sisi konsumsi juga menjadi hal penting dalam menggenjot perekonomian yang sedang rontok. Konsumsi rokok hampir setara dengan konsumsi bahan pokok yang dapat menciptakan inflasi. Artinya, sisi konsumsi ini harus dijaga jika tidak ingin memperdalam angka inflasi.
Ketika cukai rokok mengalami kenaikan, otomatis akan mengerek harga jual eceran (HJE) di tingkat pedagang retail dan konsumen. Sementara kondisi saat ini daya beli konsumen sedang mengalami penurunan drastis. Nasib para pedagang retail tradisional akan sangat terpukul karena omzet mereka dari penjualan rokok akan mengalami penurunan.
Menurut data dari Nielsen Jumlah retail (tradisional dan modern) di Indonesia mencapai 2,5 juta toko. Jumlah yang sangat banyak ini dalam konteks hubungan pendistribusian produk rokok melalui retail mendorong perputaran ekonomi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Perusahaan rokok menciptakan pemerataan distribusi, sementara retail mendapatkan profit penjualan dari brand-brand rokok yang dijual.
Margin keuntungannya memang tidak besar, berkisar antara Rp 500 – Rp 1.500. Namun rokok merupakan produk yang memiliki volume RO (Repeat Order) yang tinggi jika dibandingkan dengan produk lainnya. Artinya rumus profit penjualan rokok di tingkat retail adalah receh dikalikan banyak dan cepatnya penjualan. Bahkan bagi beberapa retail, penjualan rokok dapat memancing pelanggan untuk membeli produk konsumsi yang lainnya.
Pemerintah harus sadar bahwa kondisi rakyat saat ini sedang susah. Jangankan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, untuk bertahan hidup saja sudah bagus. Dalam kondisi yang memprihatinkan, pemerintah seharusnya dapat memberikan kesejahteraan dengan memberikan banyak insentif, salah satunya dengan tidak menaikkan tarif cukai rokok tahun depan. Loh, mobil sama properti aja bisa dikasih insentif tidak membayar pajak.