Ibarat sedang melakukan pendekatan dengan lawan jenis, pemerintah kita yang direpresentasikan oleh menteri keuangan beserta keluarga besarnya di kemenkeu, terus bersikeras agar cukai rokok dinaikkan lagi, paling tidak di awal tahun 2022. Kemenkeu sudah berkali-kali menghadapi penolakan dari banyak pihak, tapi tetap saja tidak patah semangat. Cinta palsu sebenarnya, tapi dalihnya sudah bermacam-macam, salah satunya kenaikan demi kebaikan. Kebaikan siapa, ya, bund?
Ibu Menkeu sebenarnya sudah paham sejak bertahun-tahun lalu, bahwa penolakan atas kenaikan cukai rokok itu beralasan dan tidak asal dibuat. Apalagi kenaikan cukai rokok dinilai oleh banyak pihak tidak masuk akal.
Di soal lahan pekerjaan saja, kenaikan cukai rokok akan memangkas banyak sekali lahan pekerjaan, kesempatan bekerja para calon sales rokok yang gugur sejak awal karena alasan perusahaan rokok tidak butuh tambahan sales, buruh ladang yang selama ini mendapat keuntungan saat panen, perantara/tengkulak tembakau yang sudah tidak lagi digunakan karena petani memilih langsung datang ke gudang tembakau demi mengurangi biaya operasional, bahkan peluang supir mobil pick up lepasan di musim panen yang tidak lagi punya tambahan pendapatan saat panen tembakau, pendapatan mereka hanya dari antar-jemput panen sayuran dan buah-buahan. Itu kalau panennya tidak gagal.
Kenapa bisa seperti itu? Sederhananya, dengan kenaikan cukai, maka biaya produksi akan semakin ditekan, biaya promosi, biaya operasional dari pengumpulan bahan baku hingga sampai ke pabrik. Tidak perlu dijelaskan detail, anda sudah bisa melihat bagaimana kerja-kerja seperti ini dalam situasi yang kita temui sehari-hari; aktivitas di pasar. Bagaimana penjual tempe, ayam, sayuran akan memangkas biaya operasionalnya apabila harga pasaran naik.
Mereka tidak akan lagi menggunakan jasa tukang becak untuk mengantar puluhan kilo bahan-bahan tadi ke lokasi mereka berjualan di pasar, daripada menggunakan jasa tukang becak dan akan menambah biaya, lebih baik si penjual menggunakan tenaga/kendaraannya sendiri untuk mengambil bahan ke petani/peternak lalu membawa bahan dagangannya ke pasar. Di sini, si tukang becak mulai sepi pelanggan, lebih parahnya bisa kehilangan mata pencaharian.
Bahan baku pasar akan menyesuaikan dengan perhitungan operasional tadi, lalu si pembeli, penjual pecel lele misalnya, akan menaikkan harga jual juga. Semuanya tadi, dari pasar sampai tukang pecel lele akan beresiko kehilangan pembeli. Pembeli akan beralih dengan memasak sendiri di rumah. Mirip seperti para ahli hisap, mereka akan memilih melinting sendiri dibanding harus membeli rokok bungkusan.
Dari pasar, bergeser sedikit ke toko kelontong. Di sini memangkas operasional juga akan menjadi pilihan apabila harga barang menjadi mahal. Uang operasional seperti listrik, pungutan sampah keliling akan ditekan. Toko tutup lebih awal untuk menghemat listrik, sampah dikurangi dengan meminimalisir menjual produk yang beresiko menggunakan kardus atau kertas bekas yang tidak bisa digunakan kembali seperti kardus rokok atau kardus air mineral.
Pilihannya, toko hanya akan menjual produk kemasan yang tidak akan menyisakan sampah berlebih, dan sudah pasti toko tadi hanya menjual beberapa produk dalam jumlah kecil dan tidak lengkap, kemudian karena pendapatan menurun maka karyawan yang dianggap tidak terlalu dibutuhkan akan dikurangi, sehingga beban kerja penjaga toko mungkin bisa digabung dengan beban kerja sebagai kasir toko. Dari sini, minimal 1 orang karyawan akan berkurang dan kehilangan pekerjaan.
Itu hanya gambaran apabila salah satu bahan/produk, terkena peraturan pemerintah atas kenaikan harga. Kembali ke soal cukai, kalau dipikir, pabrikan rokok (yang paling gampang dan paling mudah dilihat) adalah sapi perah pemerintah yang tidak akan berhenti diperah dan diminta untuk menaikkan harga penjualan produk agar pemasukan negara bisa semakin besar.
Kenapa saya berpendapat seperti itu, ya memang begitu. Apalagi yang perlu dijelaskan secara ndakik-ndakik? lah memang masyarakat sudah dengan mudah melihat pemerintah memberi tarif cukai seenaknya seperti itu. Alasannya apa? Karena produk rokok merugikan kesehatan? Banyak contoh produk non-rokok yang merugikan kesehatan, tapi narasinya memang tidak sebaik kalau rokok yang disalahkan sebagai penyebab penyakit.
Dari ilustrasi yang saya sebut tadi, coba anda bayangkan seandainya tarif cukai terus naik, dan rokok dengan harga termurah ada di angka Rp. 40.000. Kira-kira, apa yang akan dipangkas oleh pabrikan untuk meminimalkan ongkos produksi, dari hulu hingga hilir. Lalu muncul masalah baru yang sudah kita alami selama selama beberapa tahun ini, dan itu karena efek kenaikan cukai; rokok ilegal.
Saat kenaikan cukai diumumkan dan entah kapan, jubir-jubir pemerintah terkait seperti kemenkeu, yang menanggapi soal isu cukai rokok, akan bermanis-manis dan dengan santunnya mengatakan bahwa ini sudah melalui pertimbangan cukup panjang dan berhati-hati.
Lalu, mungkin mereka akan menggunakan narasi bahwa tahun 2021 pemerintah sudah berbaik hati tidak menaikkan tarif cukai rokok kretek SKT (sigaret kretek tangan), dan tahun 2022 dirasa daya beli semakin baik dan masyarakat dinilai mampu. “…Dan tentu, saudara-saudaraku sekalian, sebangsa dan setanah air, kami sedang melihat peluang cukai di tembakau iris karena tren tingwe sedang naik, lalu, anu, itu.”. Heleh!