perokok berat dari mataram - sultan agung
PabrikanREVIEW

Perokok Berat dari Mataram Itu Bernama Sultan Agung

Ia perokok berat dari Mataram. Sultan Agung namanya.


“Sekembalinya ke masjid, Modin dan Bodin menggelar tikar dan meletakkan di atasnya pelita, kulit jagung dan tembakau, menyan madu sebesar biji kemiri, pisau untuk mengirisnya serta sebuah kendi. “Ayo, mari kita merokok dan minum seadanya!” Para tamu mencabik kulit jagung, merapikannya dengan pisau, menaruh tembakau dan kemenyan lalu melintingnya.”


Nukilan di atas diambil dari terjemahan Serat Centhini, yang ditulis oleh tiga pujangga atas prakarsa putra mahkota Kerajaan Surakarta, Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro III; proses penulisannya dimulai sekira tahun 1814, dan lahir “di zaman huru-hara manusia dan alamnya”, yaitu ketika Gunung Merapi meletus hebat tahun 1822 dan pemberontakan Pangeran Diponegoro mendidih di Yogyakarta, tahun 1825-1830. Ketika suluk ini digurat, kebiasaan merokok memang telah meluas di kalangan masyarakat Jawa. Tetapi dua abad sebelumnya, kebiasaan merokok bermula dari junjungan masyarakat Jawa dalam lingkungan Keraton Mataram, Sultan Agung.

Beberapa catatan mengenai kunjungan duta VOC ke Keraton Mataram tahun 1622 dan 1623 mencantumkan kebiasaan Sultan Agung yang rupa-rupanya adalah perokok kelas berat. Menurut Dr. H. De Haen, duta VOC tersebut, selama audiensi Sultan Agung terus merokok dengan menggunakan pipa berlapis perak.

Seorang perutusan VOC yang lain menuturkan, ia pernah melihat Sultan Agung sedang memeriksa latihan perang-perangan. Sri Baginda memandang ke depan sambil terus menerus merokok didampingi seorang pembantunya, yang dengan segera mengacungkan upet (tali api-api) yang dibawanya, begitu rokok Sri Baginda mati.

Pada masa itu, sebagai budaya yang dibawa oleh kolonialis Belanda, kebiasaan merokok memang baru terbatas pada lingkungan dalam Keraton. Seperti diungkapkan Solichin Salam dalam Kudus dan Sejarah Rokok Kretek, tahun 1624, para pembesar Jawa di Keraton Kartasura sudah gemar menghisap rokok dari tembakau. Sedangkan kebiasaan yang lazim dilakukan oleh rakyat jelata dalam menikmati tembakau pada masa itu masih berupa mengunyah sirih pinang.

Perdagangan sigaret diperkirakan baru merambah kalangan masyarakat Jawa beberapa tahun setelah titimangsa yang disebutkan oleh Solichin Salam di atas. Perkiraan ini, sebagaimana disebutkan dalam Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (Amen Budiman & Onghokham, 1987), terlihat dalam riwayat Pranacitra, sebuah kisah yang berlatar kesultanan Mataram, pada paro pertama abad ke-17.

Legenda ini banyak dikenal sebagai cerita tentang seorang perempuan bernama Rara Mendut, ikon perempuan yang belakang hari kerap disebut dalam interpretasi ulang tentang kretek dan perempuan. Kisah tentang Rara Mendut bermula ketika Sultan Agung berhasil menumpas pemberontakan Pati tahun 1627. Kala itu, karena kemenangannya, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna membawa pulang banyak harta rampasan.

Di antaranya adalah seorang perempuan jelita bernama Rara Mendut. Sebagai tanda terima kasih, Sultan Agung kemudian menghadiahkan Rara Mendut kepada Tumenggung Wiraguna. Meski telah berusia paruh baya, tumenggung ini memang dianggap berjasa besar bagi Mataram. Tetapi Rara Mendut dengan berani menampik lamaran Tumenggung Wiraguna yang disampaikan langsung oleh istrinya, Nyai Ageng Wiraguna, bahkan menjelek-jelekkan perwira Mataram itu tanpa tedeng aling-aling di hadapan Nyai Ageng.


Baca: Raksasa Industri Farmasi dan Tembakau Dunia


Hasil lamaran berbuah cemoohan ini disampaikan sang istri apa adanya kepada sang Tumenggung, yang kontan terbakar amarahnya. Dengan murka, Tumenggung Wiraguna menjatuhkan hukuman bagi Rara Mendut. Gadis ini diwajibkan membayar pajak tiga real sehari. Kalau tak sanggup, Rara Mendut harus bersedia menjadi istri Wiraguna. Demi menghindari kewajiban menikah, Rara Mendut menyanggupi perjanjian ini. Dengan syarat, ia dibekali modal untuk berdagang.

Kepada Nyai Ageng, Rara Mendut hanya meminta bekal sejumlah tiga real. Katanya, bekal itu akan digunakan untuk berjualan rokok panjang berikat benang sutra.

Mengetahui jumlah bekal yang diminta Rara Mendut, Nyai Ageng yang terkejut lalu menyampaikan kehendak Rara Mendut untuk berjualan kepada suaminya. Untungnya, sang tumenggung memberi izin. Dengan syarat, warung Rara Mendut mesti ditabir dengan rapat dan seksama, supaya penjualnya tak kelihatan oleh orang yang berlalu-lalang di jalanan.

Tumenggung itu bahkan menyuruh istrinya untuk membekali Rara Mendut sejumlah 10 real. Maka, dengan bekal uang itu, dan tembakau sompok dari Imogiri, daun kelobot, bumbu-bumbu, dan ‘wur’ pemberian Nyai Ageng, Rara Mendut pun memulai usahanya.

Syahdan, atas bantuan para abdi kyai tumenggung yang memang mahir membuat kelobot (Rara Mendut sendiri konon tak diizinkan ikut membuat), mereka berhasil membuat tiga puluh bungkus rokok. Kesemuanya lalu dipajang rapi di atas bokor perak berupam kuningan yang diletakkan di muka warung. Kelobot hasil lintingan para abdi kyai tumenggung itu dijual dengan harga setengah rupiah sebatang, jauh lebih mahal daripada harga di pasaran. Puntungnya bahkan berharga lebih mahal lagi.

Demikian alasan Rara Mendut, yang dituliskan oleh Budiman & Onghokham: “Harga puntung rokoknya menurut panjang dan pendek ukurannya. Ada yang dua real sebatang, ada juga yang dua setengah real, tiga real dan empat real. …. Mau tahu sebabnya? Tentu saja, karena puntung rokok itu bekas kena bibirku dan telah leceh dengan air ludahku yang manis dan harum.”

Alhasil, orang-orang lantas berebut mendapatkan kelobot Rara Mendut. Jika tak ada lagi uang, barang seperti kain, ikat pinggang, ikat kepala, keris, pedang, juga mereka berikan. Bahkan para penjual kayu, bambu, dan alang-alang pun rela menyerahkan barang dagangan mereka, demi menonton kecantikan Rara Mendut. Dengan demikian, penghasilan Rara Mendut sudah lebih dari cukup.

Cerita yang disarikan dari paparan dalam Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (Amen Budiman & Onghokham, 1987) ini tampaknya diambil dari buku Pranatjitra; Een Javaansche Liefde karya Dr. C.C. Berg. Melalui pembacaan atas buku tersebut, Budiman dan Onghokham menambahkan keterangan bahwa naskah Pranacitra (yang menjadi sumber buku karya C.C. Berg di atas) berasal dari zaman Kartasura (1681-1743). C.C.

Berg sendiri dikatakan membubuhkan penjelasan di dalam bukunya, bahwa kisah Pranacitra ini tidak boleh tidak telah muncul antara tahun 1627 dan 1847. Maka, mengutip Budiman & Onghokham: “berdasarkan keterangan inilah tidak berlebihan kiranya jika kita berpendapat, pada abad ke-XVII rokok telah merupakan barang dagangan di kalangan masyarakat Jawa.” Bisa disimpulkan, paling tidak setelah tahun 1627, rokok telah menjadi konsumsi rakyat kebanyakan dan menjadi bagian dari keseharian, hingga berabad-abad seterusnya. Ini diperkuat oleh tulisan J.W. Winter, “Beknopte Beschrijving Van Het Hof Soerakarta In 1824”, yang memuat catatan tentang cara hidup kebanyakan orang Jawa.

Ayahnya pernah tinggal di daerah Voorstenlanden, dan Winter mulai menulis memorinya tahun 1824, berakhir tanggal 1 Maret 1825. Menurut catatan tersebut, seorang laki-laki Jawa menghabiskan sejumlah uang yang cukup besar untuk konsumsi tembakau dengan ilustrasi berikut: “Seorang laki-laki yang tidak mempunyai istri bisa hidup dengan dua belas ‘duit’ sehari.


Baca: Empat Abad Retorika Anti-Tembakau, dari Paus Urban VII hingga Bloomberg


Tanpa perlu memperhatikan makan daging dan ikan, ia menggunakan dua belas duit itu untuk keperluan sebagai berikut: tiga duit untuk membeli sirih dan tembakau. Tiga duit lagi untuk membeli nasi, garam dan tempe, yang digoreng dan dimakan seperti ikan. Enam duit selebihnya untuk membeli beras. Jika orang yang bersangkutan tidak makan sirih, ia menggunakan tiga duit dari uang belanjanya semata-mata untuk membeli tembakau, yang dipakai sebagai bahan untuk merokok dengan menggunakan selembar kulit jagung yang telah dikupas dan dikeringkan.

Kulit jagung semacam ini disebut ‘klobot’. Dengan demikian jatah uang rokok seorang bujangan pada waktu itu lebih kurang dua puluh lima persen dari jumlah keseluruhan uang belanja sehari-hari yang dikeluarkannya.”16 Dari pembacaan atas ringkasan sejarah di atas, sekurang-kurangnya dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merokok yang diperkenalkan oleh Belanda dipopulerkan mula-mula oleh lingkungan kerajaan, sebelum akhirnya menjadi bagian dari budaya masyarakat kebanyakan dan telah menjadi kebiasaan yang berakar kuat pada awal abad XIX.

Di kurun yang kurang lebih sama, beberapa bulan setelah catatan J.W. Winter berakhir, pemberontakan seorang pangeran Mataram, yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro, pecah di Jawa. Setelah VOC bangkrut dan dilikuidasi di tahun 1799, ganti perekonomian pemerintah Belanda diobrak-abrik. Kerugian ini pada akhirnya membawa Johannes van den Bosch ke HIndia Belanda untuk menerapkan sebuah sistem baru di Jawa, yakni apa yang kita kenal dengan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa.


Artikel ini diambil dari buku “Membunuh Indonesia”.